SOAL
A. TULIS SELURUH PROSES PEMEROLEHAN BAHASA PADA MANUSIA DAN SELURUH FACTOR YANG MEMPENGERUHINYA SERTA PERANAN OTAK NANUSIA TERHADAP PEMEROLEHAN BAHASA
JAWABAN
A. Pandangan Global dan Kecenderungan dalam Pemerolehan Bahasa
Psikolinguistik adalah studi tentang proses mental-mental dalam pemakaian bahasa. Sebelum menggunakan bahasa (harley (dardjowidjojo: 2003;07)
Pemerolehan bahasa ada yang bersifat nurturelingkungan dan ada juga yang bersifat nature (alami).pad dasarnya proses pemerolehan bahsa yang bersifat nature adlah ditentukan oleh pengetahuan yang dibawa sejak lahirda bahwa properti bawaan tersebut bersifat universal karena di alami atau dimiliki oleh semua manusia.(Brown, 2004)
Bahasa tidak dapat diajarkan pada makhluk lain. Bahasa bersifat universal. Pemerolehan bahasa pertama erat kaitannya dengan permulaan yang gradual yang muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan kognitif pralinguistik.
Pada aliran linguistik manapun bahasa selalu dikatakan memiliki tiga komponen : sintakstik, fonologi, dan semantik (Dardjowidjojo, 2003:18) Komponen ini menangani ihwal yang berkaitan dengan bunyi. Bunyi merupakan simbol lisan yang dipakai oleh manusia untuk menyampaikan apapun yang ingin disampaikan. (Dardjowidjojo, 2003:20).
Masalah yang dihadapi oleh pendengar adalah bahwa dia harus dapat meramu bunyi-bunyi yang dia dengar itu sedemikian rupa sehingga bunyi-bunyi itu membentuk kata yang tidak hanya bermakna tetapi juga cocok dalam kontek di mana kata-kata itu dipakai. (Dardjowidjojo, 2003:29).
Pada anak normal seperti yang diungkapkan Dardjowidjojo bahwa kepentingan ujaran pada anak bertitik tolak pada sudut pandang anak sehingga macam ujaran yang muncul juga mencerminkan kepentingan anak ini. Anak akan memperhatikan kepentingan dia sendiri sehingga apapun yang menjadi hal utama bagi anak akan didahulukan. Peran kelayakan ujaran juga terarah ke dalam sehingga ujaran untuk meminta sesuatu pasti lebih dahulu dikuasai dari pada macam ujaran yang lain (Dardjowidjojo, 2000:44). Ketika pelajaran bernyanyi sedang berlangsung, maka sesekali anak akan diminta untuk bernyanyi sendiri dengan terlebih dahulu bertanya kepada mereka. Ketika sebuah keinginan anak mulai muncul maka mereka akan merespon dengan baik. Ketika seorang anak memberikan respon, maka respon itu harus disalurkan secepat mungkin.
Mengenai pengembangan kemampuan percakapan, anak juga secara bertahap menguasai aturan-aturan yang ternyata ada dan harus diikuti. Suatu percakapan mempunyai tiga komponen: (1) pembukaan, (2) giliran, (3) penutup.
Dalam pembukan harus ada ajakan dan tanggapan (Dardjowidjojo, 2000:45). Dengan memberikan pelajaran bernyanyi maka diharapkan proses dengan melalui tahapan-tahapan tersebut akan bisa diamati secara seksama.
Moskowitz, Pine, Barton & Tomasello dalam Dardjowidjojo mengungkapkan bahasa yang kita pakai untuk anak mempunyai ciri-ciri khusus (1) kalimatnya pendek-pendek, (2) tidak mengandung kalimat majemuk, (3) nada suara biasanya tinggi, (4) intonasinya agak berlebihan, (5) laju ujaran tidak cepat, (6) banyak redundansi, (7) banyak memakai sapaan. (Dardjowidjojo, 2000:49).
Orang pada umumnya tidak merasakan bahwa menggunakan bahasa merupakan suatu keterampilan yang luar biasa rumitnya. Pemakaian bahasa terasa lumrah karena memang tanpa diajari oleh siapapun. Seorang bayi akan tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan bahasanya. Dari umur satu sampai dengan satu setengah tahun seorang bayi mengeluarkan bentuk-bentuk bahasa yang telah dapat kita identifikasikan sebagai kata. Ujaran satu kata ini tumbuh menjadi ujaran dua kata dan akhirnya menjadi kalimat yang kompleks menjelang umur empat atau lima tahun (Dardjowidjojo, 2003:1). Seorang anak penderita autis mengalami keterlambatan dan bahkan hambatan dalam berbiacara. Oleh karena itu proses normal seperti yang diungkapkan pendapat di atas kurang tepat, karena pemerolehan bahasa seorang anak penderita autis mengalami keterlambatan.
Bahasa adalah suatu sistem simbol lisan yang arbiter yang dipakai oleh anggota suatu masyarakat bahasa untuk berkomuniksi dan berinteraksi antara sesamanya, berlandaskan pada budaya yang mereka miliki bersama. (Dardjowidjojo, 2003:16). Meskipun anak-anak penderita autis tesebut mempunyai kesulitan dalam berkomunikasi dan berbahasa, tetapi mereka tetap mempunyai keunikan. Bahkan ada di antara mereka yang menciptakan bahasa mereka sendiri. Kemampuan pemerolehan bahasa adalah sesuatu yang unik untuk manusia. (Dardjowidjojo, 2003:5)
Secara rinci psikolinguistik mempelajari empat topik utama:
a) komprehensi, yaitu proses-proses mental yang dilalui oleh manusia sehingga mereka dapat menangkap apa yang dikatakan orang dan memahami apa yang dimaksud
b) produksi, yakni, proses-proses mental pada diri kita yang membuat kita dapat berujar seperti yang ita ujarkan,
c) landasan biologis serta neurologis yang membuat manusia bisa berbahasa,
d) pemerolehan bahasa, yakni, bagaimana anak memperoleh bahasa mereka (Dardjowidjojo, 2003:7).
Ada tiga komponen yang menentukan proses pemerolehan bahasa yaitu Prospensity (kecenderungan), Language faculty, (kemampuan berbahasa), dan acces (jalan masuk) ke bahasa.
1. Prospensity (kecenderungan)
Istilah Prospensity mencakup seluruh faktor yang menyebabkan pelajar menerapkan kemampuan berbahasa untuk memperoleh sesuatu balasan. Hal itu merupakan hasil interaksi mereka yang menentukan kecenderungan aktual pelajar. Selama tidak mempengaruhi segala aspek pemerolehan bahasa pada taraf yang sama, maka tidaklah bijaksana mengaitkan kecenderungan dengan proses pemerolehan dengan cara yang umum. Unsur-unsur komponen kecenderungan itu dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, (misalnya pengajaran) sampai taraf-taraf tertentu.
Komponen kecenderungan ada empat yaitu integrasi sosial, pendidikan, kebutuhan komunikatif, dan sikap.
Dalam pemerolehan bahasa pertama integrasi sosial merupakan suatu faktor yang dominan. Relevansi faktor ini akan berkurang jika beranjak dari pemerolehan bahasa anak menuju bentuk-bentuk pemerolehan bahasa lainnya. Integrasi sosial mempunyai sedikit kebermaknaan sebagai faktor penyebab kecenderungan dalam belajar bahasa kedua di tingkat perguruan tinggi atau universitas. Dalam hal-hal tertentu, integrasi sosial merupakan faktor yang mengakibatkan pengaruh negatif.
Faktor kebutuhan komunikatif harus dibedakan dengan cermat dan tepat dari integrasi sosial. Kedua faktor ini kerapkali berlangsung serta bertindak bersama-sama bahu-membahu. Walaupun integrasi sosial jelas sekali mengimplikasikan kepuasan kebutuhan-kebutuhan komunikatif tertentu; namun kedua faktor itu berbeda. Kedua faktor tersebut telah dipisahkan secara cermat dan keduanya dapat mempengaruhi pemerolehan bahasa dengan cara-cara yang amat berbeda (dalam ranah fonologi, morfologi; sintaksis, kosakata, dan wacana). Ada berbagai ragam jenis kebutuhan komunikasi. Pengaruhnya kepada pemerolehan bahasa tentu juga beragam. Perbedaan yang ada antara integrasi sosial dan kebutuhan komunikatif sebagai dua komponen kecenderungan yang berinteraksi selalu dengan perbedaam atau motivasi integratif dan motivasi instrumental. Bukan berarti bahwa motivasi tidak memberikan kontribusi apa pun kepada kecenderungan.
2. Kapasitas dan Acces dalam Belajar Bahasa
Belajar bahasa mengandalkan berpikir, fungsi otak akan bekerja sebagaimana belajar. Bahasa merupakan dasar fundamental berpikir. Ada keapikan hubungan antara bahasa dan berpikir. Bahasa juga dapat memperluas pikiran. Otak memiliki kapasitas untuk menampung rangsangan-rangsangan yang masuk. Tidak semua rangsangan yang diterima akan langsung direkam ke memori yang paling dalam. Ada rangsangan atau informasi yang diterima dan ditempatkan hanya sampai tingkat permukaan otak maupun ditolak.
Pemerolehan bahasa merupakan sebuah proses. Pemrosesan bahasa memerlukan sebuah acces atau jalan masuk. Tanpa jalan masuk tidak mungkin bahan mentah atau bahan kasar dapat diproses dalam pemerolehan bahasa. Jalan masuk memiliki dua komponen yang berbeda, yaitu jumlah yang tersedia dan jajaran jarak kesempatan komunikasi.
Dalam bahasa satu tercakup istilah bahasa pertama, bahasa asli, bahasa ibu, bahasa utama, dan bahasa kuat. Dalam bahasa dua tercakup bahasa kedua, bukan bahasa asli, bahasa asing, bahasa kedua, dan bahasa lemah. Masih ada beberapa istilah lagi yaitu bahasa untuk komunikasi luas, bahasa baku, bahasa regional, bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa modern, dan bahasa klasik.
Proses anak mulai mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara verbal disebut dengan pemerolehan bahasa anak. Pemerolehan bahasa pertama (B1) (anak) terjadi bila anak yang sejak semula tanpa bahasa kini telah memperoleh satu bahasa. Pada masa pemerolehan bahasa anak, anak lebih mengarah pada fungsi komunikasi daripada bentuk bahasanya.
Pemerolehan bahasa anak-anak dapat dikatakan mempunyai ciri kesinambungan, memiliki suatu rangkaian kesatuan, yang bergerak dari ucapan satu kata sederhana menuju gabungan kata yang lebih rumit.
Ada dua pengertian mengenai pemerolehan bahasa. Pertama, pemerolehan bahasa mempunyai permulaan yang mendadak, tiba-tiba. Kedua, pemerolehan bahasa memiliki suatu permulaan yang gradual yang muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan kognitif pralinguistik.
1. Pemerolehan bahasa pertama (B1) sangat erat hubungannya dengan perkembangan kognitif yakni
pertama, jika anak dapat menghasilkan ucapan-ucapan yang berdasar pada tata bahasa yang teratur rapi, tidaklah secara otomatis mengimplikasikan bahwa anak telah menguasai bahasa yang bersangkutan dengan baik.
Kedua, pembicara harus memperoleh ‘kategori-kategori kognitif’ yang mendasari berbagai makna ekspresif bahasa-bahasa alamiah, seperti kata, ruang, modalitas, kausalitas, dan sebagainya. Persyaratan-persyaratan kognitif terhadap penguasaan bahasa lebih banyak dituntut pada pemerolehan bahasa kedua (PB2) daripada dalam pemerolehan bahasa pertama (PB1).
B. Factor Factor Yang Mempengaruhi Bahasa
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan bahasa
Secara rinci dapat diidentifikasi sejumlah faktor yang mempengaruhi perkembangan bahasa, yaitu:
a. Kognisi (Proses Memperoleh Pengetahuan)
Tinggi rendahnya kemampuan kognisi individu akan mempengaruhi cepat lambatnya perkembangan bahasa individu. Ini relevan dengan pembahasan sebelumnya bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara pikiran dengan bahasa seseorang.
b. Pola Komunikasi Dalam Keluarga
Dalam suatu keluarga yang pola komunikasinya banyak arah akan mempercepat perkembangan bahasa keluarganya.
c. Jumlah Anak Atau Jumlah Keluarga
Suatu keluarga yang memiliki banyak anggota keluarga, perkembangan bahasa anak lebih cepat, karena terjadi komunikasi yang bervariasi dibandingkan dengan yang hanya memiliki anak tunggal dan tidak ada anggota lain selain keluarga inti.
d. Posisi Urutan Kelahiran
Perkembangan bahasa anak yang posisi kelahirannya di tengah akan lebih cepat ketimbang anak sulung atau anak bungsu. Hal ini disebabkan anak sulung memiliki arah komunikasi ke bawah saja dan anak bungsu hanya memiliki arah komunikasi ke atas saja.
Perkembangan bahasa anak yang posisi kelahirannya di tengah akan lebih cepat ketimbang anak sulung atau anak bungsu. Hal ini disebabkan anak sulung memiliki arah komunikasi ke bawah saja dan anak bungsu hanya memiliki arah komunikasi ke atas saja.
e. Kedwibahasaan(Pemakaian dua bahasa)
Anak yang dibesarkan dalam keluarga yang menggunakan bahasa lebih dari satu atau lebih bagus dan lebih cepat perkembangan bahasanya ketimbang yang hanya menggunakan satu bahasa saja karena anak terbiasa menggunakan bahasa secara bervariasi. Misalnya, di dalam rumah dia menggunakan bahasa sunda dan di luar rumah dia menggunakan bahasa Indonesia. Dalam bukunya “Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja” Syamsu Yusuf mengatakan bahwa perkembangan bahasa dipengaruhi oleh 5 faktor, yaitu: faktor kesehatan, intelegensi, statsus sosial ekonomi, jenis kelamin, dan hubungan keluarga
C. Peranan Otak Manusia Terhadap Pemerolehan Bahasa
Secara neirologis otak manusia terdiri atas miliaran sel saraf neuron yang menyebar keseluruh otak manusia. otak memliki peran yang begitu penting bagi manusia dalam berbahsa. setiap saraf otak mempunyai tanggung jawab dan fungsi masing masing. misalnya kegiatan membaca mengaktifkan area oksipital dan frontal. secara garis besar otak manusia terbagi atas kerja otak terpisah. aktifitas kedua otak itu sling menyatu dan saling membangun. seperti yang kita ketahui bahwa metode pembelajaran konvensional yang pada umumnya digunakan leh para pendidik dalam belajar bahasa cendrung menekankan pada pola otak kiri , seperti latihan menitik beratkan pada rangsangan mendengar(otak kiri) berupa latihan-latihan pengulangan, kurangmelibatkan proses pemecahan masalah. dan saraf saraf tertentu dalm otak berkaitan dengan fungsi berbahsa baik lisan maupun tulisan. ini dapat dibuktikan bahwa terdapat gangguan berbahsa bagi orang yang mengalami kerusakan otak atau kecelakaan yang mengenai kepala, selain itu juga dilakukan eksperimen terhadap saraf-saraf di otak bagi yang sehat. sarfa-saraf dalam otak yang berfungsi berkaitan dengan bahasa adalah daerah broca, daerah wernike, dan daerah konstek ujaran superior atau daerah motorsupiementer. berdasarkan dari tiga hal daerah saraf itu dapat dikatakan bahwa terdapat bagia-bagian tertentu pada saraf-saraf di ota kiri manusia yang mempengaruhi manusia untuk menghasilkan suatu ujaran untukberbahsa dan berkomunkasi denga sesama. selanjutnya restak (2004;97) menjelskan bahwa otak kiri berfungsi menjelaskan sesuatu secara verbal atau tulisan. hal yang sama dikemukakan oleh Maksan (1993;55) bahwa tuga-tugas kebahsaan di kordinasikan oleh otak kiri.sedangkan otak kanan berfungsi dalam hal perbedaan, angka, urutan, tulisan bahsa, hitungan , dan logika.
Dalam penjelasan diatas dapat disimpulkan sebenarnya dalam setiap aktifitas otak yang dilakukan oleh manusia melibatkan dua fungsi otakyaitu belahan otak kiri dan otak kanan. ota kiri untuk melakukan pemikiran, persepsi sedangkan otak kanan untuk memberikan gambaransecara visual. jika seseorang hanya mengaktifkan salah satu belahan otaknya dalam beberapa aktifitas, maka terjadi ketidakseimbangan fungsi kerja otak manusia, maka orang tersebut akan mudah menghadapi kesulitan terutama kesehatan mental yang kurang baik. seperti yang dikemukakan oleh Deporter (2004:38) sesungguhnya jika anda termasuk kategori otak kiri dan anda tidak melakukan upaya tertentu memasukan beberapa aktifitas otak kanan daam hidup anda maka ketidakseimbangan yang dihasilkandapat mengakibatkan anda Stress dan juga kesehatan mental dan fisik yang buruk. berdasarkan penjelasan –penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pentingnya menyeimbangkan fungsi kedua belah otak dalam melakukan aktifitas yang memang membutuhkan kerja ota sehingga tercapa tujuan yang optimal
2. TULISLAH TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN PEMEROLEHAN BAHASA
JAWABAN
Pemerolehan bahasa anak-anak dapat dikatakan mempunyai ciri kesinambungan, memiliki suatu rangkaian kesatuan, yang bergerak dari ucapan satu kata sederhana menuju gabungan kata yang lebih rumit.
Ada dua pengertian mengenai pemerolehan bahasa. Pertama, pemerolehan bahasa mempunyai permulaan yang mendadak, tiba-tiba. Kedua, pemerolehan bahasa memiliki suatu permulaan yang gradual yang muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan kognitif pralinguistik.
Pemerolehan bahasa pertama (B1) sangat erat hubungannya dengan perkembangan kognitif yakni pertama, jika anak dapat menghasilkan ucapan-ucapan yang berdasar pada tata bahasa yang teratur rapi, tidaklah secara otomatis mengimplikasikan bahwa anak telah menguasai bahasa yang bersangkutan dengan baik. Kedua, pembicara harus memperoleh ‘kategori-kategori kognitif’ yang mendasari berbagai makna ekspresif bahasa-bahasa alamiah, seperti kata, ruang, modalitas, kausalitas, dan sebagainya. Persyaratan-persyaratan kognitif terhadap penguasaan bahasa lebih banyak dituntut pada pemerolehan bahasa kedua (PB2) daripada dalam pemerolehan bahasa pertama (PB1).
1. Ditinjau dari segi bentuk ada tiga pemerolehan bahasa yaitu
a. pemerolehan bahasa pertama yaitu bahasa yang pertama diperoleh sejak lahir
b. pemerolehan bahasa kedua yang diperoleh setelah bahasa pertama diperoleh
c. pemerolehan-ulang, yaitu bahasa yang dulu pernah diperoleh kini diperoleh kembali karena alasan tertentu.
2. Ditinjau dari segi urutan ada dua pemerolehan yaitu
a. Pemerolehan bahasa pertama Penguasaan sebuah bahasa oleh seorang anak dimulai dengan perolehan bahasa pertama yang sering kali disebut bahasa ibu (B1).
b. Pemerolehan bahasa kedua.yaitu pemerolehan bahasa kedua yang diperoleh setelah bahasa pertama diperoleh
a. Pemerolehan satu bahasa (di lingkungan yang hanya terdapat satu bahasa secara luas), ini biasanya di temukan dalm kelurganya sendiri
b. Pemerolehan dua bahasa di lingkungan yang terdapat lebih dari satu bahasa yang digunakan secara luas).ini ditemukan yaitu didaerah lingkungan di tengah-tengh\ah masyarakat.
a. Pemerolehan bahasa lisan (hanya bahasa yang diucapkan oleh penuturnya), yaitu dengan mengucapkan kata- kata oleh sipenutur
b. Pemerolehan bahasa tulis (bahasa yang dituliskan, oleh penuturnya). uyaitu penutur menuliskan apa-apa yang disampaikan melalui sebuah tulisan
5. Ditinjau dari segi keaslian atau keasingan dikenal yaitu
a. Pemerolehan, bahasa asli (merupakan alat komunikasi penduduk asli) yaitu bahasa yang di munculkan oleh masyarakat pribumi
b. Pemerolehan bahasa asing (bahasa yang digunakan oleh para pendatang ataubahasa yang memang didatangkan untuk dipelajari).
. Perkembangan Bahasa Dipengaruhileh Beberapa Factor Sebagai Berikut:
1. Factor Kesehatan
faktor kesehatan merupakan yang sangat mempengaruhierkembanagan bahasa nak , terutama pada usa awal kehidupannya. maksudnya disini adalah apabila pada usia taun pertama , anak mengaami sakit terus menerus, maka anak tersebutcendrung akan mengaami kelambatan atau kesulitan dalam perembangan bahsanya, leh karena itu, untuk memelihara perkembang bahsa anak secara normal, orang tua perlu memperhatikan kondisi kesehatan anak, dan upaya yang harus dilakukan adalah dengan memperhatikan ASI pada anak dengan teratur, makanannyapun harus menjadi sorotan dengan art kata harus yang bergizi dan mengandung banyak vitamin yang secara teratur juga.dan memperhatikan ebersihan anak tersebut juga diharapkan dapat membawa anak kedokter atau puskesmas untuk megecek atau memeriksa kesehatan anak tersebut.
2. Intelegensi
Perkembanagn bahasa anak dapat dilihat dari tingkat intelegensinya. maksudnya dsini ádalah anak yang perkembangan bahasanya cepat pada umumnya intelegensi normal atau diatas normal.,tapi tidak semua juga anak yang mengalami kelambatan perkembangan bahasa pada usia awal, dikategorikan sebagai anak yang bodoh (lingren, dalam E horlock)
Manusia memiliki warisan biologi yang sudah dibawa sejak lahir berupa kesanggupannya untuk berkomunikasi dengan bahasa khusus manusia dan itu tidak ada hubungannya dengan kecerdasan atau pemikiran. Kemampuan berbahasa hanya sedikit korelasinya terhadap IQ manusia . Kemampuan berbahasa anak yang normal sama dengan anak-anak yang cacat. Kemampuan berbahasa sangat erat hubungannya dengan bagian-bagian anatomi dan fisiologi manusia, seperti bagian otak tertentu yang mendasari bahasa dan topografi korteks yang khusus untuk bahasa. Tingkat perkembangan bahasa anak sama bagi semua anak normal; semua anak dapat dikatakan mengikuti pola perkembangan bahasa yang sama, yaitu lebih dahulu menguasai prinsip-prinsip pembagian dan pola persepsi. Kekurangan hanya sedikit saja dapat melambangkan perkembangan bahasa anak. Bahasa tidak dapat diajarkan pada makhluk lain. Bahasa bersifat universal. Pemerolehan bahasa pertama erat kaitannya dengan permulaan yang gradual yang muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan kognitif pralinguistik.
Selanjutnya Horlock mengemukakan hasi studi mengenai anak yang mengalami kelambatan mental, yaitu bahwa sepertiga diantara mereka yang dapat berbicara dengan normal dan anak yang berada tingkat intelektualnya yang paling rendah, merka Sangat miskin dalam berbahasanya. jadi berdasarkan apa yang dikeukan ole horlock maka jka intelengensi anak itu normal dan diatas normal maka anak tersebut mampu berbahsa dengan lancar dan baik.
3. Staus Sosial Ekonom Keluarga
Beberapa studi tentanghubngan antar perkembangan bahsa dengan status sosial ekonomi eluarga menunjukan bahwa ana yang berasal dari keluarga miskin mengalami kelambatan dalam perkembangan bahsanya dibandingkan dengan anak yang bersal dari status ekonomi keluarga yang lebih bak,maka anak itu denagn mudah berbahsa dengan baik atau lebih baik dari anak yang keluarga miskin itu.. kndisi ni terjadi mungkin karena disebakan leh perbedaan kecerdasan atau kesempatan belajar(keluarga miskin diduga kurang memperhatkan perkebangn bahasa anaknya. atau kedua-duanya (hetzer & Reindorf dalam E horlock, 1956) ). jadi ada kemungkinan juga golongan ekonomi keluarga yang seba ada maksa kemapuan berbahsa anak jauh berbeda denagn anak yang berاsal dari keluarga sederhana. karena dengan alsan anak sudah belajar disekolah.
4. Jenis Kelamin
pada tahun pertama usia anak, tidak ada perbedaan dalam vokalisasi antra pria dan wanita. namun memulai usia dua tahun, anak wanita menunjuan perkembangan yang kebih cepat dari pria. ini sedah menjadi kodrat alam karena wanita dalam berbahsa mengkrelasikan dengan perasaan, maka jarang dari seorang wanta yang berbicar seenaknya tapi butuh ertiabnga dengan perasaan atau kata hati. pada anak lak- laki memiliki kemampuan dalam bidang berhitung yang cepat dibandingkan wanita.
Adapun Perbedaan Bahasa Anak Laki-Laki Dan Perempuan
a. Anak Perempuan
1. Menghindari bahasa yang berisi umpatan dalam percakapan dan cenderung menggunakan kata-kata yang lebih sopan: silakan, terima kasih, selamat jalan, dsb.
2. Ekspresi emosional yang digunakan lebih halus, misalnya: Oh sayangku, Ya Allah, dsb.
3. Cenderung menggunakan bahasa tidak langsung dalam meminta persetujuan dan lebih banyak mendengarkan. Perannya dalam percakapan adalah sebagai fasilitator.
4. Lebih banyak berbicara secara berpasangan dengan teman akrabnya dan saling menceritakan rahasianya
1. Menghindari bahasa yang berisi umpatan dalam percakapan dan cenderung menggunakan kata-kata yang lebih sopan: silakan, terima kasih, selamat jalan, dsb.
2. Ekspresi emosional yang digunakan lebih halus, misalnya: Oh sayangku, Ya Allah, dsb.
3. Cenderung menggunakan bahasa tidak langsung dalam meminta persetujuan dan lebih banyak mendengarkan. Perannya dalam percakapan adalah sebagai fasilitator.
4. Lebih banyak berbicara secara berpasangan dengan teman akrabnya dan saling menceritakan rahasianya
b. Anak Laki-laki
1. Ekspresi emosional cenderung menggunakan kata-kata kasar misalnya umpatan: sialan, bedebah, dsb.
2. Cenderung menggunakan bahasa secara langsung dan bersifat memberitahu, karena laki-laki menganggap perannya dalam percakapan adalah pemberi informasi.
3. Kurang banyak berbicara, tetapi lebih banyak berbuat. Pada perkembangan ke tingkat dewasa seorang ayah lebih banyak menggunakan perintah ketika berbicara dengan anak laki-laki, dan lebih banyak menginterupsi pembicaraan anak perempuannya.
Selama periode sekolah sampai dewasa, setiap individu meningkatkan jumlah kosa kata dan makna khas istilah secara teratur melalui konteks tertentu. Dalam proses tersebut seseorang menyusun kembali aspek-aspek kebahasaan yang telah dikuasainya. Hasil dari proses tersebut tercermin dari kata-kata yang digunakannya, misalnya dengan penggunaan bahasa figuratif, atau kreativitas berbahasa yang begitu pesat.
Keseluruhan proses perkembangan semantik dari awal sekolah dasar ini dapat dihubungkan dengan keseluruhan proses kognitif (owen, 1992: 374).
Ada dua jenis penambahan makna kata secara horisontal. Anak semakin mampu memahami dan dapat menggunakan suatu kata dengan makna yang tepat. Adapun penambahan vertikal berupa peningkatan jumlah kata yang dapat dipahami dan digunakan dengan tepat (Owens, 1992: 375)
Kemampuan anak di kelas-kelas rendah dalam mendefinisikan kata-kata meningkat dengan dua cara; Pertama secara konseptual dari definisi berdasar pengalaman individu ke makna yang lebih bersifat sosial atau makna yang dibentuk bersama. Kedua anak bergerak secara sintaksis dari definisi berupa kata-kata lepas ke kalimat-kalimat yang menyatakan hubungan yang kompleks (Owens, 1992: 376)
1. Ekspresi emosional cenderung menggunakan kata-kata kasar misalnya umpatan: sialan, bedebah, dsb.
2. Cenderung menggunakan bahasa secara langsung dan bersifat memberitahu, karena laki-laki menganggap perannya dalam percakapan adalah pemberi informasi.
3. Kurang banyak berbicara, tetapi lebih banyak berbuat. Pada perkembangan ke tingkat dewasa seorang ayah lebih banyak menggunakan perintah ketika berbicara dengan anak laki-laki, dan lebih banyak menginterupsi pembicaraan anak perempuannya.
Selama periode sekolah sampai dewasa, setiap individu meningkatkan jumlah kosa kata dan makna khas istilah secara teratur melalui konteks tertentu. Dalam proses tersebut seseorang menyusun kembali aspek-aspek kebahasaan yang telah dikuasainya. Hasil dari proses tersebut tercermin dari kata-kata yang digunakannya, misalnya dengan penggunaan bahasa figuratif, atau kreativitas berbahasa yang begitu pesat.
Keseluruhan proses perkembangan semantik dari awal sekolah dasar ini dapat dihubungkan dengan keseluruhan proses kognitif (owen, 1992: 374).
Ada dua jenis penambahan makna kata secara horisontal. Anak semakin mampu memahami dan dapat menggunakan suatu kata dengan makna yang tepat. Adapun penambahan vertikal berupa peningkatan jumlah kata yang dapat dipahami dan digunakan dengan tepat (Owens, 1992: 375)
Kemampuan anak di kelas-kelas rendah dalam mendefinisikan kata-kata meningkat dengan dua cara; Pertama secara konseptual dari definisi berdasar pengalaman individu ke makna yang lebih bersifat sosial atau makna yang dibentuk bersama. Kedua anak bergerak secara sintaksis dari definisi berupa kata-kata lepas ke kalimat-kalimat yang menyatakan hubungan yang kompleks (Owens, 1992: 376)
5. Hubungan Keluarga
hubungan ini dimaknai sebagai proses pengalamn berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungan keluarga, terutama dengan orang tua yang mengajar, melatih dan memberikan contoh berbahasa kepada anak. hubungan yang sehat antara orang tua dan anak (penuh perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya)memfasilitasi perkembangan bahasa anak, sedangkan hubugan yang tidak sehat mengakibatkan anak akan mengalami kesulitan dan kelambatan dalam perkembangan bahasanya.hubungan yang tidak sehat itu bisa berupa sikap orang tua yang keras atau kasar, kurang kasih sayang, atau kurang perhatian untuk memberikan latihan dan contoh dalam berbahsa yang bak kepada anak, makaperkembangan bahsa anak cendrung akan mengalami stagnans atau kelainan seperti gagap dalam berbicara,tidak jelas dalam mengungkapkan kata-kata , merasa takut untuk mengungkapkan pendapat dan berkata kasar atau tidak sopan.
A. Tahapan Perkembangan Bahasa
Secara ringkas teori tahapan perkemba-ngan bahasa antara menurut Corder (1973) dapat dirangkum sebagai berikut.
a. Tahapan Kegalatan Acak
Pertama Si-Belajar berkata *Mary cans dance" sebentar kemudian diganti menjadi "Mary can dance".
b. Tahapan kebangkitan
Pada tahapan ini Si-Belajar mulai menginternalisasi beberapa kaidah bahasa kedua tetapi ia belum mampu membetulkan kesalahan yang dibuat penutur lain.
c. Tahapan Sistematik
Si-Belajar sudah mampu menggunakan B2 secara konsisten walaupun kaidah B2 belum sepenuhnya dikuasainya.
d. Tahapan Stabilisasi
Si-Belajar relatif menguasai sistem B2 dan dapat menghasilkan bahasa tanpa banyak kegalatan.
Tahap- tahap Pemerolehan Bahasa pada Anak hingga Dewasa
1. Kurang dari 1 tahun
- Belum dapat mengucapkan kata-kata,
- Belum menggunakan bahasa dalam arti yang sebenarnya,
- Dapat membedakan beberapa ucapan orang dewasa.
(Eimas, lewat Gleason, 1985: 2, dalam Zuchdi, 1996: 4)
- Belum dapat mengucapkan kata-kata,
- Belum menggunakan bahasa dalam arti yang sebenarnya,
- Dapat membedakan beberapa ucapan orang dewasa.
(Eimas, lewat Gleason, 1985: 2, dalam Zuchdi, 1996: 4)
2. 1 tahun
- Mulai mengoceh,
- Bermain dengan bunyi (bermain dengan jari-jari tangan dan kakinya)
- Perkembangan pada tahap ini disebut pralinguistik.
(Gleason, 1985: 2)
- Ketika bayi dapat mengucapkan beberapa kata, mereka memiliki ciri-ciri perkembangan yang universal.
- Bentuk ucapan hanya satu kata, sederhana, mudah diucapkan dan memiliki arti konkrit (nama benda, kejadian atau orang-orang di sekitar anak).
- Mulai pengenalan semantik (pengenalan makna).
- Mulai mengoceh,
- Bermain dengan bunyi (bermain dengan jari-jari tangan dan kakinya)
- Perkembangan pada tahap ini disebut pralinguistik.
(Gleason, 1985: 2)
- Ketika bayi dapat mengucapkan beberapa kata, mereka memiliki ciri-ciri perkembangan yang universal.
- Bentuk ucapan hanya satu kata, sederhana, mudah diucapkan dan memiliki arti konkrit (nama benda, kejadian atau orang-orang di sekitar anak).
- Mulai pengenalan semantik (pengenalan makna).
3. 2 tahun
- Mengetahui kurang lebih memiliki 50 kata.
- Kebanyakan mulai mencapai kombinasi dua kata yang dikombinasikan dalam ucapan-ucapan pendek tanpa kata penunjuk, kata depan atau bentuk lain yang seharusnya digunakan.
- Mulai mengenal berbagai makna kata tetapi tidak dapat menggunakan bentuk bahasa yang menunjukkan jumlah, jenis kelamin, dan waktu terjadinya peristiwa.
- Mulai dapat membuat kalimat-kalimat pendek.
- Mengetahui kurang lebih memiliki 50 kata.
- Kebanyakan mulai mencapai kombinasi dua kata yang dikombinasikan dalam ucapan-ucapan pendek tanpa kata penunjuk, kata depan atau bentuk lain yang seharusnya digunakan.
- Mulai mengenal berbagai makna kata tetapi tidak dapat menggunakan bentuk bahasa yang menunjukkan jumlah, jenis kelamin, dan waktu terjadinya peristiwa.
- Mulai dapat membuat kalimat-kalimat pendek.
4. Taman Kanak-kanak
- Memiliki dan memahami sejumlah besar kosa kata,
- Mampu membuat pertanyaan-pertanyaan, kalimat majemuk dan berbagai bentuk kalimat,
- Dapat berbicara dengan sopan dengan orang tua dan guru.
- Memiliki dan memahami sejumlah besar kosa kata,
- Mampu membuat pertanyaan-pertanyaan, kalimat majemuk dan berbagai bentuk kalimat,
- Dapat berbicara dengan sopan dengan orang tua dan guru.
5. Sekolah Dasar
- Peningkatan perkembangan bahasa, dari bahasa lisan ke bahasa tulis,
- Peningkatan perkembangan penggunaan bahasa.
- Peningkatan perkembangan bahasa, dari bahasa lisan ke bahasa tulis,
- Peningkatan perkembangan penggunaan bahasa.
6. Remaja
- Penggunaan bahasa yang khas sebagai bagian dari terbentuknya identitas diri (merupakan usia yang sensitif untuk belajar berbahasa)(Gleason, 1985: 6)
- Penggunaan bahasa yang khas sebagai bagian dari terbentuknya identitas diri (merupakan usia yang sensitif untuk belajar berbahasa)(Gleason, 1985: 6)
7. Dewasa
- Terdapat perbedaan-perbedaan yang besar antara individu yang satu dengan yang lainnya dalam perkembangan bahasa (sesuai dengan tingkat pendidikan, peranan dalam masyarakat, dan jenis pekerj
- Terdapat perbedaan-perbedaan yang besar antara individu yang satu dengan yang lainnya dalam perkembangan bahasa (sesuai dengan tingkat pendidikan, peranan dalam masyarakat, dan jenis pekerj
Daftar Pustaka
Yusuf, Syamsu, psikologi perkembangan anak dan remaj, PT Remaja Rosdakarya2005, Bandung
Budi Santoso, Eva Magfiroh dan Indah Wahyu L.W, Pemerolehan Bahasa Anak Usia Tiga Tahun dalam Lingkungan Keluarga, 2009
Lisnawati, Lis Psikolinguistik Dalam Pembelajaran Bahasa
http://ww.scribd.com/doc/162911/kuliah 11 fungsi kognitif
Soenjono, Psikolinguistik: Memahami Asas Pemerolehan Bahasa
Posted on Januari 28, 2008 by Pakde sofa
Pemerolehan Bahasa Pertama dan Bahasa Kedua
Proses anak mulai mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara verbal disebut dengan pemerolehan bahasa anak. Pemerolehan bahasa pertama (B1) (anak) terjadi bila anak yang sejak semula tanpa bahasa kini telah memperoleh satu bahasa. Pada masa pemerolehan bahasa anak, anak lebih mengarah pada fungsi komunikasi daripada bentuk bahasanya.
Pemerolehan bahasa anak-anak dapat dikatakan mempunyai ciri kesinambungan, memiliki suatu rangkaian kesatuan, yang bergerak dari ucapan satu kata sederhana menuju gabungan kata yang lebih rumit.
Ada dua pengertian mengenai pemerolehan bahasa. Pertama, pemerolehan bahasa mempunyai permulaan yang mendadak, tiba-tiba. Kedua, pemerolehan bahasa memiliki suatu permulaan yang gradual yang muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan kognitif pralinguistik.
Pemerolehan bahasa pertama (B1) sangat erat hubungannya dengan perkembangan kognitif yakni pertama, jika anak dapat menghasilkan ucapan-ucapan yang berdasar pada tata bahasa yang teratur rapi, tidaklah secara otomatis mengimplikasikan bahwa anak telah menguasai bahasa yang bersangkutan dengan baik. Kedua, pembicara harus memperoleh ‘kategori-kategori kognitif’ yang mendasari berbagai makna ekspresif bahasa-bahasa alamiah, seperti kata, ruang, modalitas, kausalitas, dan sebagainya. Persyaratan-persyaratan kognitif terhadap penguasaan bahasa lebih banyak dituntut pada pemerolehan bahasa kedua (PB2) daripada dalam pemerolehan bahasa pertama (PB1).
Manusia memiliki warisan biologi yang sudah dibawa sejak lahir berupa kesanggupannya untuk berkomunikasi dengan bahasa khusus manusia dan itu tidak ada hubungannya dengan kecerdasan atau pemikiran. Kemampuan berbahasa hanya sedikit korelasinya terhadap IQ manusia . Kemampuan berbahasa anak yang normal sama dengan anak-anak yang cacat. Kemampuan berbahasa sangat erat hubungannya dengan bagian-bagian anatomi dan fisiologi manusia, seperti bagian otak tertentu yang mendasari bahasa dan topografi korteks yang khusus untuk bahasa. Tingkat perkembangan bahasa anak sama bagi semua anak normal; semua anak dapat dikatakan mengikuti pola perkembangan bahasa yang sama, yaitu lebih dahulu menguasai prinsip-prinsip pembagian dan pola persepsi. Kekurangan hanya sedikit saja dapat melambangkan perkembangan bahasa anak. Bahasa tidak dapat diajarkan pada makhluk lain. Bahasa bersifat universal. Pemerolehan bahasa pertama erat kaitannya dengan permulaan yang gradual yang muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan kognitif pralinguistik.
Pemerolehan bahasa pertama erat sekali kaitannya dengan perkembangan sosial anak dan karenanya juga erat hubungannya dengan pembentukan identitas sosial. Mempelajari bahasa pertama merupakan salah satu perkembangan menyeluruh anak menjadi anggota penuh suatu masyarakat. Bahasa memudahkan anak mengekspresikan gagasan, kemauannya dengan cara yang benar-benar dapat diterima secara sosial. Bahasa merupakan media yang dapat digunakan anak untuk memperoleh nilai-nilai budaya, moral, agama, dan nilai-nilai lain dalam masyarakat. Dalam melangsungkan upaya memperoleh bahasa, anak dibimbing oleh prinsip atau falsafah ‘jadilah orang lain dengan sedikit perbedaan’, ataupun ‘dapatkan atau perolehlah suatu identitas sosial dan di dalamnya, dan kembangkan identitas pribadi Anda sendiri’.
Sejak dini bayi telah berinteraksi di dalam lingkungan sosialnya. Seorang ibu seringkali memberi kesempatan kepada bayi untuk ikut dalam komunikasi sosial dengannya. Kala itulah bayi pertama kali mengenal sosialisasi, bahwa dunia ini adalah tempat orang saling berbagi rasa.
Melalui bahasa khusus bahasa pertama (B1), seorang anak belajar untuk menjadi anggota masyarakat. B1 menjadi salah satu sarana untuk mengungkapkan perasaan, keinginan, dan pendirian, dalam bentuk-bentuk bahasa yang dianggap ada. Ia belajar pula bahwa ada bentuk-bentuk yang tidak dapat diterima anggota masyarakatnya, ia tidak selalu boleh mengungkapkan perasaannya secara gamblang.
Apabila seorang anak menggunakan ujaran-ujaran yang bentuknya benar atau gramatikal, belum berarti bahwa ia telah menguasai B1. Agar seorang anak dapat dianggap telah menguasai B1 ada beberapa unsur yang penting yang berkaitan dengan perkembangan jiwa dan kognitif anak itu. Perkembangan nosi-nosi (notion) atau pemahaman seperti waktu, ruang, modalitas, sebab akibat, dan deiktis merupakan bagian yang penting dalam perkembangan kognitif penguasaan B1 seorang anak.
Sistem pikiran yang terdapat pada anak-anak dibangun sedikit demi sedikit apabila ada rangsangan dunia sekitarnya sebagai masukan atau input (yaitu apa yang dilihat anak, didengar, dan yang disentuh yang menggambarkan benda, peristiwa dan keadaan sekitar anak yang mereka alami). Lama kelamaan pikirannya akan terbentuk dengan sempurna. Setelah itu sistem bahasanya lengkap dengan perbendaharaan kata dan tata bahasanya pun terbentuk.
Masa Waktu dan Perkembangan Pemerolehan Bahasa Pertama
Perkembangan pemerolehan bahasa anak dapat dibagi atas tiga bagian penting yaitu (a) perkembangan prasekolah (b) perkembangan ujaran kombinatori, dan (c) perkembangan masa sekolah. Perkembangan pemerolehan bahasa pertama anak pada masa prasekolah dapat dibagi lagi atas perkembangan pralinguistik, tahap satu kata dan ujaran kombinasi permulaan.
Perkembangan pralinguistik ditandai oleh adanya pertukaran giliran antara orang tua khususnya ibu) dengan anak. Pada masa perkembangan pralinguistik anak mengembangkan konsep dirinya. Ia berusaha membedakan dirinya dengan subjek, dirinya dengan orang lain serta hubungan dengan objek dan tindakan pada tahap satu kata anak terus-menerus berupaya mengumpulkan nama benda-benda dan orang yang ia jumpai. Kata-kata yang pertama diperolehnya tahap ini lazimnya adalah kata yang menyatakan perbuatan, kata sosialisasi, kata yang menyatakan tempat, dan kata yang menyatakan pemerian.
Perkembangan bahasa pertama anak lebih mudah ditandai dari panjang ucapannya. Panjang ucapan anak kecil merupakan indikator atau petunjuk perkembangan bahasa yang lebih baik dari pada urutan usianya. Jumlah morfem rata-rata per ucapan dapat digunakan sebagai ukuran panjangnya. Ada lima tahapan pemerolehan bahasa pertama. Setiap tahap dibatasi oleh panjang ucapan rata-rata tadi. Untuk setiap tahap ada Loncatan Atas (LA).
Walaupun perkembangan bahasa setiap anak sangat unik, namun ada persamaan umum pada anak-anak, ada persesuaian satu sama lain semua mencakup eksistensi, noneksistensi, rekurensi, atribut objek dan asosiasi objek dengan orang.
Dilihat dari unsur dasar pembentukannya, kombinasi yang dibuat anak pada periode ini mengekspresikan dua unsur deretan dasar pelaku (agen) + tindakan (aksi) + objek. Semua kombinasi dua unsur terjadi, misalnya Agen + Aksi + Objek, Agen + Objek.
Pada masa tahap 2 ada tiga sarana ekspresif yang dipakai oleh anak-anak, yang dapat membuat kalimat-kalimat mereka menjadi lebih panjang yaitu kemunculan morfem-morfem gramatikal secara inklusif dalam ujaran anak, pengertian atau penyambungan bersama-sama hubungan dua hal tersebut, dan perluasan istilah dalam suatu hubungan/relasi.
Perkembangan pemerolehan bunyi anak-anak bergerak dari membuat bunyi menuju ke arah membuat pengertian. Periode pembuatan pembedaan atas dua bunyi dapat dikenali selama tahun pertama yaitu (1) periode vokalisasi dan prameraban serta (2) periode meraban. Anak lazimnya membuat pembedaan bunyi perseptual yang penting selama periode ini, misalnya membedakan antara bunyi suara insani dan noninsani antara bunyi yang berekspresi marah dengan yang bersikap bersahabat, antara suara anak-anak dengan orang dewasa, dan antara intonasi yang beragam. Anak-anak mengenali makna-makna berdasarkan persepsi mereka sendiri terhadap bunyi kata-kata yang didengarnya. Anak-anak menukar atau mengganti ucapan mereka sendiri dari waktu ke waktu menuju ucapan orang dewasa, dan apabila anak-anak mulai menghasilkan segmen bunyi tertentu, hal itu menjadi perbendaharaan mereka.
Perkembangan ujaran kombinatori anak-anak dapat dibagi dalam empat bagian yaitu perkembangan negatif/penyangkalan, perkembangan interogratif/pertanyaan, perkembangan penggabungan kalimat, dan perkembangan sistem bunyi.
Ada tiga tipe struktur interogatif yang utama untuk mengemukakan persyaratan, yaitu pertanyaan yang menuntut jawaban ya atau tidak, pertanyaan yang menuntut informasi, dan pertanyaan yang menuntut jawaban salah satu dari yang berlawanan (polar).
Penggabungan beberapa proposisi menjadi sebuah kalimat tunggal memerlukan rentangan masa selama beberapa tahun dalam perkembangan bahasa anak-anak. Pada umumnya, cara-cara menggabungkan kalimat menujukkan gerakan melalui empat dimensi yaitu gabungan dua klausa setara menuju gabungan dua klausa yang tidak setara, klausa-klausa utama yang tidak tersela menuju penggunaan klausa-klausa yang tersela, yaitu menyisipkan klausa bawahan pada klausa utama, susunan klausa yang memuat kejadian tetap menuju susunan klausa yang bervariasi, dan dari penggunaan perangkat-perangkat semantik-sintaktis yang kecil menuju perangkat yang lebih diperluas.
Pada perkembangan masa sekolah, orientasi seorang anak dapat berbeda-beda. Ada anak yang lebih impulsif daripada anak yang lain, lebih refleksif dan berhati-hati, cenderung lebih jelas dan nyata dalam berekspresi, lebih senang belajar dengan bermain-main, sementara yang lain lebih pragmatis dalam pemakaian bahasa. Di masa ini setiap bahasa anak akan mencerminkan kepribadiannya sendiri. Siswa taman kanak-kanak memiliki rasa bahasa, bagian-bagiannya, hubungannya, bagaimana cara kerjanya sehingga mereka mampu mengenal serta mengapresiasi bahasa yang dipakai dalam cara yang mengagumkan serta tidak lazim. Selama masa sekolah anak mengembangkan dan memakai bahasa secara unik dan universal. Pada saat itu anak menandai atau memberinya ciri sebagai pribadi yang ada dalam masyarakat itu. Perkembangan bahasa pada masa sekolah dapat dibedakan dengan jelas dalam tiga bidang, yaitu struktur bahasa, pemakaian bahasa, dan kesadaran metalinguistik.
Strategi Pemerolehan Bahasa Pertama
Strategi pertama dalam pemerolehan bahasa dengan berpedoman pada: tirulah apa yang dikatakan orang lain. Tiruan akan digunakan anak terus, meskipun ia sudah dapat sempurna melafalkan bunyi. Ada pendapat yang mengatakan bahwa strategi tiruan atau strategi imitasi ini akan menimbulkan masalah besar. Mungkin ada orang berkata bahwa imitasi adalah mengatakan sesuatu yang sama seperti yang dikatakan orang lain. Akan tetapi ada banyak pertanyaan yang harus dijawab berkenaan dengan hal ini.
Ada berbagai ragam peniruan atau imitasi, yaitu imitasi spontan atau spontaneous imitation, imitasi pemerolehan atau elicited imitation, imitasi segera atau immediate imitation, imitasi terlambat delayed imitation dan imitasi dengan perluasan atau imitation with expansion, reduced imitation.
Strategi kedua dalam pemerolehan bahasa adalah strategi produktivitas. Produktivitas berarti keefektifan dan keefisienan dalam pemerolehan bahasa yang berpegang pada pedoman buatlah sebanyak mungkin dengan bekal yang telah Anda miliki atau Anda peroleh. Produktivitas adalah ciri utama bahasa. Dengan satu kata seorang anak dapat “bercerita atau mengatakan” sebanyak mungkin hal. Kata papa misalnya dapat mengandung berbagai makna bergantung pada situasi dan intonasi.
Strategi ketiga berkaitan dengan hubungan umpan balik antara produksi ujaran dan responsi. Dengan strategi ini anak-anak dihadapkan pada pedoman: hasilkanlah ujaran dan lihatlah bagaimana orang lain memberi responsi. Stategi produktif bersifat “sosial” dalam pengertian bahwa strategi tersebut dapat meningkatkan interaksi dengan orang lain dan sementara itu bersifat “kognitif” juga. Hal itu dapat memberikan umpan balik kepada pelajar mengenai ekspresinya sendiri terhadap makna dan juga memberinya sampel yang lebih banyak, yaitu sampel bahasa untuk digarap atau dikerjakan.
Strategi keempat adalah prinsip operasi. Dalam strategi ini anak dikenalkan dengan pedoman: gunakan beberapa “prinsip operasi” umum untuk memikirkan serta menetapkan bahasa. Selain perintah terhadap diri sendiri oleh anak, prinsip operasi ini juga menyarankan larangan yang dinyatakan dalam avoidance terms; misalnya: hindari kekecualian, hindari pengaturan kembali.
Proses Pemerolehan Bahasa Kedua
Pemerolehan bahasa berbeda dengan pembelajaran bahasa. Orang dewasa mempunyai dua cara yang, berbeda berdikari, dan mandiri mengenai pengembangan kompetensi dalam bahasa kedua. Pertama, pemerolehan bahasa merupakan proses yang bersamaan dengan cara anak-anak. Mengembangkan kemampuan dalam bahasa pertama mereka. Pemerolehan bahasa merupakan proses bawah sadar. Para pemeroleh bahasa tidak selalu sadar akan kenyataan bahwa mereka memakai bahasa untuk berkomunikasi.
Kedua, untuk mengembangkan kompetensi dalam bahasa kedua dapat dilakukan dengan belajar bahasa. Anak-anak memperoleh bahasa, sedangkan orang dewasa hanya dapat mempelajarinya. Akan tetapi ada hipotesis pemerolehan belajar yang menuntut bahwa orang-orang dewasa juga memperoleh bahasa, kemampuan memungut bahasa bahasa tidaklah hilang pada masa puber. Orang-orang dewasa juga dapat memanfaatkan sarana pemerolehan bahasa alamiah yang sama seperti yang dipakai anak-anak. Pemerolehan merupakan suatu proses yang amat kuat pada orang dewasa. Pemerolehan dan pembelajaran dapat dibedakan dalam lima hal, yaitu pemerolehan:
- memiliki ciri-ciri yang sama dengan pemerolehan bahasa pertama, seorang anak penutur asli, sedangkan belajar bahasa adalah pengetahuan secara formal,
- secara bawah sadar, sedangkan pembelajaran sadar dan disengaja.
- bahasa kedua seperti memungut bahasa kedua, sedangkan pembelajaran mengetahui bahasa kedua,
- mendapat pengetahuan secara implisit, sedangkan pembelajaran mendapat pengetahuan secara eksplisit,
- pemerolehan tidak membantu kemampuan anak, sedangkan pembelajaran menolong sekali.
Pandangan pemerolehan bahasa secara alami yang merupakan pandangan kaum nativistis yang diwakili oleh Noam Chomsky, berpendapat bahwa bahasa hanya dapat dikuasai oleh manusia. Perilaku bahasa adalah sesuatu yang diturunkan. Hakikatnya, pola perkembangan bahasa pada berbagai macam bahasa dan budaya. Lingkungan hanya memiliki peran kecil dalam pemerolehan bahasa. Anak sudah dibekali apa yang disebut peranti penguasaan bahasa (LAD).
Pandangan pemerolehan bahasa secara disuapi adalah pandangan kaum behavioristis yang diwakili oleh B.F. Skinner dan menganggap bahasa sebagai suatu yang kompleks di antara perilaku-perilaku lain. Kemampuan berbicara dan memahami bahasa diperoleh melalui rangsangan lingkungan. Anak hanya merupakan penerima pasif dari tekanan lingkungan. Anak tidak memiliki peran aktif dalam perilaku verbalnya. Perkembangan bahasa ditentukan oleh lamanya latihan yang disodorkan lingkungannya. Anak dapat menguasai bahasanya melalui peniruan. Belajar bahasa dialami anak melalui prinsip pertalian stimulus respon.
Perkembangan bahasa anak adalah suatu kemajuan yang sebarang hingga mencapai kesempurnaan. Pandangan kognitif diwakili oleh Jean Piaget dan berpendapat bahwa bahasa bukan ciri alamiah yang terpisah melainkan satu di antara beberapa kemampuan yang berasal dari pematangan kognitif. Lingkungan tidak besar pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual anak. Yang penting adalah interaksi anak dengan lingkungannya.
Cara pemerolehan bahasa kedua dapat dibagi dua cara, yaitu pemerolehan bahasa kedua secara terpimpin dan pemerolehan bahasa kedua secara alamiah. Pemerolehan bahasa kedua yang diajarkan kepada pelajar dengan menyajikan materi yang sudah dipahami. Materi bergantung pada kriteria yang ditentukan oleh guru. Strategi-strategi yang dipakai oleh seorang guru sesuai dengan apa yang dianggap paling cocok bagi siswanya.
Pemerolehan bahasa kedua secara alamiah adalah pemerolehan bahasa kedua/asing yang terjadi dalam komunikasi sehari-hari, bebas dari pengajaran atau pimpinan,guru. Tidak ada keseragaman cara. Setiap individu memperoleh bahasa kedua dengan caranya sendiri-sendiri. Interaksi menuntut komunikasi bahasa dan mendorong pemerolehan bahasa. Dua ciri penting dari pemerolehan bahasa kedua secara alamiah atau interaksi spontan ialah terjadi dalam komunikasi sehari-hari, dan bebas dari pimpinan sistematis yang sengaja.
Di dalam kelas ada saja buah yang dapat dianggap sangat penting dan mendasar dalam proses belajar bahasa, yaitu (1) belajar bahasa adalah orang, (2) belajar bahasa adalah orang-orang dalam interaksi dinamis, dan (3) belajar bahasa adalah: orang-orang dalam responsi.
Pemerolehan bahasa bersamaan dengan proses yang digunakan oleh anak-anak dalam pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua. Pemerolehan bahasa menuntut interaksi yang berarti dalam bahasa sasaran yang merupakan wadah para pembicara memperhatikan bukan bentuk ucapan-ucapan mereka tetapi pesan-pesan yang mereka sampaikan dan mereka pahami. Perbaikan kesalahan dan pengajaran kaidah- kaidah eksplisit tidaklah relevan bagi pemerolehan bahasa, tetapi para guru dan para penutur asli dapat mengubah serta membatasi ucapan-ucapan mereka kepada pemeroleh agar menolong mereka memahaminya. Modifikasi-modifikasi ini merupakan pikiran untuk membantu proses pemerolehan tersebut.
Hubungan antara Pemerolehan Bahasa Pertama dan Pemerolehan Bahasa Kedua
Ciri-ciri pemerolehan bahasa mencakup keseluruhan kosakata, keseluruhan morfologi, keseluruhan sintaksis, dan kebanyakan fonologi. Istilah pemerolehan bahasa kedua atau second language aqcuisition adalah pemerolehan yang bermula pada atau sesudah usia 3 atau 4 tahun. Ada pemerolehan bahasa kedua anak-anak dan pemerolehan bahasa kedua orang dewasa.
Ada lima hal pokok berkenaan dengan hubungan pemerolehan bahasa pertama dengan pemerolehan bahasa kedua. Salah satu perbedaan antara pemerolehan bahasa pertama dan bahasa kedua ialah bahwa pemerolehan bahasa pertama merupakan komponen yang hakiki dari perkembangan kognitif dan sosial seorang anak, sedangkan pemerolehan bahasa kedua terjadi sesudah perkembangan kognitif dan sosial seorang anak sudah selesai, dalam pemerolehan bahasa pertama pemerolehan lafal dilakukan tanpa kesalahan, sedangkan dalam pemerolehan bahasa kedua itu jarang terjadi, dalam pemerolehan bahasa pertama dan bahasa kedua ada kesamaan dalam urutan perolehan butir-butir tata bahasa, banyak variabel yang berbeda antara pemerolehan bahasa pertama dengan pemerolehan bahasa. Kedua, suatu ciri yang khas antara pemerolehan bahasa pertama dan bahasa kedua belum tentu ada meskipun ada persamaan perbedaan di antara kedua pemerolehan.
Ada tiga macam pengaruh proses belajar bahasa kedua, yaitu pengaruh pada urutan kata dan karena proses penerjemahan, pengaruh pada morfem terikat, dan pengaruh bahasa pertama walaupun pengaruh isi sangat lemah (kecil).
Strategi Pemerolehan Bahasa Kedua
Perlu diingat bahwa strategi-strategi yang telah dikenal perlu dibagi ke dalam komponen-komponennya. Strategi pertama berpegang, pada semboyan: gunakanlah pemahaman nonlinguistik Anda sebagai dasar untuk penetapan atau pemikiran bahasa, Strategi ini berlangsung dan beroperasi pada tahap umum dalam karya Brown mengenai dasar kognitif ujaran tahap I. Strategi pertama ini memiliki rerata Panjang Ucapan; rata-rata (PUR) sebesar 1,75, dan Loncatan Atas (LA) sebesar 5. Adapun objek dan persona terus-menerus ada walaupun di luar jangkauan pandangan yang merupakan pemahaman nonlinguistik yang menjadi dasar atau landasan bagi pengarah bahasa atau terjemahan anak-anak terhadap ketidakstabilan atau kemudahan mengalirkan pemikiran ke dalam kategori-kategori bahasa yang lebih pasti. Penggunaan pemahaman nonlinguistik untuk memperhitungkan serta menetapkan hubungan-hubungan makna-ekspresi bahasa merupakan suatu strategi yang amat persuasif atau dapat merembes pada diri anak-anak.
Strategi kedua berpegang pada semboyan: gunakan apa saja atau segala sesuatu yang penting, yang menonjol dan menarik hati Anda. Ada dua ciri yang kerap kali penting dan menonjol bagi anak-anak kecil dan berharga bagi sejumlah kata-kata pertama mereka yaitu objek-objek yang dapat membuat anak-anak aktif dan giat (misalnya kunci, palu, kaos kaki, topi) dan objek-objek yang bergerak dan berubah (seperti mobil, jam). Sifat-sifat atas ciri-ciri perseptual dapat bertindak sebagai butir-butir atau titik-titik vokal bagi anak-anak (misalnya bayangan, ukuran, bunyi, rasa, bentuk). Anak-anak memperhatikan objek-objek yang mewujudkan hal-hal yang menarik hati ini; dan mereka memperhatikan cara menamai objek-objek itu dalam masyarakat bahasa. Perhatian anak-anak juga bisa pada unsur bahasa yang memainkan peranan penting sintaksis dan semantik dalam kalimat. Pusat perhatian tertentu bagi seorang anak mungkin saja berbeda pada periode yang berbeda pada setiap anak.
Strategi ketiga berpegang pada semboyan: anggaplah bahwa bahasa dipakai secara referensial atau ekspresif dan dengan demikian menggunakan data bahasa. Anak-anak kelompok referensial memiliki 50 kata pertama mencakup suatu proporsi nomina umum yang tinggi dan yang seakan-akan melihat fungsi utama bahasa sebagai penamaan objek-objek. Anak kelompok ekspresif memiliki 50 kata pertama secara proporsional mencakup lebih banyak kata yang dipakai dalam ekspresi-ekspresi sosial (seperti terima kasih, jangan begitu) dan lebih sedikit nama-nama objek yang melihat bahasa (terutama sekali) sebagai pelayanan fungsi-fungsi sosial efektif. Kedua kelompok anak itu menyimak bahasa sekitar mereka secara berbeda. Kelompok yang satu memperlakukan bahasa yang dipakai untuk mengacu, sedangkan kelompok yang satu lagi, kepada bahasa yang dipakai untuk bergaul, bersosialisasi. Ada tujuh fungsi bahasa yaitu fungsi instrumental, fungsi regulasi, fungsi representasi, fungsi interaksi, fungsi personal, fungsi heuristik, dan fungsi imajinatif. Fungsi instrumental bahasa berkaitan dengan pengelolaan lingkungan, mengkomunikasikan tindak. Fungsi regulasi atau pengaturan berkenaan dengan pengendalian peristiwa, penentuan hukum dan kaidah, pernyataan setuju tidak setuju. Fungsi representasi berkenaan dengan pernyataan, menjelaskan melaporkan. Fungsi interaksi berkaitan dengan hubungan komunikasi sosial. Fungsi personal berkenaan dengan kemungkinan seorang pembicara mengemukakan perasaan, emosi, dan kepribadian. Fungsi heuristik berkaitan dengan perolehan pengetahuan dan belajar tentang lingkungan. Fungsi imajinatif berkaitan dengan daya cipta imajinasi dan gagasan.
Strategi keempat berpegang pada semboyan: amatilah bagaimana caranya orang lain mengekspresikan berbagai makna. Strategi ini baik diterapkan pada anak yang berbicara sedikit dan seakan-akan mengamati lebih banyak, bertindak selektif, menyimak, mengamati untuk melihat bagaimana makna dan ekspresi verbal saling berhubungan. Strategi ini mengingatkan kepada gaya atau preferensi belajar yang berbeda pada anak-anak yang berlainan usia dalam situasi belajar yang lain pula.
Strategi kelima berpegang pada semboyan: ajukanlah pertanyaan-pertanyaan untuk memancing atau memperoleh data yang Anda inginkan, anak berusia sekitar dua tahun akan sibuk membangun dan memperkaya kosakata mereka. Banyak di antara mereka mempergunakan siasat bertanya atau strategi pertanyaan. Siasat ini seolah-olah merupakan sesuatu yang efektif, karena setiap kali dia bertanya: apa nih? apa tu? maka teman bicaranya mungkin menyediakan label atau, nama yang tepat. Suatu pola yang menarik terjadi pada penggunaan pertanyaan mengapa pada usia sekitar 3 tahun.
Pandangan Global dan Kecenderungan dalam Pemerolehan Bahasa
Ragam atau jenis pemerolehan bahasa dapat ditinjau dari lima sudut pandangan, yaitu berdasarkan bentuk, urutan, jumlah, media, dan keasliannya. Dalam pengertiannya semua istilah itu ternyata hampir sama. Di dalam literatur keduanya sering dipakai berganti-ganti untuk maksud dan pengertian yang sama.
Dalam bahasa satu tercakup istilah bahasa pertama, bahasa asli, bahasa ibu, bahasa utama, dan bahasa kuat. Dalam bahasa dua tercakup bahasa kedua, bukan bahasa asli, bahasa asing, bahasa kedua, dan bahasa lemah. Masih ada beberapa istilah lagi yaitu bahasa untuk komunikasi luas, bahasa baku, bahasa regional, bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa modern, dan bahasa klasik.
Ditinjau dari segi bentuk ada tiga pemerolehan bahasa yaitu pemerolehan bahasa pertama yaitu bahasa yang pertama diperoleh sejak lahir, pemerolehan bahasa kedua yang diperoleh setelah bahasa pertama diperoleh, dan pemerolehan-ulang, yaitu bahasa yang dulu pernah diperoleh kini diperoleh kembali karena alasan tertentu. Ditinjau dari segi urutan ada dua pemerolehan yaitu pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua.
Ditinjau dari segi jumlah ada dua pemerolehan yaitu pemerolehan satu bahasa (di lingkungan yang hanya terdapat satu bahasa secara luas), dan pemerolehan dua bahasa di lingkungan yang terdapat lebih dari satu bahasa yang digunakan secara luas).
Ditinjau dari segi media dikenal pemerolehan bahasa lisan (hanya bahasa yang diucapkan oleh penuturnya), dan pemerolehan bahasa tulis (bahasa yang dituliskan, oleh penuturnya). Ditinjau dari segi keaslian atau keasingan dikenal pemerolehan, bahasa asli (merupakan alat komunikasi penduduk asli), dan pemerolehan bahasa asing (bahasa yang digunakan oleh para pendatang atau bahasa yang memang didatangkan untuk dipelajari). Ditinjau dari segi keserentakan atau keberurutan (khususnya bagi pemerolehan dua bahasa) dikenal pemerolehan (dua bahasa) serentak dan pemerolehan dua bahasa berurutan.
Ada tiga komponen yang menentukan proses pemerolehan bahasa yaitu prospensity (kecenderungan), language faculty, (kemampuan berbahasa), dan acces (jalan masuk) ke bahasa.
Istilah prospensity mencakup seluruh faktor yang menyebabkan pelajar menerapkan kemampuan berbahasa untuk memperoleh sesuatu balasan. Hal itu merupakan hasil interaksi mereka yang menentukan kecenderungan aktual pelajar. Selama tidak mempengaruhi segala aspek pemerolehan bahasa pada taraf yang sama, maka tidaklah bijaksana mengaitkan kecenderungan dengan proses pemerolehan dengan cara yang umum. Unsur-unsur komponen kecenderungan itu dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, (misalnya pengajaran) sampai taraf-taraf tertentu.
Komponen kecenderungan ada empat yaitu integrasi sosial, pendidikan, kebutuhan komunikatif, dan sikap. Dalam pemerolehan bahasa pertama integrasi sosial merupakan suatu faktor yang dominan. Relevansi faktor ini akan berkurang jika beranjak dari pemerolehan bahasa anak menuju bentuk-bentuk pemerolehan bahasa lainnya. Integrasi sosial mempunyai sedikit kebermaknaan sebagai faktor penyebab kecenderungan dalam belajar bahasa kedua di tingkat perguruan tinggi atau universitas. Dalam hal-hal tertentu, integrasi sosial merupakan faktor yang mengakibatkan pengaruh negatif.
Faktor kebutuhan komunikatif harus dibedakan dengan cermat dan tepat dari integrasi sosial. Kedua faktor ini kerapkali berlangsung serta bertindak bersama-sama bahu-membahu. Walaupun integrasi sosial jelas sekali mengimplikasikan kepuasan kebutuhan-kebutuhan komunikatif tertentu; namun kedua faktor itu berbeda. Kedua faktor tersebut telah dipisahkan secara cermat dan keduanya dapat mempengaruhi pemerolehan bahasa dengan cara-cara yang amat berbeda (dalam ranah fonologi, morfologi; sintaksis, kosakata, dan wacana). Ada berbagai ragam jenis kebutuhan komunikasi. Pengaruhnya kepada pemerolehan bahasa tentu juga beragam. Perbedaan yang ada antara integrasi sosial dan kebutuhan komunikatif sebagai dua komponen kecenderungan yang berinteraksi selalu dengan perbedaam atau motivasi integratif dan motivasi instrumental. Bukan berarti bahwa motivasi tidak memberikan kontribusi apa pun kepada kecenderungan.
Sikap subjektif mempengaruhi belajar bahasa dengan cara-cara yang tidak jelas, misalnya disebabkan integritas sosial dan kurangnya rasa percaya diri. Daya tarik menarik bahasa sebenarnya dapat menjadi sebuah ebakan. Sikap meremehkan dengan menggampangkan mengakibatkan sedikitnya perhatian kepada bahasa yang akan dipelajari, hanya sedikit pencurahan dan akhirnya mengantarkan kepada kegagalan belajar bahasa kedua.
Kapasitas dan Acces dalam Belajar Bahasa
Belajar bahasa mengandalkan berpikir, fungsi otak akan bekerja sebagaimana belajar. Bahasa merupakan dasar fundamental berpikir. Ada keapikan hubungan antara bahasa dan berpikir. Bahasa juga dapat memperluas pikiran. Otak memiliki kapasitas untuk menampung rangsangan-rangsangan yang masuk. Tidak semua rangsangan yang diterima akan langsung direkam ke memori yang paling dalam. Ada rangsangan atau informasi yang diterima dan ditempatkan hanya sampai tingkat permukaan otak maupun ditolak.
Pemerolehan bahasa merupakan sebuah proses. Pemrosesan bahasa memerlukan sebuah acces atau jalan masuk. Tanpa jalan masuk tidak mungkin bahan mentah atau bahan kasar dapat diproses dalam pemerolehan bahasa. Jalan masuk memiliki dua komponen yang berbeda, yaitu jumlah yang tersedia dan jajaran jarak kesempatan komunikasi.
Belajar bahasa kedua harus dapat membedakan variasi-variasi tekanan suara, nada, intonasi dari satu bahasa ke bahasa lain. Khasanah kosakata anak seringkali didapat karena melibatkan pemahamannya tentang siapa berbicara dengan siapa, di mana, kapan, sambil mengamati gerak tubuh para tokoh dan reaksinya.
Walaupun masukan dalam pemerolehan bahasa bersifat spontan tetapi pada umumnya terdiri atau ujaran otentik. Pembicara atau penutur asli mempunyai kecenderungan menyesuaikan bahasanya dengan potensi pelajar yang telah diduga itu. Penyesuaian-penyesuaian belajar bahasa terjadi dalam fonologi, morfologi, sintaksis, kosakata, dan dalam komunikasi pada umumnya. Dengan bertindak demikian pembicara dapat berbuat kesalahan dalam dua hal. Pertama, modifikasi-modifikasinya dapat menghalangi pemahaman kalau pelajar semakin maju datam bahasa itu. Kedua; pelajar mungkin menginterpretasikannya sebagai suatu tanda jarak sosial dan rasa rendah diri dan merasa terhina dengan terlihat berbicara dalam logat khusus seperti ini.
Pemerolehan bahasa spontan mencakup belajar di dalam interaksi sosial dan melalui interaksi sosial. Pelajar diharuskan mempergunakan sebaik-baiknya segala pengetahuan yang tersedia padanya agar dapat memahami apa yang dikatakan orang lain dan menghasilkan ucapan-ucapannya sendiri. Hal itu ditunjang observasi. Pertama, pelajar disajikan dengan lebih banyak masukan linguistik dengan frekuensi yang meningkat dan dalam jangkauan yang lebih luas. Kedua, mendapat lebih banyak kesempatan menguji produksi ujarannya sendiri berlawanan dengan yang datang dari lingkungannya untuk membuktikan hipotesis-hipotesisnya mengenai struktur bahasa sasaran. Pelajar cenderung berbeda dalam tingkat pemonitoran linguistik mereka. Kesempatan-kesempatan berkomunikasi secara verbal jauh lebih terbatas pada pemerolehan bahasa kedua terpimpin. Pertukaran-pertukaran terdiri dari unsur-unsur produksi dan pemahanan bahasa yang ’siap pakai’ yang maju terus ke tingkat-tingkat yang beragam dalam komunikasi.
Struktur Proses Belajar Bahasa dan Kecepatan Pemerolehan Bahasa
Pada proses belajar, pertama memiliki ciri-ciri tidak disengaja, berlangsung sejak lahir, lingkungan keluarga sangat menentukan, motivasi ada karena kebutuhan, banyak waktu untuk mencoba bahasa, dan pelajar memiliki banyak waktu untuk berkomunikasi. Pada proses belajar bahas kedua terdapat ciri-ciri disengaja, berlangsung setelah si pelajar berada di sekolah, lingkungan sekolah sangat menentukan, motivasi pelajar untuk mempelajarinya tidak sekuat mempelajari bahasa pertama, waktu terbatas, pelajar tidak mempunyai banyak waktu untuk mempraktikkan bahasa yang dipelajari, bahasa pertama mempengaruhi proses belajar bahasa kedua, umur kritis mempelajari bahasa kedua kadang-kadang telah lewat, disediakan alat bantu belajar, dan ada orang yang mengorganisasikannya. Selain itu ada juga ciri lain yaitu bahasa pertama dan bahasa kedua mungkin dipelajari secara bersamaan atau secara berurutan, jika dipelajari secara berurutan maka bahasa kedua dapat dipelajari dalam lingkungan bahasa pertama atau bahasa kedua. Kedua, maka bahasa kedua dipelajari melalui kontak bahasa, bahasa kedua biasanya dipelajari melalui pengajaran, belajar bahasa kedua berkaitan dengan perkembangan berbagai keterampilan berbahasa baik secara lisan maupun tertulis.
Ada 10 strategi dalam proses belajar bahasa yaitu strategi perencanaan, aktif, empatik, formal, eksperimental, semantik, praktis, komunikasi, strategi, monitor, dan strategi internalisasi.
Ciri pelajar yang baik ialah, mau dan menjadi seorang penerka yang baik, suka berkomunikasi, kadang-kadang tidak malu terhadap kesalahan dan siap memperbaikinya, suka mengikuti parkembangan bahasa, praktis, mengikuti ujarannya dan membandingkannya dengan ujaran yang baku, dan mengikuti perubahan makna kerangka konteks sosial.
Peranan Bahasa Pertama dalam Proses Pemerolehan Bahasa Kedua
Bahasa pertama mempunyai pengaruh positif yang sangat besar terhadap bahasa kedua sebesar 4 – 12 % dari kesalahan-kesalahan dalam tata bahasa yang dibuat oleh anak-anak berasal dari bahasa pertama, sebesar 8 – 23 % merupakan kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh orang dewasa. Mayoritas kesalahan-kesalahan tersebut lebih banyak dalam susunan kata daripada dalam morfologi. Bidang yang sangat kuat dipengaruhi oleh bahasa pertama adalah pengucapan. Anak-anak memproses sistem bunyi baru melalui pola-pola fonologis bahasa pertama pada tahap-tahap awal pemerolehan bahasa kedua, tetapi secara berangsur-angsur mereka bersandar pada sistem bahasa kedua dan aksen atau tekanan (logat) mereka pun menghilang.
Pengaruh bahasa pertama kian bertambah pada bahasa kedua jika pelajar diharapkan menghasilkan bahasa kedua sebelum dia mempunyai penguasaan yang cukup memadai terhadap bahasa barunya. Pelajar akan bergantung pada struktur-struktur bahasa pertama, baik dalam upaya komunikasi maupun terjemahan. Pengaruh bahasa pertama juga merupakan fakta dalam interaksi yang terjadi antara bahasawan bahasa pertama dan bahasa kedua.
Satu-satunya sumber utama kesalahan-kesalahan sintaksis dalam penghasilan bahasa kedua orang dewasa adalah bahasa pertama si pelaku. Ada pandangan yang menyatakan bahwa kesalahan bukan bersumber pada struktur bahasa pertama, melainkan pada latar belakang linguistik yang berbeda-beda dari bahasa kedua (B2) pelajar.
Pengaruh bahasa pertama terlihat paling kuat dalam susunan kata kompleks dan dalam terjemahan frase-frase, kata demi kata. Pengaruh bahasa pertama lebih lemah dalam morfem terikat. Pengaruh bahasa pertama paling kuat atau besar dalam lingkungan-lingkungan pemerolehan yang rendah.
Pengaruh bahasa pertama bukanlah merupakan hambatan atau rintangan proaktif, melainkan akibat dari penyajian yang justru diperbolehkan menyajikan sesuatu sebelum dia mempelajari perilaku baru itu. Pengobatan atau penyembuhan bagi interferensi hanyalah penyembuhan bagi ketidaktahuan belajar. Bahasa pertama dapat merupakan pengganti bahasa kedua yang telah diperoleh sebagai suatu inisiator atau pemrakarsa ucapan apabila pelajar bahasa kedua harus menghasilkannya dalam bahasa sasaran, tetapi tidak cukup kemampuan bahasa kedua yang telah diperolehnya. Pengaruh bahasa pertama merupakan petunjuk bagi pemerolehan yang rendah. Anak-anak mungkin membangun atau membentuk kompetensi yang diperoleh melalui masukan. Kurangnya desakan penghasilan ujaran lisan akan menguntungkan bagi anak-anak dan orang dewasa menelaah bahasa kedua dalam latar-latar formal.
Pengaruh bahasa pertama dapat dianggap sebagai sesuatu yang tidak alamiah. Seseorang dapat saja menghasilkan kalimat-kalimat dalam bahasa kedua tanpa suatu pemerolehan. Jika bahasa kedua berbeda dengan bahasa pertama, model monitor dapat dipakai dengan menambahkan beberapa morfologi dan melakukannya dengan sebaik-baiknya untuk memperbaiki susunan kata. Pemerolehan bahasa mungkin pelan-pelan, tetapi dalam jangka panjang akan lebih bermanfaat kalau bahasa dipergunakan untuk maksud dan tujuan komunikasi.
Input dan Interaksi dalam Proses Pemerolehan Bahasa
Seorang anak akan dihadapkan pada dua penguasaan bahasa dalam mempelajari bahasa kedua (B2) yaitu memperoleh bahasa pertama sedangkan ia sendiri akan berupaya mempelajari bahasa kedua. Bahasa antara adalah bentuk ujaran yang belum atau tidak ada modelnya pada kedua bahasa baik bahasa pertama maupun bahasa kedua, bahasa sumber maupun bahasa sasaran, bahasa ibu maupun bahasa yang dipelajari. Ideosinkresi adalah bentuk ujaran yang tidak terdapat dalam model bahasa kedua atau yang dipelajari.
Proses belajar bahasa berkembang melalui beberapa tahap. Tahap kompetensi perantara disebut kompetensi trasisional atau bahasa antara. Setiap bahasa antara mewakili satu tahap kompetensi yang berisi bentuk-bentuk yang benar maupun yang tidak benar dalam bahasa yang dipelajari. Ada empat kompetensi yakni kompetensi formal, kompetensi semantik, kompetensi berkomunikasi, dan kreativitas. Keempat kompetensi itu dikuasai secara bertahap. Ada empat pemerolehan dalam belajar bahasa yaitu menguasai bunyi bahasa, menguasai bentuk kata, menguasai kalimat, dan menguasai makna. Empat pemerolehan ini lama-kelamaan berlangsung secara otomatis dan pada akhirnya digunakan siswa untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari.
Ada tiga persoalan utama proses belajar yaitu (1) Perbedaan antara dominasi yang tak dapat dihindari, terdapat di dalam otak siswa yang mempelajari bahasa pertama dengan ketidakcakapan siswa menguasai bahasa kedua, (2) pilihan implisit-eksplisit, (3) dilema komunikasi dengan kode.
Terdapat hipotesis yang disusun dalam bagian-bagian yang berhubungan dengan komponen pemerolehan bahasa kedua yang ditinjau dari segi umum, situasi, masukan, perbedaan-perbedaan pelajar, proses-proses dan keluaran linguistik. Hipotesis segi umum ini membicarakan perihal bagaimana pemerolehan bahasa kedua, apakah mengikuti perkembangan alamiah atau tidak, dan apakah ada keragaman di antaranya, bagaimana secara vertikal dan bagaimana secara horisontal. Hipotesis segi situasi membicarakan faktor-faktor situasional yaitu siapa ditujukan kepada siapa, kapan, tentang apa, dan di mana serta apakah mempengaruhi urutan perkembangan atau tidak, apakah merupakan penyebab utama bahasa pemeroleh. Hipotesis input atau masukan membicarakan masukan dan interaksi sekaligus, apakah dapat menentukan perkembangan pemerolehan atau tidak. Hipotesis perbedaan pelajar menyangkut personalitas pelajar bahasa baik itu sikap, persepsi, minat maupun motivasi, serta apakah bahasa pertama dapat mempengaruhi perkembangan pemerolehan. Hipotesis proses-proses pelajar membicarakan bahasa antara, keuniversalan bahasa serta korolari. Hipotesis keluaran linguistik menyangkut sifat keluaran linguistik, apakah formulaik atau tidak, kreatif atau monoton, bervariabel atau tidak, dinamis atau statis, sistemis atau sistematis.
Kedudukan Bahasa Indonesia dalam Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia
Bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi di Indonesia. Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia mempunyai tiga fungsi, yaitu: sebagai alat pemersatu suku-suku bangsa di Indonesia, sebagai lambang kebanggaan dan identitas nasional, dan sebagai alat perhubungan antarbudaya dan antar- daerah. Dalam kedudukannya sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa resmi dalam kepentingan kenegaraan, alat perhubungan pada tingkat nasional, bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia, dan sebagai alat pengembangan kebudayaan, ilmu dan teknologi. Bahasa Indonesia merupakan mata pelajaran pokok di SD, SMTP, SMTA, bahkan sampai di perguruan tinggi.
Berdasarkan sensus penduduk tahun 1980 tercatat bahwa bahasa Indonesia dipakai sehari-hari di rumah hanya oleh 12% penduduk Indonesia, bahasa Jawa 40 %, sedangkan bahasa Sunda 15 %. Di antara 146 juta jiwa penduduk Indonesia hanya 12 % yang berbahasa Indonesia sehari-hari. Golongan umur 25 – 49 tahun merupakan kelompok umur yang tertinggi dalam pemakaian bahasa Indonesia, kelompok umur 15-24 tahun sebanyak 4.103.00 jiwa, sedangkan di kalangan anak-anak, kelompok 0-4 hanya sebesar 2.692.000 jiwa dan kelompok umur 5-9 tahun sebesar 2.446.000 jiwa.
Berdasarkan jenis kelamin penduduk, jumlah penduduk kota, laki-laki dapat berbahasa Indonesia sebesar 81% sedangkan yang perempuan 84 %. Di desa, jumlah penduduk laki-laki dapat berbahasa Indonesia adalah 60 % sedangkan yang perempuan adalah 49%.
DKI Jakarta menduduki peringkat terbaik dalam keniraksaraan, yaitu hanya 5 % sedangkan propinsi Nusa Tenggara Barat sebesar 53 %. Perolehan bahasa Indonesia dapat dilihat dari beberapa sudut yaitu sebagai bahasa pertama atau bahasa kedua, oleh orang dewasa atau anak-anak, di kota besar atau di desa.
Cukup besar perbedaan persentase anak belajar bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama dengan orang dewasa. Di kota besar 24,4 % berbanding 5 % dan di desa 16,2 % berbanding 3,2 %. Secara keseluruhan perbedaannya ialah 21,3 % untuk anak-anak dan 43 % untuk orang dewasa. Hal itu berhubungan dengan pola berbahasa masyarakat kota dan desa, yang lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia untuk media dalam berbagai lingkungan kebahasaan dan heterogenitas kebahasaan yang ada.
Di Amerika Serikat, setelah orang dan bahasa-bahasa India hampir lenyap dalam abad ke-19, ada penambahan dari tahun 1950 ke tahun 1960 dan dari tahun 1960 ke tahun 1970. Pada tahun 1975, + 17 % orang Amerika menyatakan memakai bahasa lain selain dari bahasa Inggris dalam masa kanak-kanak.
Pemerolehan Bahasa Kedua
- Bagi sebagian besar anak Indonesia, bahasa Indonesia bukan bahasa pertama mereka, melainkan bahasa kedua, atau ketiga.
- Pengenalan/penguasaan bahasa Indonesia dapat terjadi melalui proses pemerolehan atau proses belajar.
- Proses pemerolehan terjadi secara alamiah, tanpa sadar, melalui interaksi tak formal dengan orang tua dan/atau teman sebaya, tanpa bimbingan.
- Proses belajar terjadi secara formal, disengaja, melalui interaksi edukatif, ada bimbingan, dan dilakukan dengan sadar.
- Bahasa Pertama (B1) dan Bahasa Kedua (B2) didapat bersama-sama atau dalam waktu berbeda. Jika didapat dalam waktu yang berbeda, Bahasa Kedua (B2) didapat pada usia prasekolah atau pada usia Sekolah Dasar.
- Bahasa Kedua (B2) dapat diperoleh di lingkungan Bahasa Pertama (B1) dan Bahasa Kedua (B2). Jika diperoleh di lingkungan Bahasa Pertama, Bahasa Kedua dipelajari melalui proses belajar formal; jika didapat di lingkungan Bahasa Kedua, Bahasa Kedua didapat melalui interaksi tidak formal, melalui keluarga, atau anggota masya-rakat Bahasa Kedua.
Empirisme Dalam Teori Belajar B2
- Teori belajar behavioris bersifat empiris, didasarkan atas data yang dapat diamati.
- Kaum behavioris berpendapat bahwa proses belajar pada manusia sama dengan proses belajar pada binatang.
- Kaum behavioris menganggap bahwa proses belajar bahasa adalah sebagian saja dari proses belajar pada umumnya.
- Menurut kaum behavioris manusia tidak memiliki potensi bawaan untuk belajar bahasa.
- Kaum behavioris berpendapat bahwa pikiran anak merupakan tabula rasa (kertas kosong) yang akan diisi dengan asosiasi antara S dan R.
- Menurut pandangan mereka semua perilaku merupakan respons terhadap stimulus. Perilaku terbentuk dalam rangkaian asosiatif.
- Belajar adalah proses pembentukan hubungan asosiatif antara stimulus dan respons yang berulang-ulang. Pembentukan kebiasaan ini disebut pengkondisian.
- Pengkondisian selalu disertai ganjaran sebagai penguatan asosiasi antara S dan R.
- Bahasa manusia merupakan suatu sistem respons yang canggih yang terbentuk melalui pengkondisian operant/belajar verbal (bahasa).
Rasionalisme dalam Teori Belajar B2
- Teori belajar bahasa yang termasuk aliran rasionalisme ialah teori tata bahasa universal, teori monitor dan teori kognitif.
- Teori tata bahasa universal mencakup seperangkat elemen gramatikal atau prinsip-prinsip yang secara alami ada pada semua bahasa manusia.
- Prinsip-prinsip di atas merupakan hasil perangkat pemerolehan bahasa (LAD) yang mencakup prinsip-prinsip universal substantif dan prinsip universal formal.
- Menurut Chomsky prinsip universal “ditemukan” oleh anak membentuk “tata bahasa inti” yang sama dalam semua bahasa. Di samping tata bahasa inti di dalam bahasa, ada tata bahasa “periferal” yang tidak ditentukan oleh tata bahasa universal.
- Krashen mengemukakan model belajar yang disebut “model monitor” yang mencakup 5 hipotesis, yaitu hipotesis perbedaan pemerolehan dan proses belajar bahasa, hipotesis tentang urutan alamiah pemerolehan struktur gramatikal, hipotesis monitor, hipotesis masukan, dan hipotesis saringan.
- Menurut Krashen, belajar hanya dapat berfungsi sebagai monitor bila disertai dengan kondisi yang memadai.
- Melalui pemerolehan yang terjadi di bawah sadar anak-anak mendapatkan intuisi bahasa (rasa bahasa), yang tidak diperoleh melalui proses belajar terutama pada tahap awal.
- Teori kognitif bersumber pada psikologi kognitif dan berfokus pada proses kognitif yang lebih umum. Menurut teori kognitif, belajar bahasa terjadi sebagai pemerolehan keterampilan kognitif yang kompleks. Untuk mencapai kemahiran bahasa sub-subketerampilannya harus dilatih, diotomatisasikan, diintegrasikan, dan diorganisasi-kan ke dalam sistem yang sudah dimiliki, yang selalu berubah strukturnya sesuai dengan perkembangan kemahiran.
- Pada tahun 80-an Titone mengajukan model belajar bahasa yang disebut model Holodinamik (HDM). Model ini menunjukkan perpaduan ciri-cici aliran beha-viorisme dan aliran kognitif serta sangat mementingkan aspek-aspek kepribadian. Model ini mencakup tiga tingkat yaitu tingkat ego, strategi, dan taktik.
Peranan Pengajaran Bahasa dalam Memperoleh Bahasa Kedua
- Pengajaran Bahasa Kedua (B2) adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang untuk memudahkan orang lain belajar.
- Pengajaran mencakupi 3 unsur pokok dan banyak unsur yang merupakan konvensi. Unsur pokok bersifat umum/universal sedangkan konvensi dibatasi oleh negara, lingkungan, tujuan, waktu, kelompok.
- Unsur pokok pengajaran ialah orang yang mengajar (guru), kegiatan/materi yang dirancang untuk memudahkan belajar dan orang yang belajar.
- Peranan pengajaran secara umum ialah dalam memberikan kemudahan agar siswa Bahasa Kedua (B2) dapat mencapai tujuan belajar yang mencakupi sub-subketerampilan membaca, menulis, berbicara, menyimak, dan mengapresiasi sastra dalam Bahasa Kedua (B2).
- Krashen menyatakan pengajaran yang diciptakan sebagai lingkungan kondusif memegang peranan penting dalam memberikan masukan-masukan terutama bagi siswa yang tidak mempunyai kesempatan memperoleh masukan dari lingkungan informal.
- Peranan pengajaran Bahasa Kedua (B2), berdasarkan unsur-unsur pokoknya dapat dirinci sebagai peranan guru, materi/kegiatan belajar dan siswa.
- Guru memegang peranan yang penting dalam memberikan kemudahan menumbuhkan/memelihara/meningkatkan motivasi, mengorganisasikan siswa, memilih/menentukan bahan ajar mengelola/mengarahkan kegiatan belajar, memantau kemajuan, membantu siswa dalam kesulitan belajar.
- Bahan/kegiatan belajar yang disediakan menentukan apa yang mungkin dikuasai siswa dan bagaimana kualitas penguasaannya.
- Siswa merupakan pusat pengajaran. Materi, kegiatan belajar, evaluasi disusun dengan mempertimbangkan dan untuk kepentingan siswa. Pengajaran Bahasa Kedua (B2) berpusat pada siswa dengan mempertimbangkan bagaimana siswa belajar B2.
Prinsip dan Metode Pengajaran B2
- Belajar Bahasa Kedua (B2) adalah belajar dalam konteks pemakaian bahasa yang sebenarnya.
- Belajar Bahasa Kedua (B2) adalah belajar menggunakan Bahasa Kedua (B2) tersebut dalam berbagai fungsinya.
- Siswa harus dilatih menggunakan bahasa secara tepat.
- Pengajaran bahasa perlu memperhatikan kebutuhan afektif dan kognitif pelajaran.
- Pemahaman Budaya Bahasa Kedua (B2) perlu ditumbuhkan dalam pengajaran Bahasa Kedua (B2).
- Metode tata bahasa terjemahan tidak membuat siswa terampil menggunakan bahasa, tetapi tahu tentang bahasa.
- Metode langsung diterapkan melalui kegiatan dialog, tubian pola, dan penerapan. Tubian yang dilakukan mencakupi tubian pengulangan dan tubian respons.
- Tujuan pengajaran bahasa komunikatif ialah agar siswa dapat berkomunikasi dalam permaian bahasa yang sebenarnya dalam bentuk bahasa yang diterima. Dalam pelaksanaannya, jika diperlukan Bahasa Kesatu (B1) dan penerjemahkan dapat digunakan. Tata bahasa diberikan.
- Pengajaran dengan respons fisik total menekankan penguasaan kemampuan menyimak pada awal pelajaran. Pemahaman dan retensi paling baik dipelajari melalui gerakan fisik sebagai respons terhadap perintah guru. Kegiatan berbicara baru dilakukan bila siswa sudah benar-benar siap. Proses siswa dilaksanakan melalui langkah = latihan mendengarkan, produksi dan membaca serta menulis.
- Pendekatan alamiah dikembangkan berdasarkan keyakinan bahwa penguasaan bahasa lebih banyak terjadi melalui proses pemerolehan secara alamiah yang digabungkan dengan teori monitor dan Krashen. Pendekatan ini dalam penerapannya sangat mementingkan pemerolehan kosakata.
http://massofa.wordpress.com/2008/11/19/pemerolehan-bahasa-anak-usia-4-6-tahun/
Artikel Cakrawala TNI AL
PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA
| Pengajaran dan Pemerolehan Bahasa untuk Orang Asing: Berbagai Masalah Sunaryono Basuki, KS STKIP Singaraja |
| | 1. Kata PengantarTerdapat dua pendekatan utama dalam pengajaran bahasa yaitu pendekatan formalis yang bertahan cukup lama, dan pendekatan fungsionalis yang relatif baru berkembang pada tiga dekade terakhir. Menurut pendekatan formalis bahasa adalah bentuk dan pengajarannya berpusat pada pengajaran bentuk-bentuk bahasa. Sementara itu, pendekatan fungsionalis yang berakar pada bidang sosiolinguistik menekankan aspek fungsi. Sebelum lahirnya sosiolingusitik, pandangan para ahli mengenai bahasa selalu berpusat pada bahasa sebagai bentuk. Salah satu definisi tentang bahasa berbunyi: "bahasa adalah simbol vokal yang bersifat arbitrer yang digunakan manusia untuk berkomunikasi ...". Walaupun kata "komunikasi" sudah masuk ke dalam definisi tersebut, perhatian yang lebih serius terhadap pengajaran bahasa untuk komunikasi belum terarah. Pendekatan formalis menghasilkan berbagai metode. Pada awal tahun 60-an, di Salatiga mulai digodok materi pengajaran Bahasa Inggris di SMP lengkap dengan saran metode serta alat bantu belajarnya, mengekor pada Materi Michigan (Michigan Materials) dan diberi label dengan 'oral-aural approach'. Kebesaran kaum struktural seakan menelan berbagai pandangan, namun keberhasilannya dipertanyakan karena pengajarannya dianggap terlalu mekanistis dan melupakan faktor komunikasi. 2. Pembelajaran dan Pemerolehan BahasaMula-mula semua proses dari tidak berbahasa (baik untuk B1 maupun B2) disebut pembelajaran bahasa (language learning). Banyak teori yang dikemukakan tentang bagaimana seorang bayi "belajar" bahasa pertamanya. Orang asing dewasa yang sudah(beberapa) B2, ketika hendak belajar Bahasa Indonesia akan menjalani proses pembelajaran Bahasa Indonesia melalui pengajaran Bahasa Indonesia di dalam setting Indonesia, walaupun ketika dia sudah menguasai Bahasa Indonesia kelak, sering juga dikatakan bahwa dia telah 'memperoleh' (acquire) Bahasa Indonesia. 3. Teori tentang Pembelajaran Bahasa KeduaStephen Krashen (1984) menyatakan bahwa teori pemerolehan bahasa kedua adalah bagian dari linguistik teoritik karena sifatnya yang abstrak. Menurutnya, dalam pengajaran bahasa kedua, yang praktis adalah teori pemerolehan bahasa yang baik. (i) Pemerolehan dan Pembelajaran BahasaIstilah pemerolehan bahasa dipakai untuk membahas penguasaan bahasa pertama di kalangan anak-anak karena proses tersebut terjadi tanpa sadar, sedangkan pemerolehan bahasa kedua (Second Language Learning) dilaksanakan dengan sadar. Pada anak-anak, error (kegalatan) dikoreksi oleh lingkungannya secara tidak formal, sedangkan pada orang dewasa yang belajar B2, kegalatan diluruskan dengan cara berlatih ulang. (ii) Hipotesis mengenai Pemantau (Monitor)Pembelajaran berfungsi sebagai pemantau. Pembelajaran tampil untuk menggantikan bentuk ujaran sesudah ujaran dapat diproduksi berdasarkan sistem. Konsep tentang Pemantau cukup rumit dan ditentang oleh Barry McLaughlin karena gagal dalam hal ketidaktuntasan Pemantau dalam melakukan pemantauan terhadap pemakaian B2. Penerapan Pemantau dapat menghasilkan efektifitas jika pemakai B2 memusatkan perhatian pada bentuk yang benar. Syarat memahami kaidah merupakan syarat paling berat sebab struktur bahasa sangat rumit. McLaughlin menyatakan bahwa : (1) Monitor jarang dipakai di dalam kondisi normal pemakaian dan dalam pemerolehan B2, (2) Monitor secara teoritis merupakan konsep yang tak berguna. (iii) Hipotesis Input (Masukan)Si-Belajar B2 dianggap mengalami suatu perkembangan dari tahapan i (kompetensi sekarang) menuju tahapan i + l. Untuk menuju tahapan i+l dituntut suatu syarat bahwa Si-Belajar sudah mengerti mengenai masukan yang berisi i+l itu. (iv) Hipotesis Filter AfektifBagaimana faktor-faktor afektif mempunyai kaitan dengan proses pemerolehan bahasa. Konsep ini dikemukakan oleh Dulay dan Burt (1977). (v) Hipotesis Analisis KontrastifMenurut Hipotesis ini sistem yang berbeda dapat menghasilkan masalah, sedangkan sistem yang sama atau serupa menyediakan fasilitas atau memudahkan Si-Belajar memperoleh B2. Namun Hipotesis ini ternyata juga dianggap kurang efektif karena di dalam banyak kasus sistem yang berbeda justru tidak menimbulkan masalah dan sebaliknya. (vi) InterlanguageInterlanguage adalah bahasa yang mengacu kepada sistem bahasa di luar sistem B1 dan kedudukannya berada di antara B1 dan B2 (Selinker, 1972). Istilah lain adalah approximative system dan idiosyncratic dialect. Kajian studinya menghasilkan analisis kegalatan (error analysis) dan membedakannya dengan mistake. (vii) Tahapan Perkembangan Bahasa-antaraSecara ringkas teori tahapan perkemba-ngan bahasa antara menurut Corder (1973) dapat dirangkum sebagai berikut. a. Tahapan Kegalatan Acak Pertama Si-Belajar berkata *Mary cans dance" sebentar kemudian diganti menjadi "Mary can dance". b. Tahapan kebangkitan Pada tahapan ini Si-Belajar mulai menginternalisasi beberapa kaidah bahasa kedua tetapi ia belum mampu membetulkan kesalahan yang dibuat penutur lain. c. Tahapan Sistematik Si-Belajar sudah mampu menggunakan B2 secara konsisten walaupun kaidah B2 belum sepenuhnya dikuasainya. d. Tahapan Stabilisasi Si-Belajar relatif menguasai sistem B2 dan dapat menghasilkan bahasa tanpa banyak kegalatan atau pada tingkat post systematic menurut Corder. (viii) Bahasa PidginMasyarakat pengguna B2 juga sering melahirkan bahasa pidgin yaitu bahasa campuran yang terjadi akibat penerapan dua atau tiga bahasa di dalam percakapan sehari-hari. 4. Dua Pendekatan untuk Investigasi Pemerolehan B2Rod Ellis dan Celia Roberts (Rod Ellis, ed., 1987) mengemukakan dua pendekatan untuk investigasi pemerolehan B2. Pendekatan pertama mencoba mencari jawab atas pertanyaan . Bagaimana studi mengenai pemerolehan B2 dapat menjelaskan masalah pemerolehan kode linguistik?. Pendekatan kedua mencari jawab atas pertanyaan "Bagaimana konteks sosial memberi tahu kita mengenai cara Si-Belajar mengembangkan kompetensi komunikatif di dalam B2?" Pada dasarnya, menurut para ahli sosiolinguistik, bahasa menyangkut pilihan. Kita kemudian harus memahami apa yang dimaksud dengan konteks dengan memperhatikan baik faktor linguistik maupun ekstra-linguistik yang mempengaruhi pilihan bahasa. Istilah konteks sering didefinisikan dengan acuan kepada situasi aktual dimana suatu peristiwa komunikasi berlangsung. Padahal jelas tidak semua yang ada pada situasi tersebut akan mempengaruhi pilihan bahasa, hingga bagi seorang sosiolinguis, 'konteks' terdiri dari aspek-aspek situasi yang mengaktifkan pilihan. Kita harus mengenal bahwa 'situasi aktual' (lihat Lyons, 1977) terdiri dari baik elemen linguistik maupun ekstralinguistik. Umumnya unsur linguistik disebut konteks linguistik dan unsur ekstralinguistik disebut konteks situasional. Konsep mengenai kompetensi komunikatif pertama kali diperkenalkan oleh Hymes di pertengahan tahun 1960. Hymes tertarik pada tingkat kompetensi yang diperlukan penutur agar mereka mendapat keanggotaan dari komunitas ujaran tertentu. Dia meneliti mengenai faktor-faktor apa saja, terutama faktor sosio-budaya yang diperlukan selain kompetensi gramatikal oleh penutur yang terlibat di dalam interaksi bermakna. Hymes menunjukkan bagaimana variasi bahasa berkorelasi dengan norma-norma sosial dan budaya dari interaksi publik tertentu, dari peristiwa ujaran (speech event). Namun dia tidak melihat pada cara-cara spesifik dimana interaksi terjadi. Barulah Schegloff (1982) yang meneliti percakapan sebagai suatu 'ongoing accomplishment'. Ternyata percakapan menunjukkan secara sistematis diorganisir para penutur dan organisasi ini bersifat mendasar untuk menjelaskan bagaimana interaksi dilakukan. Gumperz (1984) meninjau kembali pendapat mengenai kompetensi komunikatif dan menyarankan bahwa kompetensi tersebut tidak didefinisikan dalam hubungannya dengan aturan yang harus dipakai oleh para penutur, seperti yang dilakukan oleh ahli sosiolinguistik yang lain. Menurut Gumperz kompetensi komunikatif berkaitan dengan hal menciptakan kondisi yang memungkinkan interpretasi yang dipahami bersama (shared). Canale (1983b) di dalam perspektif pedagogis dari kompetensi komunikatif mengakui bahwa kita tahu hanya sedikit tentang aspek-aspek yang berbeda dari kompetensi berinteraksi. Namun, Canale dan Swain (1980) serta Canale (1983b) dalam Ellis (ed., 1987) mengusulkan kerangka kerja bagi kompetensi komunikatif yang dapat menolong di dalam mengkategorikan penggunaan bahasa Si-Belajar untuk tujuan-tujuan assessment. Konteks terdiri dari apa yang diciptakan di dalam interaksi dan apa yang dibawa ke dalamnya dengan cara presuposisi mengenai dunia, pengetahuan interaksi dan pengetahuan mengenai kode linguistik. Pemakai bahasa perlu mengembangkan baik pengetahuannya sendiri dan juga keterampilan untuk melaksanakan interaksi dan mempertahankan keterlibatannya di dalam percakapan. Ini semua dikembangkan secara interaksional. Tidak banyak riset yang mengungkapkan bagaimana kompetensi komunikatif secara interaksional diselesaikan, baik interaksi lisan maupun interaksi dengan teks tertulis. Hal ini agak mengherankan sebab secara luas diakui bahwa interaksi menyediakan kesempatan bagi kompetensi komunikatif, dan suasana kelas, bagaimana pun formal serta jauh dari realitas interaksi sehari-hari yang terjadi di luar kelas, yang pada dasarnya adalah lingkungan interaktif. 5. Situasi Pengajaran BahasaApa pun teori mengenai bagaimana seseorang memperoleh B-2, buku-buku metodologi pengajaran bahasa (yang dapat diasumsikan sebagai pengajaran bahasa sebagai B2, pada dasarnya tetap memperhatikan bentuk, kemudian baru fungsi. Ini jelas terlihat pada buku panduan mengajar bahasa yang berjudul A Practical Handbook of Language Teaching (David Cross, 1991) yang dapat dianggap sebagai aplikasi dari teori-teori tentang pemerolehan bahasa. Dari realitas yang dapat diambil dari salah satu contoh buku ajar berjudul Making Waves (Loader, dan Wilkinson, 1991) yang masing-masing jilid terdiri dari 30 unit, pada tiap unitnya disampaikan masalah dan lingkup yang dibahas, yakni : struktur, topik, fungsi, ucapan, mendengarkan, membaca, menulis, berbicara, serta menolong diri sendiri (self-help). Dari contoh tersebut nampak, walaupun buku tersebut memuat materi yang yung berupa fungsi. Nampaknya latihan-latihan yang dulunya dianggap terlalu mekanistis, penggunaan lab bahasa yang merupakan produk aural-oral approach, tetap dijalankan, dengan langkah perkembangan selanjutnya menuju komunikasi yang nyata di dalam konteks. Namun, karena konteksnya adalah tetap konteks ruang kelas, dan konteks kehidupan sehari-hari hanya ditampilkan di dalam rekaman (kemudian juga di dalam rekaman video), maka tetap diharapkan Si-Belajar kelak dapat terjun ke dalam konteks kehidupan sehari-hari yang sesungguhnya. 6. Pengajaran Bahasa Indonesia untuk Orang AsingTeori yang sudah dikemukakan di atas tentunya dapat diterapkan dalam pengajaran bahasa Indonesia untuk orang asing. Teori-teori tersebut harus dipilah-pilah agar dapat digunakan untuk pelajaran tertentu. Di masa lalu kita mengenal istilah Eclectic Method, yang sering dengan gampang diterjemahkan dengan Metode Campuran. Kita tahu bahwa Translation Method, misalnya, dianggap tidak baik untuk mengajarkan B2, namun untuk materi pelajaran tertentu, metode itu dianggap lebih efektif. Tentu saja pengajaran bahasa Indonesia untuk orang asing juga menghadapi sejumlah masalah, seperti masalah perbedaan struktur bahasa dan masalah budaya. Sebagai contoh, pertanyaan: "Apa kabar? Anak-anak sehat semua?" tidak mengharapkan jawaban seperti, "Oh, anak saya suka menangis dan masih ngompol. Sekarang dia sedang sakit." Kelebihan pengajaran bahasa Indonesia untuk orang asing dengan setting belajar di Indonesia cukup banyak, terutama penyediaan konteks komunikasi sehari-hari. Konteks ruang kelas, atau ruang kursus, dengan segera dapat dihubungkan dengan konteks sosial. Jika pengajaran tersebut berlangsung di Bali, maka guru harus memikirkan untuk memperkenalkan bahasa Indonesia variasi Bali, dan bukan sekedar bahasa Indonesia formal. Kalau tidak, Si-Belajar ketika berada di dalam masyarakat, selain akan menghadapi kesulitan seperti yang dicontohkan di atas, juga akan bingung dengan ungkapan khas bahasa Indonesia variasi Bali, seperti: . lagi dua hari. , 'kemarin lusa', 'dia dapat pulang', 'ini dapat minta' dan sebagainya. Namun karena Si-Belajar dapat segera terjun ke dalam konteks sosial komunikasi di dalam bahasa Indonesia variasi Bali, maka diharapkan dia dapat segera menyesuaikan diri dan mungkin dikoreksi oleh para penutur bahasa ini ketika mereka melakukan komunikasi. Teori apa pun yang dipakai, harus diingat bahwa untuk mencapai pemerolehan bahasa tetap diperlukan berbagai latihan yang mungkin agak berbau mekanistis, juga mempelajari tatabahasa bahasa Indonesia. Bacaan pilihan:Cross, David. 1991. Practical Handbook of Language Teaching. London: Villiers House. Ellis, Rod, ed. 1987. Second Language Acquisition in Context. London: Prentice Hall International Ltd (UK). Huxley, Julie, et al. 1991. Making Waves. London: Penguin Group. Soenardji, Dr. 1989. Sendi-sendi Linguistika Bagi Kepentingan Pengajaran Bahasa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Pengem-bangan LPTK. |
Bahasa di kalangan umat manusia
semua manusia termasuk mereka yang hidup di dalam hutan rimba dan pulau-pulau terpencil menggunakan bahasa untuk saling berkomunikasi. Apapun yang dilakukan oleh ma-nusia ketika berinteraksi dengan sesamanya, en-tah itu ketika bermain, berkelahi, bercinta atau me-lakukan transaksi jual beli, mereka berbicara. Kita berbicara dengan teman, guru, istri, suami, anak-anak, mertua, supir bus, tukang becak dan orang-orang lain di sekitar kita. Terkadang kita berbicara dengan bertatap muka, terkadang juga kita ber-bicara melalui telepon. Terkadang kita berbicara dengan menggunakan kata-kata lisan, terkadang cukup dengan menggunakan fasilitas sms di handphone kita. Singkat kata, dalam kehidupan kita hampir tidak ada waktu berlalu tanpa kita berbicara, bahkan dalam tidur pun terkadang kita masih berbicara. Sebagian dari kita malah berbi-cara kepada hewan peliharaan kita, sebagian lagi malah senang berbicara sendiri.Penggunaan bahasa di kalangan umat ma-nusia merupakan suatu fenomena yang bersifat universal dan jumlah bahasa yang digunakan sangat banyak, yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Perbedaan diantara bahasa-bahasa yang digunakan ini dikarenakan beberapa faktor, diantaranya karena bahasa itu merupakan suatu convention (kesepakatan umum) yang ber-sifat arbitrary (suka-suka).
Dahulu para siswa belajar di sekolah hanya dengan beralaskan tikar di alas lantai. Namun kemudian bangsa Inggris datang dan memper-kenalkan kepada kita beberapa hasil dan kebu-dayaan mereka, antara lain meja dan kursi. Mere-ka (seluruh orang Inggris) sepakat untuk menye-but hasil kebudayaan mereka itu dengan nama table dan chair yang menurut kesepakatan orang Indonesia benda-benda tersebut dinamakan meja dan kursi.
Dalam hal ini, baik orang Inggris maupun orang Indonesia telah bertindak secara arbitrary (suka-suka) di dalam membuat convention (kese-pakatan umum) mengenai kata-kata penyebutan benda-benda hasil kebudayaan yaitu table (meja) dan chair (kursi) di dalam bahasanya masing-masing.
Faktor lain yang menyebabkan perbedaan di-antara bahasa-bahasa yang digunakan oleh ma-nusia adalah faktor cuaca dan budaya. Orang Indonesia yang mengenal budaya menanam padi di sawah telah membuat suatu convention (kese-pakatan umum) mengenai apa yang dimaksud dengan gabah, padi dan beras, untuk menggam-barkan budaya menanam padi tersebut. Semen-tara itu, Perancis yang tidak mengenal budaya menanam padi di sawah hanya mengenal satu kata yaitu le riz untuk menerjemahkan ketiga kata dalam bahasa Indonesia tersebut di atas. Demi-kian pula sebaliknya, di dalam bahasa Perancis dikenal kata-kata pinard, vin dan eau de vie untuk menggambarkan budaya menanam anggur di negara tersebut, yang di dalam bahasa kita hanya dikenal satu padanan katanya saja yaitu anggur.
Bahasa Pertama dan Kedua
Setiap orang biasanya hanya mampu berbi-cara dengan menggunakan satu bahasa saja, ya-itu bahasa yang ia peroleh secara otomatis dan wajar karena biasa digunakan untuk berkomu-nikasi sehari-hari oleh orang-orang yang berada di lingkungan kelompok masyarakatnya. la tidak memahami bahasa-bahasa yang digunakan un-tuk berkomunikasi oleh orang-orang yang berada di luar lingkungan kelompok masyarakatnya. Bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi se-hari-hari oleh seseorang di dalam lingkungan ke-lompok masyarakatnya, yang ia peroleh secara alamiah dan wajar sejak lahir disebut bahasa ibu atau bahasa pertama orang tersebut, sedangkan bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi oleh orang-orang di luar lingkungan kelompok masya-rakatnya dinamakan bahasa asing yang apabila dipelajari oleh orang tersebut akan menjadi ba-hasa keduanya.
Istilah bahasa kedua atau second language di-gunakan untuk menggambarkan bahasa-babasa apa saja yang pemerolehannya/penguasaannya dimulai setelah masa anak-anak awal (early childhood), termasuk bahasa ketiga atau bahasa-ba-hasa lain yang dipelajari kemudian. Bahasa-ba-hasa yang dipelajari ini disebut juga dengan ba-hasa target (target language).
Pemerolehan Bahasa Kedua
Kondisi saling ketergantungan antara satu ne-gara dengan negara lainnya menjadikan pengua-saan bahasa kedua menjadi sesuatu yang sangat penting dewasa ini.
Kita perlu mempelajari bahasa kedua untuk ke-pentingan sektor pendidikan, pariwisata, politik dan ekonomi.
Pemerolehan bahasa kedua tidak sama de-ngan pemerolehan bahasa pertama. Pada pe-merolehan bahasa pertama siswa "berangkat dari nol" (dia belum menguasai bahasa apa pun) dan perkembangan pemerolehan bahasa ini seiring dengan perkembangan fisik dan psikhisnya. Pada pemerolehan bahasa kedua, siswa sudah me-nguasai bahasa pertama dengan baik dan per-kembangan pemerolehan bahasa kedua tidak se-iring dengan perkembangan fisik dan psikhisnya. Selain itu pemerolehan bahasa pertama dilaku-kan secara informal dengan motivasi yang sangat tinggi (siswa memerlukan bahasa pertama ini untuk dapat berkomunikasi dengan orang-orang yang ada di sekelilingnya), sedangkan pemeroleh-an bahasa kedua dilakukan secara formal dan motivasi siswa pada umumnya tidak terlalu tinggi karena bahasa kedua tersebut tidak dipakai untuk berkomunikasi sehari-hari di lingkungan ma-syarakat siswa tersebut.
Aspek-aspek Pembelajaran Bahasa Kedua.
Ada beberapa aspek yang harus diperhatikan ketika memutuskan untuk mempelajari bahasa kedua:
1. Kemampuan bahasa.
Biasanya apabila seseorang memutuskan un-tuk mempelajari bahasa kedua secara formal, ia akan melalui tes kemampuan bahasa atau language aptitude test yang dilakukan oleh lembaga kursus bahasa untuk menilai kecakapan/bakat bahasa yang dimiliki oleh orang tersebut. Tes ini terbukti cukup efektif untuk memprediksi siswa-siswa mana yang akan sukses di dalam pembe-lajaran bahasa kedua. Meskipun demikian masih terdapat perbedaan pendapat mengenai kemam-puan bahasa atau language aptitude itu sendiri. Apakah kemampuan bahasa itu merupakan suatu kesatuan konsep, suatu properti organik di dalam otak manusia atau suatu komplek faktor termasuk di dalamnya motivasi dan lingkungan. Penelitian mengenai kemampuan bahasa atau language aptitude sering dikritik karena tidak relevan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh para siswa di sekolah-sekolah bahasa yang harus berusaha sekuat tenaga untuk menguasai bahasa kedua terlepas dari apakah mereka memiliki bakat atau tidak untuk hal tersebut. Apalagi penelitian mene-mukan bahwa kemampuan bahasa atau language aptitude itu tidak dapat diubah.
2. Usia.
Sebagian besar masyarakat umum masih me-yakini bahwa untuk belajar bahasa kedua akan lebih baik dilakukan ketika masih anak-anak. Bela-jar bahasa kedua ketika telah dewasa akan terasa lebih sulit. Tetapi penelitian-penelitian yang telah dilakukan mengenai hal ini gagal untuk membuk-tikan kebenaran keyakinan masyarakat umum tersebut.
Mereka yang mulai belajar bahasa kedua ketika telah dewasa tetap dapat mencapai tingkat ke-berhasilan yang cukup tinggi. Penelitian-penelitian yang dilakukan mengenai hal ini hanya mampu menunjukkan bahwa sebagian besar orang yang belajar bahasa kedua ketika telah dewasa tidak mampu merubah aksen mereka seperti aksennya penutur asli, aksen orang dewasa adalah aksen bahasa pertama yang sulit untuk dirubah.
Hal menarik yang dapat diambil dan penelitian-penelitian tersebut adalah jika program pembe-lajaran bahasa kedua yang diberikan berupa immersion/pembelajaran bahasa kedua dengan ter-jun langsung di lingkungan penutur asli, orang de-wasa cenderung lebih cepat memperoleh bahasa kedua dibandingkan dengan anak-anak, hal ini di-karenakan otak orang dewasa berfungsi lebih sempuma dibandingkan dengan otak anak-anak dan orang dewasa memiliki lebih banyak pe-ngalaman berbahasa dibandingkan dengan anak-anak.
3. Strategi yang digunakan.
Penggunaan strategi yang efektif sangat pen-ting agar pembelajaran bahasa kedua dapat ber-hasil. Secara umum strategi pemerolehan bahasa kedua dibagi menjadi dua, yaitu strategi belajar dan strategi berkomunikasi.
Strategi belajar adalah strategi yang digunakan untuk meningkatkan hasil belajar bahasa kedua, seperti penggunaan kamus atau penggunaan TV kabel untuk menangkap siaran-siaran TV yang menggunakan bahasa kedua. Sedangkan strategi berkomunikasi adalah strategi yang digunakan oleh siswa kelas bahasa kedua dan penutur asli untuk dapat saling memahami ketika terjadi ke-buntuan di dalam berkomunikasi di antara mereka karena kurangnya akses terhadap bahasa yang benar, misalnya dengan menggunakan mimik dan gerakan tangan.
4. Motivasi.
Secara sederhana motivasi dapat diartikan sebagai mengapa seseorang memutuskan untuk melakukan sesuatu, berapa lama ia rela mela-kukan aktivitas tersebut dan sejauh mana usaha yang dilakukannya. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan mengenai motivasi menunjukkan bahwa motivasi terkait erat dengan tingkat keber-hasilan seseorang di dalam pembelajaran bahasa kedua. Pelajar yang memiliki motivasi yang kuat akan sukses dan kesuksesan yang diperolehnya itu akan semakin meningkatkan motivasinya. Moti-vasi bukanlah sesuatu yang bersifat tetap, tetapi sangat dipengaruhi oleh umpan balik dan ling-kungan. Salah satu faktor yang mempengaruhi motivasi adalah tehnik instruksi yang digunakan oleh guru.
Metode Pembelajaran Bahasa Kedua.
Ada banyak metode atau cara yang dapat digunakan untuk mempelajari bahasa kedua. Metode atau cara yang dipilih akan tergantung pada seberapa cepat dalam menguasai bahasa kedua itu, dimana kita tinggal dan berapa banyak dana yang dapat kita alokasikan untuk mencapai tujuan kita tersebut. Gabungan dari beberapa me-tode atau cara di bawah ini tentunya akan membe-rikan hasil belajar yang lebih optimal dibandingkan dengan hanya menggunakan salah satu metode saja.
1. Pembelajaran di dalam kelas.
Ketika kita melaksanakan pembelajaran ba-hasa kedua di dalam kelas, kita dibantu oleh guru yang senantiasa dapat memberikan materi, do-rongan dan umpan balik serta dapat menjadi la-wan untuk mempraktekkan kemampuan bahasa kedua kita. Agar dapat menyelenggarakan pem-belajaran bahasa kedua yang baik di dalam kelas, guru membutuhkan sumber-sumber pembela-jaran bahasa yang otentik. Ini terutama dibutuh-kan ketika kita mempelajari bahasa kedua di negara kita sendiri. Sumber-sumber pembela-jaran bahasa yang digunakan harus otentik dalam hal lafal, intonasi, aksen dan idiom. Tanpa adanya sumber-sumber pembelajaran bahasa seperti itu, akan sangat sulit bagi seorang guru bahasa ke-dua untuk dapat menyampaikan perasaan dan fikiran orang-orang yang menggunakan bahasa tersebut sebagai bahasa pertamanya. Untuk itu ketika mengajar, para guru bahasa kedua sebaik-nya hanya menggunakan rekaman suara yang di-tuturkan oleh penutur asli. Bahan-bahan penga-jaran visual seperti video atau film juga harus me-nampilkan kebudayaan orang kedua yang otentik. Jangan menggunakan video atau film yang hanya menampilkan keindahan negara penutur bahasa kedua, tetapi tidak ada kaitannya dengan masalah kebudayaan orang penutur bahasa kedua. Video atau film seperti itu biasanya ditujukan hanya kepada para turis saja.
Selain itu guru/pihak sekolah dituntut untuk mampu menyediakan koran dan majalah dalam bahasa kedua karena merupakan dua sumber ba-caan yang valid dan selalu memberikan informasi terkini mengenai kebudayaan orang kedua.
2. Pembelajaran otodidak.
Metode ini dapat dilakukan dengan cara mem-beli CD atau DVD pembelajaran bahasa kedua yang banyak di jual di toko-toko buku/kaset atau dapat dipesan on-line melalui Internet. Kelemahan mendasar dari metode belajar ini adalah tidak ada-nya guru yang mendampingi, sehingga ketika sis-wa perlu bertanya, tak ada seorang pun yang da-pat menjawab. Namun demikian CD atau DVD pembelajaran bahasa kedua sekarang ini telah dikembangkan sedemikian rupa sehingga siswa dapat belajar sendiri. Keberhasilan siswa di dalam pembelajaran bahasa kedua dengan mengguna-kan metode ini akan sangat tergantung pada ting-kat keseriusan siswa di dalam belajar dan kualitas CD atau DVD pembelajaran bahasa kedua yang siswa beli.
3. Pertukaran bahasa.
Belajar bahasa kedua dengan menggunakan metode ini menuntut siswa untuk mencari penutur asli bahasa kedua yang sedang dipelajarinya dan yang ingin mempelajari bahasa ibu atau bahasa pertama siswa tersebut, sehingga keduanya da-pat saling mengajari bahasanya masing-masing. Hal ini dapat dilakukan dengan mengakses bebe-rapa situs di Internet yang menyediakan jasa ter-sebut. Altematif lain dari metode ini adalah dengan mencari penutur asli sebagai teman berkorespon-densi. Seorang guru bahasa kedua harus mendo-rong siswanya untuk berkorespondensi dengan orang penutur bahasa kedua.
Dengan berkorespondensi siswa dapat banyak berlatih bagaimana menulis dengan konteks situasi-situasi keseharian. Selain itu siswa akan dapat bertukar fikiran dengan penutur asli bahasa kedua, memahami sikap dan perilakunya yang merupakan gambaran dan budayanya. Korespon-densi juga dapat memberikan motivasi kepada pelajar untuk melakukan perjalanan ke luar negeri yang merupakan metode belajar yang terakhir.
4. Melakukan perjalanan dan tinggal selama beberapa waktu di luar negeri.
Dengan melakukan perjalanan ke luar negeri atau bahkan berkesempatan untuk tinggal selama beberapa waktu di luar negeri, siswa akan dapat memahami budaya orang-orang setempat. la dapat melihat dan menyadari persamaan mau-pun perbedaan antara kebudayaan bangsanya dan kebudayaan bangsa yang bahasanya sedang ia pelajari. Selain itu perjalanan ke luar negeri juga akan membuat siswa mampu berkomunikasi menggunakan bahasa kedua dengan lebih baik dibandingkan dengan hanya mengandalkan pembelajaran bahasa kedua di dalam negeri saja, karena di lingkungan barunya ini siswa mene-mukan tak seorang pun mampu menggunakan bahasa pertamanya, sehingga ia "terpaksa" harus senantiasa menggunakan bahasa kedua untuk dapat berkomunikasi dengan orang-orang di sekelilingnya agar dapat bertahan hidup.
Terampil dalam empat ketrampilan bahasa yang berbeda yaitu berbicara dan menulis (kete-rampilan aktif) serta mendengar dan membaca (keterampilan pasif) merupakan tujuan akhir dari setiap pembelajaran bahasa kedua. Penulis ber-harap apa yang telah penulis paparkan di atas dapat membantu anda di dalam proses pembe-lajaran bahasa kedua yang sedang anda jalani.©
Daftar Pustaka.
PEMEROLEHAN BAHASA KANAK-KANAK
Posted July 20th, 2008 by dodit_44
Pemerolehan bahasa atau language acquisiotion adalah suatu proses yang dipergunakan oleh kanak-kanak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis yang makin bertambah rumit, ataupun teori-teori yang masih terpendam atau tersembunyi yang mungkin sekali terjadi, dengan ucapan-ucapan orang tuanya sampai dia memilih, berdasarkan suatu ukuran atau takaran penilaian , tata bahasa yang paling baik serta yang paling sederhana dari bahasa tersebut. Kanak-kanak melihat dengan pandangan yang cerah akan kenyataan-kenyataan bahasa yang dipelajarinya dengan melihat tata bahasa asli orang tuanya, serta pembaharuan-pembaharuan yang telah mereka perbuat, sebagai tata bahasa tunggal. Kemudian dia menyusun atau membangun suatu tata bahasa yang baru serta disederhanakan dengan pembaharuan-pembaharuan yang dibuatnya sendiri. Pemerolehan bahasa sekaligus merupakan jenis yang seragam, dalam arti bahwa semua manusia mempelajari satu dan merupakan jenis yang khusus, dalam arti bahwa hanya manusialah yang mempelajari satu.Peralatan pemerolehan bahasa merupakan perlengkapan hipotesis yang berdasarkan suatu input data linguistik primer dari suatu bahasa, menghasilkan suatu output yang terdiri atas suatu tata bahasa adekuat secara deskriptif buat bahasa tersebut. Peralatan atau perlengkapan pemerolehan bahasa haruslah merupakan keberdikarian bahasa, yaitu mampu mempelajari setiap bahasa manusiayang mana sajapun, dan harus menyediakan serta menetapkan suatu batasan pengertian atau gagasan ‘bahasa manusia’. Yang dimaksud model pemerolehan bahasa adalah suatu teori siasat yang dipergunakan oleh kanak-kanak untuk menyusun suatu tata bahasa yang tepat bagi bahasanya berdasarkan suatu sampel data linguistik uatama yang terbatas.
TAHAP PEMEROLEHAN BAHASA
1. Kurang dari 1 tahun
- Belum dapat mengucapkan kata-kata,
- Belum menggunakan bahasa dalam arti yang sebenarnya,
- Dapat membedakan beberapa ucapan orang dewasa.
(Eimas, lewat Gleason, 1985: 2, dalam Zuchdi, 1996: 4)
2. 1 tahun
- Mulai mengoceh,
- Bermain dengan bunyi (bermain dengan jari-jari tangan dan kakinya)
- Perkembangan pada tahap ini disebut pralinguistik.
(Gleason, 1985: 2)
- Ketika bayi dapat mengucapkan beberapa kata, mereka memiliki ciri-ciri perkembangan yang universal.
- Bentuk ucapan hanya satu kata, sederhana, mudah diucapkan dan memiliki arti konkrit (nama benda, kejadian atau orang-orang di sekitar anak).
- Mulai pengenalan semantik (pengenalan makna).
3. 2 tahun
- Mengetahui kurang lebih memiliki 50 kata.
- Kebanyakan mulai mencapai kombinasi dua kata yang dikombinasikan dalam ucapan-ucapan pendek tanpa kata penunjuk, kata depan atau bentuk lain yang seharusnya digunakan.
- Mulai mengenal berbagai makna kata tetapi tidak dapat menggunakan bentuk bahasa yang menunjukkan jumlah, jenis kelamin, dan waktu terjadinya peristiwa.
- Mulai dapat membuat kalimat-kalimat pendek.
4. Taman Kanak-kanak
- Memiliki dan memahami sejumlah besar kosa kata,
- Mampu membuat pertanyaan-pertanyaan, kalimat majemuk dan berbagai bentuk kalimat,
- Dapat berbicara dengan sopan dengan orang tua dan guru.
5. Sekolah Dasar
- Peningkatan perkembangan bahasa, dari bahasa lisan ke bahasa tulis,
- Peningkatan perkembangan penggunaan bahasa.
6. Remaja
- Penggunaan bahasa yang khas sebagai bagian dari terbentuknya identitas diri (merupakan usia yang sensitif untuk belajar berbahasa)(Gleason, 1985: 6)
7. Dewasa
- Terdapat perbedaan-perbedaan yang besar antara individu yang satu dengan yang lainnya dalam perkembangan bahasa (sesuai dengan tingkat pendidikan, peranan dalam masyarakat, dan jenis pekerjaan
PRAKIRAAN UMUR FASE-FASE PERKEMBANGAN KOGNITIF MENURUT PIAGET FASE-FASE PERKEMBANGAN KEBAHASAAN
Lahir s/d 2 tahun
Periode sensorimotor. Anak memanipulasi objek di lingkungannya dan mulai membentuk konsep Fase fonologis. Anak bermain dengan bunyi-bunyi bahasa mulai mengoceh sampai menyebutkan kata-kata sederhana
2 s/d 7 tahun
Periode Praoperasional.
Anak memahami pikiran simbolik, tetapi belum dapat berpikir logis
Fase Sintaktik.
Anak menunjukkan kesadaran gramatis, berbicara menggunakan kalimat
7 s/d 11 tahun
Periode Operasional.
Anak dapat berpikir logis mengenai benda-benda konkrit
Fase Semantik.
Anak dapat membedakan kata sebagai simbol dan konsep dalam kata
PADA AWAL USIA SEKOLAH MERUPAKAN PERIODE BERKEMBANGNYA KREATIFITAS KEBAHASAAN YANG DIISI DENGAN SAJAK, NYANYIAN, DAN PERMAINAN KATA.
SETIAP ANAK MENCOBA MENGEMBANGKAN PENGGUNAAN BAHASA YANG BERSIFAT KHAS.
ANAK-ANAK BELAJAR MENEMUKAN HUMOR DALAM PERMAINAN KATA(Owen, 1992: 354)
pada periode usia sekolah perkembangan bahasa yang paling jelas tampak adalah perkembangan semantik dan pragmatik, di samping mempelajari bentuk-bentuk baru, anak belajar menggunakannya untuk berkomunikasi dengan lebih efektif.(Obler, 1985, dalam Owen, 1992: 355)
KEMAMPUAN META LINGUISTIK , YAITU KESADARAN YANG MEMUNGKINKAN PENGGUNA BAHASA BERPIKIR TENTANG BAHASA DAN MELAKUKAN REFLEKSI, JUGA MAKIN BERKEMBANG PADA USIA SEKOLAH. HAL INI TERCERMIN DALAM PERKEMBANGAN KETERAMPILAN MEMBACA DAN MENULIS.(Owen, 1992: 335)
Pada usia prasekolah anak belum memiliki keterampilan bercerita secara sistematis. Baru setelah periode usia sekolah proses kognitif meningkat sehingga memungkinkan anak menjadi komunikator yang lebih efektif.
Anak mulai mengenal adanya berbagai pandangan mengenai suatu topik. Mereka dapat mendeskripsikan sesuatu, tetapi masih bersifat personal dan tidak mempertimbangkan makna informasi yang disampaikan bagi pendengar. Informasi tersebut biasanya tidak selalu benar karena bercampur dengan khayalan
Anak berumur lima dan enam tahun menghasilkan berbagai macam cerita. umumnya berisi tentang hal-hal yang terjadi di dunia sekitarnya. Cerita-cerita tersebut mencerminkan budaya dan suasana dan pengembangan yang berbeda-beda. Cerita-cerita tersebut misalnya penjelasan tentang kejadian. Cerita pengalaman sendiri, dan cerita fiksi (owens, 1992: 359)
Kemampuan membuat cerita tersebut hendaknya sudah diperkenalkan kepada anak didik pada usia prasekolah, meskipun dengan penyederhanaan. Lebih dari itu mereka hendaknya dilatih mengekspresikan pikiran dan perasaan secara sistematis dan santun.
Pada kelas dua sekolah dasar anak mulai dilatih menggunakan kalimat yang agak panjang dengan konjungsi: dan, lalu, dan kata depan: di, ke, dari. Anak sudah dapat dilatih bercerita kejadian secara kronologis.
PERKEMBANGAN KEMAMPUAN MEMBUAT CERITA
ANAK BERUMUR ENAM TAHUNSUDAH DAPAT BERCERITA SEDERHANA TENTANG SESUATU YANG MEREKA LIHAT. KEMAMPUAN INI SELANJUTNYA BERKEMBANG SECARA TERATUR SEDIKIT DEMI SEDIKIT .
PADA USIA TUJUH TAHUN ANAK MULAI DAPAT MEMBUAT CERITA YANG AGAK PADU. MEREKA MULAI DENGAN MENGEMUKAKAN MASALAH, RENCANA MENGATASI MASALAH, DAN PENYELESAIAN, MESKIPUN BELUM JELAS SIAPA YANG MELAKUKANNYA.
PADA UMUR DELAPAN TAHUN ANAK-ANAK MENGGUNAKAN PENANDA AWAL DAN AKHIR DARI SEBUAH CERITA. KEMAMPUAN MEMBUAT ALUR CERITA YANG AGAK JELAS BARU MULAI DIPEROLEH ANAK-ANAK PADA USIA LEBIH DARI DELAPAN TAHUN. STRUKTUR CERITA YANG DIBUATNYA MENJADI SEMAKIN JELAS.
PERBEDAAN BAHASA ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
Anak perempuan
1. Menghindari bahasa yang berisi umpatan dalam percakapan dan cenderung menggunakan kata-kata yang lebih sopan: silakan, terima kasih, selamat jalan, dsb.
2. Ekspresi emosional yang digunakan lebih halus, misalnya: Oh sayangku, Ya Allah, dsb.
3. Cenderung menggunakan bahasa tidak langsung dalam meminta persetujuan dan lebih banyak mendengarkan. Perannya dalam percakapan adalah sebagai fasilitator.
4. Lebih banyak berbicara secara berpasangan dengan teman akrabnya dan saling menceritakan rahasianya
Anak Laki-laki
1. Ekspresi emosional cenderung menggunakan kata-kata kasar misalnya umpatan: sialan, bedebah, dsb.
2. Cenderung menggunakan bahasa secara langsung dan bersifat memberitahu, karena laki-laki menganggap perannya dalam percakapan adalah pemberi informasi.
3. Kurang banyak berbicara, tetapi lebih banyak berbuat. Pada perkembangan ke tingkat dewasa seorang ayah lebih banyak menggunakan perintah ketika berbicara dengan anak laki-laki, dan lebih banyak menginterupsi pembicaraan anak perempuannya.
Selama periode sekolah sampai dewasa, setiap individu meningkatkan jumlah kosa kata dan makna khas istilah secara teratur melalui konteks tertentu. Dalam proses tersebut seseorang menyusun kembali aspek-aspek kebahasaan yang telah dikuasainya. Hasil dari proses tersebut tercermin dari kata-kata yang digunakannya, misalnya dengan penggunaan bahasa figuratif, atau kreativitas berbahasa yang begitu pesat.
Keseluruhan proses perkembangan semantik dari awal sekolah dasar ini dapat dihubungkan dengan keseluruhan proses kognitif (owen, 1992: 374).
Ada dua jenis penambahan makna kata secara horisontal. Anak semakin mampu memahami dan dapat menggunakan suatu kata dengan makna yang tepat. Adapun penambahan vertikal berupa peningkatan jumlah kata yang dapat dipahami dan digunakan dengan tepat (Owens, 1992: 375)
Kemampuan anak di kelas-kelas rendah dalam mendefinisikan kata-kata meningkat dengan dua cara; Pertama secara konseptual dari definisi berdasar pengalaman individu ke makna yang lebih bersifat sosial atau makna yang dibentuk bersama. Kedua anak bergerak secara sintaksis dari definisi berupa kata-kata lepas ke kalimat-kalimat yang menyatakan hubungan yang kompleks (Owens, 1992: 376)
Bahasa Figuratif memungkinkan pengguna bahasa menggunakan bahasa secara kreatif, imajinatif, tidak secara literal, untuk menciptakan kesan emosional atau imajinatif. Termasuk jenis bahasa ini adalah ungkapan, metafora, kiasan, dan peribahasa.
Ungkapan, adalah pernyataan pendek yang telah digunakan bertahun-tahun dan tidak dapat dianalisis secara gramatikal. Contoh, rumah makan, kamar kecil, makan hati, kepala batu, ringan tangan, dsb.
Metafora dan kiasan adalah bentuk ucapan yang membandingkan benda yang sebenarnya dengan khayalan. Perbandingan dinyatakan secara implisit, misalnya, suaranya membelah bumi. Sedangkan kiasan sebaliknya, yaitu perbandingan dinyatakan secara eksplisit. Contoh, dua gadis itu seperti pinang dibelah dua.
Peribahasa adalah pernyataan pendek yang sudah dikenal yang berisi kebenaran yang terterima, pikiran berguna atau nasehat. Contoh, Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna. Menepuk air di dulang terpercik muka sendiri. dsb.
Bahasa figuratif lebih dapat dipahami dalam konteks daripada secara terpisah
Makna bahasa figuratif disimpulkan pada penggunaan berulang-ulang dalam konteks yang berbeda-beda.
Kejelasan metaforik, yakni hubungan makna literal dan figuratif akan memudahkan penafsiran. Contoh, tutup mulut akan lebih mudah dipahami dari pada makan hati, sedangkan anak berumur 7 – 9 tahun menafsiran peribahasa secara literal.
Perkembangan Morfologis dan Sintaksis
Perkembangan bahasa pada periode usia sekolah mencakup perkembangan secara serentak (simultan) bentuk-bentuk sintaktik yang telah ada dan perolehan bentuk-bentuk yang baru. Perluasan kalimat menggunakan frase verba dan nomina. Fungsi-fungsi kata gabung dan kata ganti juga diperluas, termasuk tambahan struktur bentuk pasif.
Prosesnya diawali dengan mempelajari bentuk-bentuk morfem yang semula bersifat hafalan, kemudian diikuti dengan membuat kesimpulan kasar tentang bentuk dan makna fonem, dan terakhir barulah membentuk kaidah. Proses ini rumit ini dimulai pada periode prasekolah dan berlangsung terus sampai pada masa adolesen
Bentuk Kalimat
1. Bentuk pasif dapat dibalik
2. Bentuk pasif tidak dapat dibalik yang pelakunya berupa instrumen
3. Bentuk pasif tidak dapat dibalik yang pelakunya manusia
Contoh:
1. “Ani dikejar Amir” dapat dibalik “Amir dikejar Ani”.
2. “Mangga dilempar dengan batu” tidak mungkin “Batu dilempar dengan mangga”
3. “Buku saya dipinjam oleh Jono” tidak mungkin dibalik “Jono dipinjam oleh buku saya”
TINGKATAN PENGGUNAAN
Anak-anak biasanya menggunakan bentuk pasif yang dapat dibalik dan yang tidak dapat dibalik dalam jumlah seimbang, namun sering mengalami kesulitan dalam membuat kalimat dan menafsirkan kalimat pasif yang dapat dibalik
Bentuk kalimat yang digunakan
Umur 8 tahun lebih banyak menggunakan bentuk pasif yang tidak dapat dibalik
Umur 11 – 13 tahun lebih banyak menggunakan bentuk pasif yang tidak dapat dibalik yang pelakunya manusia,
Penggunaan “dan” pada awal kalimat mulai jarang muncul,Ø
Pada umur 12 tahun mulai sering menggunakan kata penghubung yang menghubungkan klausa “karena”, “jika”, “supaya”.Ø
Catatan:
- Anak-anak sering mengalami kesulitan dan kebingungan dalam menggunakan “karena”, “dan”, “lalu”. Sebagai contoh, untuk mengatakan “Saya tidak masuk sekolah karena saya sakit” sering diucapkan “Saya sakit karena saya tidak masuk sekolah”
- Pemahaman secara konsisten baru terjadi pada kurang lebih umur 10 sampai 11 tahun.
- Penggunaan kalimat dengan kata sambung “karena” lebih mudah dipahami daripada “meskipun”. Contoh, “Saya memakai payung karena hujan” lebih mudah daripada “Saya memakai payung meskipun hujan”.
Umur/jenjang Perkembangan Membaca
Sebelum 6 tahun Fase pramembaca
Fase 1
6 tahun±
Mempelajari perbedaan huruf dan perbedaan angka yang satu dengan yang lainnya, sampai akhirnya mengenal huruf dan angka secara keseluruhan.
7 atau 8 tahun
Umumnya anak telah memperoleh pengetahuan tentang huruf, suku kata, dan kata yang diperlukan untuk membaca (pengetahuan ini umumnya diperoleh di sekolah).
Fase 2
Kelas 3 dan 4
Dapat menganalisis kata-kata yang tidak diketahuinya menggunakan pola tulisan dan kesimpulan yang didasarkan konteksnya.
Fase 3
Kelas 4 sampai Kelas 2 SLTP
Membaca tidak lagi hanya pengenalan tulisan tetapi pada pemahaman.
Fase 4
Akhir SLTP sampai dengan SLTA
Penggunaan keterampilan tingkat tinggi misalnya, inferensi(penyimpulan), dan pandangan penulis untuk meningkatkan pemahaman
Fase 5
Perguruan tinggi
Dapat mengintegrasikan hal-hal yang dibaca dengan pengetahuan yang dimilikinya, dan menanggapi secara kritis apa yang dibacanya (Owens, 1992: 400-401)
Ada kesejajaran antara perkembangan membaca dan menulis. Pada umumnya penulis yang baik adalah pembaca yang baik, demikian juga sebaliknya. Proses menulis dekat dengan menggambar dalam hal keduanya mewakili simbol tertentu. Namun, menulis berbeda dengan menggambar. Hal ini diketahui anak ketika berumur sekitar 3 tahun
(Owens, 1992: 403).
Umur/jenjang Kemampuan
6 tahun (kelas 1 dan 2)
- Kurang memperhatikan format, jarak tulis ejaan, dan tanda baca.
- Belum memperhatikan pembaca, dan masih bersifat egosentrik.
Kelas 3 dan 4
- Mulai memperhatikan pembaca,
- Mulai merevisi dan menyunting tulisannya
Pada periode usia sekolah terjadi perkembangan kemampuan menggunakan kalimat dengan lengkap baik secara lisan maupun secara tertulis. Terjadi pula peningkatan penggunaan klausa dan frase yang kompleks serta penggunaan kalimat yang bervariasi
PENDEKATAN PEMBELAJARAN BAHASA
Pendekatan
Seperangkat asumsi yang saling berkaitan, dan berhubungan dengan sifat bahasa, serta pengajaran bahasa. Pendekatan merupakan dasar teoritis untuk suatu metode.
Asumsi tentang bahasa bermacam-macam, antara lain asumsi yang menganggap bahwa bahasa sebagai suatu sistem komunikasi yang pada dasarnya dilisankan; dan adalagi yang menganggap bahwa bahasa adalah seperangkat kaidah.
Dari asumsi-asumsi tersebut menimbulkan adanya pendekatan-pendekatan yang berbeda, yakni:
1)Pendekatan yang mendasari pendapat bahwa belajar berbahasa berarti berusaha membiasakan diri menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Tekanannya pada pembiasaan.
2)Pendekatan yang mendasari pendapat bahwa belajar berbahasa berartiberusaha untuk memperoleh kemampuan berkomunikasi secara lisan. Tekanannya pada pemerolehan kemampuan berbicara.
3)Pendekatan yang mendasari pendapat bahwa belajar berbahasa yang harus diutamakan ialah pemahaman akan kaidah-kaidah yang mendasari ujaran. Tekanannya pada aspek kognitif bahasa, bukan pada kemampuan menggunakan bahasa.
METODE
Metode Pembelajaran bahasa adalah rencana pembelajaran bahasa, yang mencakup pemilihan, penentuan, dan penyusunan secara sistematis bahan yang akan diajarkan, serta kemungkinan diadakan remidi dan bagaimana pengembangannya.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa suatu metode ditentukan berdasarkan pendekatan yang dianut; dengan kata lain pendekatan merupakan dasar penentu metode yang digunakan.
Secara garis besar metode mencakup:
1. pemilihan dan penentuan bahan ajar
2. penyusunan serta kemungkinan pengadaan remidi dan pengembangan bahan ajar tersebut, dengan mempertimbangkan:
a. tingkat usia
b. tingkat kemampuan
c. kebutuhan
d. latar belakang lingkungan siswa
e. disusun berdasarkan tingkat kesukaran
Disamping itu guru juga harus merencanakan pula pengevaluasian, remidial, dan pengembangan bahan ajar.
Teknik
Teknik pembelajaran merupakan cara guru menyampaikan bahan ajar yang telah disusun (dalam metode), berdasarkan pendekatan yang dianut.
Teknik yang digunakan guru bergantung pada kemampuan masing-masing guru, karena teknik juga berkaitan dengan siasat atau mencari akal agar proses pembelajaran berjalan dengan lancar dan berhasil dengan baik.
Pertimbangan dalam menentukan teknik pembelajaran antara lain: situasi kelas, lingkungan, kondisi siswa, dsb.
PENDEKATAN-PENDEKATAN
Dalam
PEMBELAJARAN BAHASA
Pendekatan Tujuan
Pendekatan tujuan dilandasi oleh pemikiran bahwa dalam setiap kegiatan pembelajaran yang harus dipikirkan dan ditetapkan lebih dahulu ialah tujuan yang hendak dicapai. Jadi proses pembelajaran ditentukan oleh tujuan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan itu sendiri.
Dengan berdasarkan tujuan, maka yang terpenting ialah tercapainya tujuan, yakni siswa memiliki kemampuan tertentu sebagaimana tujuan yang telah ditetapkan.
Contoh:
Untuk pokok bahasan menulis, tujuan pembelajaran yang ditetapkan ialah “Siswa mampu membuat karangan/cerita berdasarkan pengalaman atau informasi dari bacaan”, maka yang penting adalah siswa memiliki kemampuan mengarang. Adapun bagaimana metode dan teknik pembelajarannya bukanlah masalah yang diutamakan.
Penerapan pendekatan tujuan sering dikaitkan dengan cara belajar tuntas yang berarti suatu kegiatan belajar mengajar dianggap berhasil apabila sedikitnya 85% dari jumlah siswa yang mengikuti pelajaran itu menguasai minimal 75% dari bahan ajar yang diberikan guru dengan melalui evaluasi.
PENDEKATAN STRUKTURAL
Pendekatan ini dilandasi oleh asumsi yang menganggap bahwa bahasa sebagai seperangkat kaidah. Atas dasar itu maka timbul pemikiran bahwa pembelajaran bahasa harus mengutamakan penguasaan kaidah-kaidah bahasa atau tata bahasa. Pembelajarannya pun harus menitikberatkan pada aspek-aspek fonologi, morfologi, dan sintaksis. Pengetahuan tentang pola-pola kalimat, pola kata, suku kata, menjadi sangat penting. Dengan kata lain pada pendekatan ini aspek kognitif bahasa diutamakan.
PENDEKATAN KOMUNIKATIF
Pendekatan komunikatif merupakan pendekatan yang dilandasi oleh pemikiran bahwa kemampuan menggunakan bahasa dalam komunikasi merupakan tujuan yang harus dicapai dalam pembelajaran bahasa.
Bahasa tidak hanya dipandang sebagai seperangkat kaidah tetapi lebih luas lagi, yakni sebagai sarana untuk berkomunikasi. Jadi di sini bahasa ditempatkan sebagaimana fungsinya yaitu fungsi komunikatif.
Menurut Littlewood (1981) pendekatan komunikatif didasari pemikiran:
1. Pendekatan komunikatif membuka pandangan yang lebih luas tentang bahasa, yang tidak terbatas pada tata bahasa dan kosakata saja, tetapi juga pada fungsi komunikatif bahasa.
2. Pendekatan komunikatif membuka diri bagi pandangan yang luas dalam pembelajaran bahasa.
Catatan:
Uraian-uraian di atas mungkin merupakan teori-teori yang sangat mendasar, oleh sebab itu agar dicapai pembelajaran berbahasa yang sesuai perlu mengacu pada model dan strategi terkini, yaitu pembelajaran inovatif.
- Belum dapat mengucapkan kata-kata,
- Belum menggunakan bahasa dalam arti yang sebenarnya,
- Dapat membedakan beberapa ucapan orang dewasa.
(Eimas, lewat Gleason, 1985: 2, dalam Zuchdi, 1996: 4)
2. 1 tahun
- Mulai mengoceh,
- Bermain dengan bunyi (bermain dengan jari-jari tangan dan kakinya)
- Perkembangan pada tahap ini disebut pralinguistik.
(Gleason, 1985: 2)
- Ketika bayi dapat mengucapkan beberapa kata, mereka memiliki ciri-ciri perkembangan yang universal.
- Bentuk ucapan hanya satu kata, sederhana, mudah diucapkan dan memiliki arti konkrit (nama benda, kejadian atau orang-orang di sekitar anak).
- Mulai pengenalan semantik (pengenalan makna).
3. 2 tahun
- Mengetahui kurang lebih memiliki 50 kata.
- Kebanyakan mulai mencapai kombinasi dua kata yang dikombinasikan dalam ucapan-ucapan pendek tanpa kata penunjuk, kata depan atau bentuk lain yang seharusnya digunakan.
- Mulai mengenal berbagai makna kata tetapi tidak dapat menggunakan bentuk bahasa yang menunjukkan jumlah, jenis kelamin, dan waktu terjadinya peristiwa.
- Mulai dapat membuat kalimat-kalimat pendek.
4. Taman Kanak-kanak
- Memiliki dan memahami sejumlah besar kosa kata,
- Mampu membuat pertanyaan-pertanyaan, kalimat majemuk dan berbagai bentuk kalimat,
- Dapat berbicara dengan sopan dengan orang tua dan guru.
5. Sekolah Dasar
- Peningkatan perkembangan bahasa, dari bahasa lisan ke bahasa tulis,
- Peningkatan perkembangan penggunaan bahasa.
6. Remaja
- Penggunaan bahasa yang khas sebagai bagian dari terbentuknya identitas diri (merupakan usia yang sensitif untuk belajar berbahasa)(Gleason, 1985: 6)
7. Dewasa
- Terdapat perbedaan-perbedaan yang besar antara individu yang satu dengan yang lainnya dalam perkembangan bahasa (sesuai dengan tingkat pendidikan, peranan dalam masyarakat, dan jenis pekerjaan
PRAKIRAAN UMUR FASE-FASE PERKEMBANGAN KOGNITIF MENURUT PIAGET FASE-FASE PERKEMBANGAN KEBAHASAAN
Lahir s/d 2 tahun
Periode sensorimotor. Anak memanipulasi objek di lingkungannya dan mulai membentuk konsep Fase fonologis. Anak bermain dengan bunyi-bunyi bahasa mulai mengoceh sampai menyebutkan kata-kata sederhana
2 s/d 7 tahun
Periode Praoperasional.
Anak memahami pikiran simbolik, tetapi belum dapat berpikir logis
Fase Sintaktik.
Anak menunjukkan kesadaran gramatis, berbicara menggunakan kalimat
7 s/d 11 tahun
Periode Operasional.
Anak dapat berpikir logis mengenai benda-benda konkrit
Fase Semantik.
Anak dapat membedakan kata sebagai simbol dan konsep dalam kata
PADA AWAL USIA SEKOLAH MERUPAKAN PERIODE BERKEMBANGNYA KREATIFITAS KEBAHASAAN YANG DIISI DENGAN SAJAK, NYANYIAN, DAN PERMAINAN KATA.
SETIAP ANAK MENCOBA MENGEMBANGKAN PENGGUNAAN BAHASA YANG BERSIFAT KHAS.
ANAK-ANAK BELAJAR MENEMUKAN HUMOR DALAM PERMAINAN KATA(Owen, 1992: 354)
pada periode usia sekolah perkembangan bahasa yang paling jelas tampak adalah perkembangan semantik dan pragmatik, di samping mempelajari bentuk-bentuk baru, anak belajar menggunakannya untuk berkomunikasi dengan lebih efektif.(Obler, 1985, dalam Owen, 1992: 355)
KEMAMPUAN META LINGUISTIK , YAITU KESADARAN YANG MEMUNGKINKAN PENGGUNA BAHASA BERPIKIR TENTANG BAHASA DAN MELAKUKAN REFLEKSI, JUGA MAKIN BERKEMBANG PADA USIA SEKOLAH. HAL INI TERCERMIN DALAM PERKEMBANGAN KETERAMPILAN MEMBACA DAN MENULIS.(Owen, 1992: 335)
Pada usia prasekolah anak belum memiliki keterampilan bercerita secara sistematis. Baru setelah periode usia sekolah proses kognitif meningkat sehingga memungkinkan anak menjadi komunikator yang lebih efektif.
Anak mulai mengenal adanya berbagai pandangan mengenai suatu topik. Mereka dapat mendeskripsikan sesuatu, tetapi masih bersifat personal dan tidak mempertimbangkan makna informasi yang disampaikan bagi pendengar. Informasi tersebut biasanya tidak selalu benar karena bercampur dengan khayalan
Anak berumur lima dan enam tahun menghasilkan berbagai macam cerita. umumnya berisi tentang hal-hal yang terjadi di dunia sekitarnya. Cerita-cerita tersebut mencerminkan budaya dan suasana dan pengembangan yang berbeda-beda. Cerita-cerita tersebut misalnya penjelasan tentang kejadian. Cerita pengalaman sendiri, dan cerita fiksi (owens, 1992: 359)
Kemampuan membuat cerita tersebut hendaknya sudah diperkenalkan kepada anak didik pada usia prasekolah, meskipun dengan penyederhanaan. Lebih dari itu mereka hendaknya dilatih mengekspresikan pikiran dan perasaan secara sistematis dan santun.
Pada kelas dua sekolah dasar anak mulai dilatih menggunakan kalimat yang agak panjang dengan konjungsi: dan, lalu, dan kata depan: di, ke, dari. Anak sudah dapat dilatih bercerita kejadian secara kronologis.
PERKEMBANGAN KEMAMPUAN MEMBUAT CERITA
ANAK BERUMUR ENAM TAHUNSUDAH DAPAT BERCERITA SEDERHANA TENTANG SESUATU YANG MEREKA LIHAT. KEMAMPUAN INI SELANJUTNYA BERKEMBANG SECARA TERATUR SEDIKIT DEMI SEDIKIT .
PADA USIA TUJUH TAHUN ANAK MULAI DAPAT MEMBUAT CERITA YANG AGAK PADU. MEREKA MULAI DENGAN MENGEMUKAKAN MASALAH, RENCANA MENGATASI MASALAH, DAN PENYELESAIAN, MESKIPUN BELUM JELAS SIAPA YANG MELAKUKANNYA.
PADA UMUR DELAPAN TAHUN ANAK-ANAK MENGGUNAKAN PENANDA AWAL DAN AKHIR DARI SEBUAH CERITA. KEMAMPUAN MEMBUAT ALUR CERITA YANG AGAK JELAS BARU MULAI DIPEROLEH ANAK-ANAK PADA USIA LEBIH DARI DELAPAN TAHUN. STRUKTUR CERITA YANG DIBUATNYA MENJADI SEMAKIN JELAS.
PERBEDAAN BAHASA ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
Anak perempuan
1. Menghindari bahasa yang berisi umpatan dalam percakapan dan cenderung menggunakan kata-kata yang lebih sopan: silakan, terima kasih, selamat jalan, dsb.
2. Ekspresi emosional yang digunakan lebih halus, misalnya: Oh sayangku, Ya Allah, dsb.
3. Cenderung menggunakan bahasa tidak langsung dalam meminta persetujuan dan lebih banyak mendengarkan. Perannya dalam percakapan adalah sebagai fasilitator.
4. Lebih banyak berbicara secara berpasangan dengan teman akrabnya dan saling menceritakan rahasianya
Anak Laki-laki
1. Ekspresi emosional cenderung menggunakan kata-kata kasar misalnya umpatan: sialan, bedebah, dsb.
2. Cenderung menggunakan bahasa secara langsung dan bersifat memberitahu, karena laki-laki menganggap perannya dalam percakapan adalah pemberi informasi.
3. Kurang banyak berbicara, tetapi lebih banyak berbuat. Pada perkembangan ke tingkat dewasa seorang ayah lebih banyak menggunakan perintah ketika berbicara dengan anak laki-laki, dan lebih banyak menginterupsi pembicaraan anak perempuannya.
Selama periode sekolah sampai dewasa, setiap individu meningkatkan jumlah kosa kata dan makna khas istilah secara teratur melalui konteks tertentu. Dalam proses tersebut seseorang menyusun kembali aspek-aspek kebahasaan yang telah dikuasainya. Hasil dari proses tersebut tercermin dari kata-kata yang digunakannya, misalnya dengan penggunaan bahasa figuratif, atau kreativitas berbahasa yang begitu pesat.
Keseluruhan proses perkembangan semantik dari awal sekolah dasar ini dapat dihubungkan dengan keseluruhan proses kognitif (owen, 1992: 374).
Ada dua jenis penambahan makna kata secara horisontal. Anak semakin mampu memahami dan dapat menggunakan suatu kata dengan makna yang tepat. Adapun penambahan vertikal berupa peningkatan jumlah kata yang dapat dipahami dan digunakan dengan tepat (Owens, 1992: 375)
Kemampuan anak di kelas-kelas rendah dalam mendefinisikan kata-kata meningkat dengan dua cara; Pertama secara konseptual dari definisi berdasar pengalaman individu ke makna yang lebih bersifat sosial atau makna yang dibentuk bersama. Kedua anak bergerak secara sintaksis dari definisi berupa kata-kata lepas ke kalimat-kalimat yang menyatakan hubungan yang kompleks (Owens, 1992: 376)
Bahasa Figuratif memungkinkan pengguna bahasa menggunakan bahasa secara kreatif, imajinatif, tidak secara literal, untuk menciptakan kesan emosional atau imajinatif. Termasuk jenis bahasa ini adalah ungkapan, metafora, kiasan, dan peribahasa.
Ungkapan, adalah pernyataan pendek yang telah digunakan bertahun-tahun dan tidak dapat dianalisis secara gramatikal. Contoh, rumah makan, kamar kecil, makan hati, kepala batu, ringan tangan, dsb.
Metafora dan kiasan adalah bentuk ucapan yang membandingkan benda yang sebenarnya dengan khayalan. Perbandingan dinyatakan secara implisit, misalnya, suaranya membelah bumi. Sedangkan kiasan sebaliknya, yaitu perbandingan dinyatakan secara eksplisit. Contoh, dua gadis itu seperti pinang dibelah dua.
Peribahasa adalah pernyataan pendek yang sudah dikenal yang berisi kebenaran yang terterima, pikiran berguna atau nasehat. Contoh, Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna. Menepuk air di dulang terpercik muka sendiri. dsb.
Bahasa figuratif lebih dapat dipahami dalam konteks daripada secara terpisah
Makna bahasa figuratif disimpulkan pada penggunaan berulang-ulang dalam konteks yang berbeda-beda.
Kejelasan metaforik, yakni hubungan makna literal dan figuratif akan memudahkan penafsiran. Contoh, tutup mulut akan lebih mudah dipahami dari pada makan hati, sedangkan anak berumur 7 – 9 tahun menafsiran peribahasa secara literal.
Perkembangan Morfologis dan Sintaksis
Perkembangan bahasa pada periode usia sekolah mencakup perkembangan secara serentak (simultan) bentuk-bentuk sintaktik yang telah ada dan perolehan bentuk-bentuk yang baru. Perluasan kalimat menggunakan frase verba dan nomina. Fungsi-fungsi kata gabung dan kata ganti juga diperluas, termasuk tambahan struktur bentuk pasif.
Prosesnya diawali dengan mempelajari bentuk-bentuk morfem yang semula bersifat hafalan, kemudian diikuti dengan membuat kesimpulan kasar tentang bentuk dan makna fonem, dan terakhir barulah membentuk kaidah. Proses ini rumit ini dimulai pada periode prasekolah dan berlangsung terus sampai pada masa adolesen
Bentuk Kalimat
1. Bentuk pasif dapat dibalik
2. Bentuk pasif tidak dapat dibalik yang pelakunya berupa instrumen
3. Bentuk pasif tidak dapat dibalik yang pelakunya manusia
Contoh:
1. “Ani dikejar Amir” dapat dibalik “Amir dikejar Ani”.
2. “Mangga dilempar dengan batu” tidak mungkin “Batu dilempar dengan mangga”
3. “Buku saya dipinjam oleh Jono” tidak mungkin dibalik “Jono dipinjam oleh buku saya”
TINGKATAN PENGGUNAAN
Anak-anak biasanya menggunakan bentuk pasif yang dapat dibalik dan yang tidak dapat dibalik dalam jumlah seimbang, namun sering mengalami kesulitan dalam membuat kalimat dan menafsirkan kalimat pasif yang dapat dibalik
Bentuk kalimat yang digunakan
Umur 8 tahun lebih banyak menggunakan bentuk pasif yang tidak dapat dibalik
Umur 11 – 13 tahun lebih banyak menggunakan bentuk pasif yang tidak dapat dibalik yang pelakunya manusia,
Penggunaan “dan” pada awal kalimat mulai jarang muncul,Ø
Pada umur 12 tahun mulai sering menggunakan kata penghubung yang menghubungkan klausa “karena”, “jika”, “supaya”.Ø
Catatan:
- Anak-anak sering mengalami kesulitan dan kebingungan dalam menggunakan “karena”, “dan”, “lalu”. Sebagai contoh, untuk mengatakan “Saya tidak masuk sekolah karena saya sakit” sering diucapkan “Saya sakit karena saya tidak masuk sekolah”
- Pemahaman secara konsisten baru terjadi pada kurang lebih umur 10 sampai 11 tahun.
- Penggunaan kalimat dengan kata sambung “karena” lebih mudah dipahami daripada “meskipun”. Contoh, “Saya memakai payung karena hujan” lebih mudah daripada “Saya memakai payung meskipun hujan”.
Umur/jenjang Perkembangan Membaca
Sebelum 6 tahun Fase pramembaca
Fase 1
6 tahun±
Mempelajari perbedaan huruf dan perbedaan angka yang satu dengan yang lainnya, sampai akhirnya mengenal huruf dan angka secara keseluruhan.
7 atau 8 tahun
Umumnya anak telah memperoleh pengetahuan tentang huruf, suku kata, dan kata yang diperlukan untuk membaca (pengetahuan ini umumnya diperoleh di sekolah).
Fase 2
Kelas 3 dan 4
Dapat menganalisis kata-kata yang tidak diketahuinya menggunakan pola tulisan dan kesimpulan yang didasarkan konteksnya.
Fase 3
Kelas 4 sampai Kelas 2 SLTP
Membaca tidak lagi hanya pengenalan tulisan tetapi pada pemahaman.
Fase 4
Akhir SLTP sampai dengan SLTA
Penggunaan keterampilan tingkat tinggi misalnya, inferensi(penyimpulan), dan pandangan penulis untuk meningkatkan pemahaman
Fase 5
Perguruan tinggi
Dapat mengintegrasikan hal-hal yang dibaca dengan pengetahuan yang dimilikinya, dan menanggapi secara kritis apa yang dibacanya (Owens, 1992: 400-401)
Ada kesejajaran antara perkembangan membaca dan menulis. Pada umumnya penulis yang baik adalah pembaca yang baik, demikian juga sebaliknya. Proses menulis dekat dengan menggambar dalam hal keduanya mewakili simbol tertentu. Namun, menulis berbeda dengan menggambar. Hal ini diketahui anak ketika berumur sekitar 3 tahun
(Owens, 1992: 403).
Umur/jenjang Kemampuan
6 tahun (kelas 1 dan 2)
- Kurang memperhatikan format, jarak tulis ejaan, dan tanda baca.
- Belum memperhatikan pembaca, dan masih bersifat egosentrik.
Kelas 3 dan 4
- Mulai memperhatikan pembaca,
- Mulai merevisi dan menyunting tulisannya
Pada periode usia sekolah terjadi perkembangan kemampuan menggunakan kalimat dengan lengkap baik secara lisan maupun secara tertulis. Terjadi pula peningkatan penggunaan klausa dan frase yang kompleks serta penggunaan kalimat yang bervariasi
PENDEKATAN PEMBELAJARAN BAHASA
Pendekatan
Seperangkat asumsi yang saling berkaitan, dan berhubungan dengan sifat bahasa, serta pengajaran bahasa. Pendekatan merupakan dasar teoritis untuk suatu metode.
Asumsi tentang bahasa bermacam-macam, antara lain asumsi yang menganggap bahwa bahasa sebagai suatu sistem komunikasi yang pada dasarnya dilisankan; dan adalagi yang menganggap bahwa bahasa adalah seperangkat kaidah.
Dari asumsi-asumsi tersebut menimbulkan adanya pendekatan-pendekatan yang berbeda, yakni:
1)Pendekatan yang mendasari pendapat bahwa belajar berbahasa berarti berusaha membiasakan diri menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Tekanannya pada pembiasaan.
2)Pendekatan yang mendasari pendapat bahwa belajar berbahasa berartiberusaha untuk memperoleh kemampuan berkomunikasi secara lisan. Tekanannya pada pemerolehan kemampuan berbicara.
3)Pendekatan yang mendasari pendapat bahwa belajar berbahasa yang harus diutamakan ialah pemahaman akan kaidah-kaidah yang mendasari ujaran. Tekanannya pada aspek kognitif bahasa, bukan pada kemampuan menggunakan bahasa.
METODE
Metode Pembelajaran bahasa adalah rencana pembelajaran bahasa, yang mencakup pemilihan, penentuan, dan penyusunan secara sistematis bahan yang akan diajarkan, serta kemungkinan diadakan remidi dan bagaimana pengembangannya.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa suatu metode ditentukan berdasarkan pendekatan yang dianut; dengan kata lain pendekatan merupakan dasar penentu metode yang digunakan.
Secara garis besar metode mencakup:
1. pemilihan dan penentuan bahan ajar
2. penyusunan serta kemungkinan pengadaan remidi dan pengembangan bahan ajar tersebut, dengan mempertimbangkan:
a. tingkat usia
b. tingkat kemampuan
c. kebutuhan
d. latar belakang lingkungan siswa
e. disusun berdasarkan tingkat kesukaran
Disamping itu guru juga harus merencanakan pula pengevaluasian, remidial, dan pengembangan bahan ajar.
Teknik
Teknik pembelajaran merupakan cara guru menyampaikan bahan ajar yang telah disusun (dalam metode), berdasarkan pendekatan yang dianut.
Teknik yang digunakan guru bergantung pada kemampuan masing-masing guru, karena teknik juga berkaitan dengan siasat atau mencari akal agar proses pembelajaran berjalan dengan lancar dan berhasil dengan baik.
Pertimbangan dalam menentukan teknik pembelajaran antara lain: situasi kelas, lingkungan, kondisi siswa, dsb.
PENDEKATAN-PENDEKATAN
Dalam
PEMBELAJARAN BAHASA
Pendekatan Tujuan
Pendekatan tujuan dilandasi oleh pemikiran bahwa dalam setiap kegiatan pembelajaran yang harus dipikirkan dan ditetapkan lebih dahulu ialah tujuan yang hendak dicapai. Jadi proses pembelajaran ditentukan oleh tujuan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan itu sendiri.
Dengan berdasarkan tujuan, maka yang terpenting ialah tercapainya tujuan, yakni siswa memiliki kemampuan tertentu sebagaimana tujuan yang telah ditetapkan.
Contoh:
Untuk pokok bahasan menulis, tujuan pembelajaran yang ditetapkan ialah “Siswa mampu membuat karangan/cerita berdasarkan pengalaman atau informasi dari bacaan”, maka yang penting adalah siswa memiliki kemampuan mengarang. Adapun bagaimana metode dan teknik pembelajarannya bukanlah masalah yang diutamakan.
Penerapan pendekatan tujuan sering dikaitkan dengan cara belajar tuntas yang berarti suatu kegiatan belajar mengajar dianggap berhasil apabila sedikitnya 85% dari jumlah siswa yang mengikuti pelajaran itu menguasai minimal 75% dari bahan ajar yang diberikan guru dengan melalui evaluasi.
PENDEKATAN STRUKTURAL
Pendekatan ini dilandasi oleh asumsi yang menganggap bahwa bahasa sebagai seperangkat kaidah. Atas dasar itu maka timbul pemikiran bahwa pembelajaran bahasa harus mengutamakan penguasaan kaidah-kaidah bahasa atau tata bahasa. Pembelajarannya pun harus menitikberatkan pada aspek-aspek fonologi, morfologi, dan sintaksis. Pengetahuan tentang pola-pola kalimat, pola kata, suku kata, menjadi sangat penting. Dengan kata lain pada pendekatan ini aspek kognitif bahasa diutamakan.
PENDEKATAN KOMUNIKATIF
Pendekatan komunikatif merupakan pendekatan yang dilandasi oleh pemikiran bahwa kemampuan menggunakan bahasa dalam komunikasi merupakan tujuan yang harus dicapai dalam pembelajaran bahasa.
Bahasa tidak hanya dipandang sebagai seperangkat kaidah tetapi lebih luas lagi, yakni sebagai sarana untuk berkomunikasi. Jadi di sini bahasa ditempatkan sebagaimana fungsinya yaitu fungsi komunikatif.
Menurut Littlewood (1981) pendekatan komunikatif didasari pemikiran:
1. Pendekatan komunikatif membuka pandangan yang lebih luas tentang bahasa, yang tidak terbatas pada tata bahasa dan kosakata saja, tetapi juga pada fungsi komunikatif bahasa.
2. Pendekatan komunikatif membuka diri bagi pandangan yang luas dalam pembelajaran bahasa.
Catatan:
Uraian-uraian di atas mungkin merupakan teori-teori yang sangat mendasar, oleh sebab itu agar dicapai pembelajaran berbahasa yang sesuai perlu mengacu pada model dan strategi terkini, yaitu pembelajaran inovatif.
5 komentar:
http://mbahbrata-edu.blogspot.com/2009/06/tahap-pemerolehan-bahasa.html
4 Februari 2009
Penguasaan sebuah bahasa oleh seorang anak dimulai dengan perolehan bahasa pertama yang sering kali disebut bahasa ibu (B1). Pemerolehan bahasa merupakan sebuah proses yang sangat panjang sejak anak belum mengenal sebuah bahasa sampai fasih berbahasa. Setelah bahasa ibu diperoleh maka pada usia tertentu anak lain atau bahasa kedua (B2) yang ia kenalnya sebagai khazanah pengetahuan yang baru.
Ali (1995:77) mengatakan bahasa ibu adalah bahasa pertama yang dikuasai manusia sejak awal hidupnya melalui interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya, seperti keluarga dan masyarakat lingkungan. Hal ini menunjukkan bahasa pertama (B1) merupakan suatu proses awal yang diperoleh anak dalam mengenal bunyi dan lambang yang disebut bahasa.
Apabila dalam proses awal menunjukkan pemahaman dan penghasilan yang baik dari keluarga dan lingkungan bahasa yang diperolehnya, proses pemerolehan bahasa selanjutnya akan mendapatkan kemudahan. Tahapan-tahapan berbahasa ini memberikan pengaruh yang besar dalam proses pemerolehan bahasa anak. Pemerolehan bahasa adalah proses pemahaman dan penghasilan (produksi) bahasa pada diri anak melalui beberapa tahap mulai dari meraban sampai fasih berbicara (Indrawati dan Oktarina, 2005:21).
Bahasa kedua akan dikuasai secara fasih apabila bahasa pertama (B1) yang diperoleh sebelumnya sangat erat hubungannya (khususnya bahasa lisan) dengan bahasa kedua tersebut. Hal itu memerlukan proses, dan kesempatan yang banyak. Kefasihan seorang anak untuk menggunakan dua bahasa sangat tergantung adanya kesempatan untuk menggunakan kedua bahasa itu. Jika kesempatan banyak maka kefasihan berbahasanya semakin baik (Chaer, 1994:66).
Pemerolehan bahasa pertama (B1) sudah barang tentu mempunyai dampak terhadapi anak untuk mendapatkan bahasa kedua (B2) yaitu bahasa Indonesia yang baik dan benar. Apa saja dampak yang kemungkinan muncul akan penulis paparkan dalam tulisan ini.
Beragam Bahasa Pertama (B1)
Bangsa Indonesia memiliki banyak suku, budaya, dan bahasa dengan ragam dialek yang berbeda-beda. Oleh karena itu, wajarlah bila di suatu sekolah (kelas rendah) terdapat berbagai bahasa ibu mengingat siswa berasal dari berbagai latar belakang dan suku bahkan bahasa daerah yang beragam pula. Bahasa daerah sebagai bahasa pertama dikenal anak sangat berpengaruh terhadap pemerolehan bahasa Indonesia yang akan diperoleh anak di sekolahnya.
Adanya berbagai macam dan ragam bahasa menimbulkan masalah, bagaimana kita menggunakan bahasa itu di dalam masyarakat (Chaer, 1994:63). Dialek atau pelafalan bahasa daerah dan ragam bahasa dalam tatanannya sebagai bahasa lisan memiliki dampak terhadap pelafalan bahasa Indonesia yang baik dan benar meskipun dari segi makna masih dapat diterima. Pelafalan yang nyata sering terdengar dalam tuturan resmi berasal dari berbagai dialek bahasa di nusantara yaitu Jawa, Batak, Sunda, Bali, Minangkabau. Dialek-dialek tersebut akan lebih baik bila sekecil mungkin dihilangkan apalagi bila dialek itu diselingi dengan bahasa daerah dari bahasa ibu (B1) petuturnya sehingga tidak menimbulkan permasalahan khususnya salah penafsiran bahasa karena terdapat bahasa daerah yang mempunyai ucapan atau pelafalan sama namun memiliki makna yang berbeda.
Contoh:
- suwek dalam bahasa Sekayu (Sumsel) bermakna tidak ada
- suwek dalam bahasa Jawa bermakna sobek
- kenekdalam bahasa Batak bermakna kernet (pembantu sopir)
- kenek dalam bahasa Jawa bermakna kena
- abang dalam bahasa Batak dan Jakarta bermakna kakak
- abang dalam bahasa Jawa bermakna merah
Melalui beberapa contoh itu ternyata penggunaan bahasa daerah memiliki tafsiran yang berbeda dengan bahasa lain. Jika hal tersebut digunakan dalam situasi formal seperti seminar, lokakarya, simposium, proses belajar mengajar yang pesertanya beragam daerahnya akan memiliki tafsiran makna yang beragam. Arifin dan Hadi (1989:11) menegaskan bahwa pelafalan dan penggunaa bahasa daerah seperti bahasa Jawa, Sunda, Bali, dan Batak dalam berbahasa Indonesia pada situasi resmi atau formal sebaiknya dikurangi. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa daerah yang sering digunakan sebagai bahasa ibu mempunyai dampak dalam perolehan bahasa siswa secara resmi atau formal berupa bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Dampak Pemerolehan Bahasa Ibu (B1)
Keanekaragaman budaya dan bahasa daerah mempunyai peranan dan pengaruh terhadap bahasa yang akan diperoleh anak pada tahapan berikutnya. Sebagai contoh seorang anak yang orang tuanya berasal dari daerah Melayu dengan lingkungan orang Melayu dan selalu menggunakan bahasa Melayu sebagai alat komunikasi sehari-hari, maka anak itu akan mudah menerima kehadiran bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua (B2) di sekolahnya. Tuturan bahasa pertama (B1) yang diperoleh dalam keluarga dan lingkungannya sangat mendukung terhadap proses pembelajaran bahasa kedua (B2) yaitu bahasa Indonesia. Hal ini sangat dimungkinkan selain faktor kebiasaan juga bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Lain halnya jika kedua orang tuanya berasal dari daerah Jawa dengan lingkungan orang Jawa tentu dalam komunikasi sehari-hari menggunakan bahasa Jawa akan mengalami kesulitan untuk menerima bahasa kedua (B2) yaitu bahasa Indonesia yang dirasakan asing dan jarang didengarnya.
Selain dua situasi di atas juga berbeda dengan pasangan orang tua yang berasal dari daerah yang berbeda dengan bahasa yang berbeda pula dan lingkungan yang berbeda dengan kedua bahasa orang tuanya maka anak akan memperolah bahasa yang beraneka ragam ketika bahasa Indonesia diperolehnya di sekolah akan menjadi masukan baru yang berbeda pula.
Untuk kasus yang ketiga dapat dicontohkan apabila ibunya berasal dari daerah Sekayu sedangkan ayahnya berasal dari daerah Pagaralam dan keluarga ini hidup di lingkungan orang Palembang dalam mengatakan sebuah kata yang berarti mengapa akan diucapkan ibu ngape (e dipaca kuat (e taling)) dalam bahasa Sekayu dan bapak dengan ucapan ngape (e lemah (e pepet)) dalam bahasa Pagaralam dan bahasa di lingkungannya di Palembang ngapo. Ketika anak memasuki sekolah, ia mendapatkan seorang teman yang berasal dari Jawa mengucapkan kata ngopo yang berarti mengapa maka bertambah lagi keanekaragaman bahasa yang diperolehnya. Seorang guru pada jenjang sekolah pada kelas tinggi ia menjumpai kata mengapa akan merasa kebingungan karena ada lima bahasa yang ia terima. Bagi anak yang kemampuan kognetifnya baik atau lebih dari rata-rata ia akan bisa membedakan bahasa Sekayu, Palembang, Pagaralam, Jawa, dan bahasa Indonesia. Kenyataan inilah yang menjadi dampak bagi anak ketika pemerolehan bahasa pertama yang didapatkan berpadu dengan bahasa kedua sebagai bahasa baru untuk digunakan dalam komunikasi di jenjang lembaga resmi atau formal.
Orang tua dan lingkungan mempunyai andil besar terhadap pemerolehan bahasa yang akan dipejarinya di lembaga formal. Dijelaskan dalam aliran behavioristik Tolla dalam Indrawati dan Oktarina (2005:24) bahwa proses penguasaan bahasa pertama (B1) dikendalikan dari luar, yaitu oleh rangsangan yang disodorkan melalui lingkungan. Sementara Tarigan dalam Indrawati dan Oktarina (2005:24) mengemukakan bahwa anak mengemban kata dan konsep serta makhluk social. Tarigam memadukan bahwa konsep pemerolehan belajar anak berasala dari konsep kognetif serta perkembangan sosial anak itu sendiri. Adapun perkembangan sosial itu sendiri idak terlepas dari faktor orang-orang yang kehadirannya ada di lingkungan diri anak. Orang-orang yang dimaksud adalah teman, saudara dan yang paling dekat adalah kedua orang tua yaitu ayah serta ibunya. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan oleh kedua orang tua sebagai orang yang pertama kali dekat dengan diri anak ketika menerima bahasa pertama sangat berdampak terhadap anak dalam tahapan pemerolehan bahasa kedua (B2).
Pemerolehan bahasa pertama anak adalah bahasa daerah karena bahasa itulah yang diperolehnya pertama kali. Perolehan bahasa pertama terjadi apabila seorang anak yang semula tanpa bahasa kini ia memperoleh bahasa (Tarigan dalam Safarina dan Indrawati, 2006:157). Bahasa daerah merupakan bahasa pertama yang dikenal anak sebagai bahasa pengantar dalam keluarga atau sering disebut sebagai bahasa ibu (B1). Bahasa ibu yang digunakan setiap saat sering kali terbawa ke situasi formal atau resmi yang seharusnya menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Bagi anak, orang tua merupakan tokoh identifikasi. Oleh sebab itut, idaklah mengherankan jika mereka meniru hal-hal yang dilakukan orang tua (Fachrozi dan Diem, 2005:147). Anak serta merta akan meniru apa pun yang ia tangkap di keluarga dan lingkungannya sebagai bahan pengetahuannya yang baru terlepas apa yang didapatkannya itu baik atau tidak baik. Citraan orang tua menjadi dasar pemahaman baru yang diperolehnya sebagai khazanah pengetahuannya artinya apa saja yang dilakukan orang tuanya dianggap baik menurutnya. Apapun bahasa yang diperoleh anak dari orang tua dan lingkungannya tersimpan di benaknya sebagai konsep perolehan bahasa anak itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan orang tua dalam berbahasa di dalam keluarga (bahasa ibu) sangat dicermati anak untuk ditirukan. Anak bersifat meniru dari semua konsep yang ada di lingkungannya. Brown dalam Indrawati dan Oktarina (2005:24) mengemukakan bahwa posisi ekstern behavioristik adalah anak lahir ke dunia seperti kertas putih, bersih. Pernyataan itu memberikanan penjelasan nyata bahwa lingkungan dalam hal ini keluarga terutama orang tua dalam pemberian bahasa yang kurang baik khususnya tuturan lisan kepada anak akan menjadi dampak negatif yang akan disambut oleh anak sebagai pemerolehan bahasa pertama (B1) yang menjadi modal awal bagi seoarang anak untuk menyongsong kehadiran pemerolehan bahasa kedua (B2).
Perolehan bahasa kedua (B2 (bahasa Indonesia)) merupakan sebuah kebutuhan bagi anak ketika sedang mengikuti pendidikan di lembaga formal. Pada lembaga formal guru mempunyai pengaruh yang sangat siknifikan sebagai pendidik sekaligus pengajar di sekolah. Guru dengan konsep dapat digugu dan ditiru oleh anak akan menjadi figure sosok seseorang pengganti orangtua yan, oleh karena itu sosok seorang guru dalam kehadirannya di sekolah sebagai rumah kedua bagi anakmempunyai peranan penting dalam memberikan tuturan bahasa sebagai contoh bahasa kedua (B2). Penyesuaian antara bahasa ibu (B1) dengan bahasa kedua (B2 (bahasa Indonesia) yang dituturkan oleh guru membutuhkan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, pada kelas rendah (kelas 1—3 SD) masih menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar pendidikan.
Pada Kelas lanjutan (4—6 SD dan seterusnya) guru akan menggunakan bahasa Indonesia sebagai penyampai ilmu pengetahuan dan teknologi yang baru oleh anak. Apabila pada kelas lanjutan guru masih menggunakan bahasa ibu/ bahasa daerah sebagai bahasa pengantar pendidikan, maka dampak negatif yang akan diperoleh anak. Sebagai contoh seorang guru matematika mengajarkan hasil penjumlahan. Guru menanyakan proses penjumlahan dengan menggunakan bahasa Palembang “Cakmano awak dapet hasil mak ini ni, cobo jelaske!” Bagi anak yang berasal dari Palembang tidak menjadi masalah dan bisa saja menjelaskannya (menggunakan bahasa Palembang), tetapi anak yang tidak berasal dari daerah Palembang yang berada di kelas yang sama akan mengalami kesulitan menerima bahasa daerah Palembang sebagai bahasa kedua (B2). Sebaliknya jika guru matematika tersebut menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sudah barang tentu dapat dipahami oleh warga belajar di kelas yang bersangkutan. Hal yang terakhir ini akan menjadi sebuah kenyataan yang komunikatif antara petutur dan penutur apabila warga kelasnya sudah terbiasa menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sebaliknya, apabila anak sebagai peserta didik tetap terbiasa mengggunakan bahasa daerah atau bahasa pertama (B1) yang juga sering disebut sebagai bahasa ibu dalam komunikasi di lingkungan formal maka sangat sulit guru menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam menyampaikan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia pendidikan. Begitu pula apabila guru dan anak sebagai peerta didik selalu menggunakan bahasa daerah sebagai pengantar pendidikan maka tidak mengherankan bila penguasaan bahasa Indonesia yang baik saja yang dikuasai anak. Sementara itu, keberadaan bahasa Indonesia yang baik dan benar yang menjadi tuntutan sebagai komonukasi formal atau resmi akan dikesampingkan.
Peranan Guru (kelas bawah) dan orang tua dalam berbahasa ditunjang oleh faktor lingkungan sangat memberikan dampak yang sangat besar dalam proses pemerolehan bahasa pertama (B1). Pemberian figur berbahasa yang baik oleh orang tua yang baik diperkuat dengan guru sebagai contoh berbahasa yang baik dan benar di sekolah, maka anak akan mempunyai bekal dalam mempelajari pemerolehan bahasa kedua (B2) yaitu bahasa Indonesia yang baik dan benar.
DAFTAR RUJUKAN
Arifin, E. Zaenal dan Farid Hadi. 1991. 1001 Kesalahan Berbahasa. Jakarta:CV Akademika Pressindo.
Badudu, J.S. 1985. Pelik-pelik Bahasa Indonesia. Bandung: Pustaka Prima.
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Effendi,S. 1994. Panduan Berbahasa Indonesia dengan Baik dan Benar. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya
Fachrozi, Irwan dan Diem, C.D. 2005. “Hubungan Antara Peranan Orangtua, Keterlaksanaan Bahan Bacaan di Perpustakaan Sekolah, dan Minat Baca Siswa SLTP Negeri di Kecamatan Banyuasin III Kabupaten Banyuasin.” Lingua, 6(2): 147.
Indrawati, Sri dan Santi Oktarina. 2005. “Pemerolehan Bahasa Anak TK: Sebuah Kajian Fungsi Bahasa.” Lingua, 7 (1): 21.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Safarina, D. Sopah, dan Indrawati, S. 2006. ”Analisis Kesalahan Berbahasa Ragam Tulis Siswa Madrasah Ibtidaiyah Negeri I Palembang.” Lingua, 7 (2): 157.
Pemerolehan BahasaPENGENALAN
Pemerolehan bahasa sering dikaitkan dengan cara-cara bahasa dikuasai oleh seseorang kanak-kanak. Asas kenyataan ini adalah berteraskan hipotesis yang ditemukan oleh ahli psikologi dan ahli bahasa yang tersohor dalam abad yang lalu. Sama ada baasa pertama atau pun bahasa kedua, pemerolehan bahasa terjadi setelah melalui beberapa proses yanbg sistematik. Pemerolehan bahasa pertma (stersunya B1) terjadi ketika kanak-kanak yang bewlum pernah belajar bahasa apa pun mulai belajar bagi kali pertama. Jikalau kanak-kanak itu menguasai satu bahasa, kanakan itu disebut ekabahasawan. Sedangkan, jika kanak-kanak itu memperoleh dua bahasa serentak dan menguasainya kanak kanakkanak itu disebut dwibbahasawan. Jikalau yang diperolehnnya lebih daripada dua bahasa serentak maka kanak-kanak itu disebut gandabahasawan.
1.1PENGENALAN LINGUISTIK1.1.1Definisi
Linguistik didefinisikan sebagai kajian terhadap bahasa yang bersifat saintifik.Kenapakah linguistik dikatakan sebagai kajian bersifat saintifik?Kajian ini dikatakan saintifik kerana cara-cara yang digunakan bersifat empirikal, dan kajian yang dilakukan itu ialah kajian yang berdasarkan apa yang dilihat, dirasa dan didengar, yang mengetepikan unsur-unsur sentimen dan prasangka. Hal ini bermakna pengkaji mesti akur pada:
•
penggunaan eksperimen yang terkawal,
•
pegangan unsur-unsur keobjektifan,
•
penyebaran hasil kepada umum supaya dapat disahkan kebenarannya oleh orang lain.
1.1.2Pengenalan
Tahukah anda bahawa ilmu linguistik mempunyai berbagai-bagai cabang yang berkaitan erat antara satu sama lain? Antara cabang linguistik itu adalah seperti yang berikut:
•
Linguistik umum,
•
Linguistik deskriptif,
•
Linguistik perbandingan,
•
Linguistik sejarah,
•
Linguistik terapan.Walaupun banyak cabang linguistik, pembelajaran kita hanya mengkhusus cabang linguistik deskriptif, iaitu cabang linguistik yang mengkaji bahasa mengikut cara saintifik. Tugas utama pengkaji ialah menghuraikan segala aspek bahasa dengan menggunakan dasar-dasar tertentu. Kajian dilakukan pada suatu jangka masa yang tertentu, berdasarkan bahan-bahan yang terdapat pada masa itu. Dalam linguistik deskriptif terdapat analisis yang meliputi bidang fonetik, fonemik dan tatabahasa. Sebagai contoh, kajian yang dibuat terhadap penggunaan bahasa Melayu di kalangan penuntut Fakulti Pergigian Universiti Malaya hendaklah dilakukan pada tahun kajian yang ditetapkan oleh pengkaji. Di samping itu, skop kajian juga perlu ditetapkan. Bahan utama kajian ini ialah bahasa lisan atau pertuturan daripada penutur jati. Namun, ada juga kajian dibuat terhadap bahasa tulisan.
Linguistik deskriptif mengkaji bidang-bidang yang berikut iaitu:
fonologi (bunyi) ;
morfologi (pembentukan perkataan); dan
sintaksis
Latihan 2.1
Berikan satu contoh kajian yang boleh dibuat berkaitan dengan linguistik deskriptif.
______________________________________________________ _______________________________________________________
Rumusan
Linguistik deskriptif ialah kajian tentang penghuraian bahasa dari segala segi untuk jangka masa yang tertentu.
Bacaan Asas
1.3
PSIKOLINGUISTIK
Sekarang kita beralih pada tajuk yang lebih mencabar. Kita akan memulakan perbincangan tentang perkara yang terdapat dalam psikolinguistik. Sebelum itu, cuba kita jawab soalan-soalan yang berikut:1.Apa itu psikolinguistik?2.Apakah teori-teori huraian bahasa?3.Apakah teori-teori pemerolehan bahasa?Perkataan psikolinguistik itu terbentuk daripada gabungan dua disiplin ilmu, iaitu psikologi dan linguistik. Jadi, psikolinguistik ialah ilmu yang mengkaji aspek-aspek yang berkaitan dengan bahasa dan akal budi manusia.
1.3.1Teori Huraian Bahasa
Susahkah untuk memahami sesuatu teori Huraian Bahasa? Sesetengah orang menganggap
teori
sebagai perkara yang membosankan. Hal yang sedemikian ini berlaku kerana kita terpengaruh dengan tanggapan bahawa teori susah untuk difahami dan dikuasai. Yang berikut ialah empat aliran pemikiran teori huraian bahasa:
a)Teori Tradisional (Panini)
•
Kajian bahasa dibuat terhadap bentuk-bentuk tulisan.
•
Ahli bahasa Arab mengkaji tulisan Al-Quran dan orang Hindu pula mengkaji tulisan Sanskrit.
•
Bahasa boleh berkembang.
•
Setiap bahasa ada hubungan dengan bahasa induk
•
Tatabahasa bersifat sejagat, berasaskan tatabahasa Yunani dan Latin.
•
Bahasa merupakan cabang ilmu falsafah yang menyelidik tabii alam.
•
Kajian bahasa bersifat deduktif- mementingkan hukum-hukum sesuatu bahasa.
•
Pengkaji juga menetapkan golongan kata kepada kata nama, kata sifat, dan kata kerja.
2Teori Pemerolehan Bahasa
Ada pelbagai teknik, kaedah, pendekatan, dan strategi untuk memperoleh bahasa atau mengajarkan bahasa. Hal ini berlaku kerana wujudnya pelbagai teori pemerolehan bahasa.Cuba anda perhatikan situasi di bawah.Situasi A:Cikgu Zainal mengajarkan bahasa Melayu murid tahun 2. Beliau mengajar muridnya tentang
peraturan
membina dan menulis ayat penyata. Cikgu Zainal
memuji
murid-murid yang dapat membina ayat penyata yang betul. Semasa pengajarannya juga beliau menjalankan
aktiviti
lakonan dan perbincangan sesama murid.
Cuba anda fikir, mengapa cikgu Zainal lakukan demikian?Memperkenalkan peraturan, memuji, dan menjalankan aktiviti ?Untuk memahami situasi di atas, mari kita bincangkan tentang teori-teori bagaimana murid-murid mempelajari bahasa.
a)Teori Behavioris (Skinner)
Teori ini mementingkan persekitaran murid untuk membantu proses pengajaran dan pembelajaran. Hal ini termasuk perlakuan guru, kawan-kawan mereka sendiri serta suasana dalam bilik darjah.
Teori Interaksionalis_____________________________________________________ _____________________________________________________
Rumusan
Tajuk ini telah menjelaskan teori Huraian Bahasa dan Pemerolehan Bahasa. Di samping itu, pelajar juga diberikan contoh-contoh bagaimana teori-teori tersebut diaplikasikan dalam pengajaran dan pembelajaran bahasa Melayu.
Bacaan Asas
Abdullah Hassan. (1980)
. Linguistik Am untuk Guru Bahasa Malaysia
. Petaling Jaya: Penerbit Fajar Bakti.Juriah Long, dll. (1992).
Perkaedahan Pengajaran Bahasa Malaysia
. Kuala Lumpur: Penerbit Fajar Bakti.
Rujukan
Abdullah Hassan. (1980)
. Linguistik Am untuk Guru Bahasa Malaysia
. Petaling Jaya: Penerbit Fajar Bakti.Juriah Long, dll. (1992).
Perkaedahan Pengajaran Bahasa Malaysia
. Kuala Lumpur: Penerbit Fajar Bakti.Kamarudin Husin, dll. (1997)
. Pengajian Melayu 1 (Ilmu Bahasa dan Kecekapan Berbahasa
). Kuala Lumpur: Kumpulan Budiman Sdn. Bhd.Kamus Dewan. (2000). Kuala Lumpur. Dewan Bahasa dan Pustaka.Safiah, Nik, dll. (1986).
Tatabahasa Dewan Jilid 1
. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Zulkifley Hamid. (1996).
Bahasa (Konsep, Fungsi, dan Penguasaannya oleh Penutur).
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
Tutorial
1.Ramalkan masa depan, peranan, dan perkembangan bahasa Melayu dalammasa 20 tahun yang akan datang.2. Bandingkan dan bezakan antara keempat-empat teori pembelajaran bahasa y
eori ini berasaskan teori pelaziman klasik, iaitu kanak-kanak mempelajari bahasa menerusi hukuman dan ganjaran. Contohnya cikgu Zainal menyebut nama serta memberi pujian kepada murid yang memberi jawapan yang betul. Sesuatu ujaran terbentuk kerana adanya rangsangan dan gerak balas dalam bentuk bahasa dan bukan bahasa, misalnya penggunaan kata bagus, anggukan dan sebagainya. Proses ulangan pula memainkan peranan yang penting dalam pengajaran bahasa.
b)Teori Mentalis (Chomsky)
Teori ini mengutamakan proses berfikir berbanding dengan pelakuan kanak-kanak. Kanak-kanak dikatakan berupaya membuat rumusan, sebab itulah cikgu Zainal mengajar murid-muridnya tentang peraturan pembinaan ayat. Perkembangan bahasa kanak-kanak pula adalah mengikut tahap umur mereka. Mereka menguasai kebolehan memahami terlebih dahulu sebelum kebolehan bertutur. Murid cikgu Zainal dapat membina ayat selepas merumuskan apa yang disampaikan oleh cikgu Zainal.Dalam proses pengajaran dan pembelajaran bahasa, tulisan dan bacaan diutamakan. Kemahiran menulis lebih penting daripada kemahiran lisan. Pembelajaran bahasa kanak-kanak pula diukur melalui kecekapan dan pencapaian mereka. Penyampaian makna juga lebih diutamakan daripada struktur bahasa. Selain itu, tatabahasa diajarkan secara formal melalui kaedah deduktif.
c)Teori Interaksionalis (Halliday
)Teori ini mementingkan aktiviti komunikasi. Seseorang menghasilkan bahasa apabila dia memerlukannya. Sebagai contoh cikgu Zainal melakukan aktiviti lakonan agar muridnya berinteraksi antara satu sama lain dengan menggunakan bahasa. Perkembangan bahasa melibatkan proses kognitif dan proses interaksi bahasa. Melalui interaksi, terhasillah ayat penyata dan ayat perintah. Hasil interaksi yang dilakukan akan mempengaruhi kanak-kanak untuk mempelajari sistem bahasa.
Latihan 3.1
Senaraikan lima aktiviti pengajaran dan pembelajaran yang menunjukkan guru mengaplikasikan setiap teori Pemerolehan Bahasa. Teori Behavioris_____________________________________________________ _____________________________________________________ Teori Mentalis _______________________________
PEMEROLEHAN BAHASA MELALUI PELAJARAN BERNYANYI
(Studi Kasus di Sekolah Khusus Autisme; Bina Autis Mandiri Palembang)
1. Pendahuluan.
Banyak cara yang sedang dikembangkan oleh pakar pendidikan dalam mengatasi masalah anak-anak penderita autis. Berbagai macam teknik pengajaran dan pengobatan mulai dilakukan dan diujikan di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Teknik pengajaran yang dikembangkan termasuk salah satu teknik pengobatan untuk mereka. Sampai sekitar sepuluh tahun lalu, kelainan ini tampaknya belum dipublikasikan di Indonesia. Penderitanya juga (katanya) tidak banyak dijumpai. Para dokter dan awam baru tersentak ketika jumlahnya “tiba-tiba” melonjak dengan cepat (Handojo, 2006:1).
Istilah Autisme berasal dari kata "Autos" yang berarti diri sendiri "Isme"
yang berarti suatu aliran. Berarti suatu paham yang tertarik hanya pada
dunianya sendiri (Putrakembara, 2006:2). Anak-anak penderita autis secara kasat mata adalah anak-anak yang asyik dengan dunia mereka sendiri. Mereka terkadang tersenyum, tertawa, dan terkadang bermain dengan dirinya sendiri. Mereka seperti tidak membutuhkan orang lain. Mereka tidak mampu mengekspresikan perasaan dan keinginannya. Terkadang, mereka tertawa dan menangis sendiri, tanpa ada orang yang bisa mengerti maksudnya. Mereka tidak punya keinginan berbagi kesenangan, atau kemampuan membaca kemarahan orang lain.
yang berarti suatu aliran. Berarti suatu paham yang tertarik hanya pada
dunianya sendiri (Putrakembara, 2006:2). Anak-anak penderita autis secara kasat mata adalah anak-anak yang asyik dengan dunia mereka sendiri. Mereka terkadang tersenyum, tertawa, dan terkadang bermain dengan dirinya sendiri. Mereka seperti tidak membutuhkan orang lain. Mereka tidak mampu mengekspresikan perasaan dan keinginannya. Terkadang, mereka tertawa dan menangis sendiri, tanpa ada orang yang bisa mengerti maksudnya. Mereka tidak punya keinginan berbagi kesenangan, atau kemampuan membaca kemarahan orang lain.
Autistik adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks. Ciri-ciri gejala autisme nampak dari gangguan perkembangan dalam bidang komunikasi, interaksi sosial, perilaku, emosi, dan sensoris. Semula kelainan autisme ini dinyatakan tidak dapat disembuhkan, maka dengan semakin banyak upaya dan metode yang ditemukan, ternyata banyak penyandang kelainan ini yang berhasil menjadi anak “normal” kembali (Handojo, 2006:6).
Di Pensylvania, Amerika Serikat, jumlah anak anak autis saja dalam lima tahun teakhir meningkat sekitas 500%, menjadi 40 dari 10.000 kelahiran. Belum terhitung anak-anak berperilaku lain. Sejauh ini di Indonesia belum pernah dilakukan penelitian untuk hal ini. Akan tetapi kita tahu bahwa faktor-faktor penyebab dari hambatan perkembangan prilaku anak ini lebih tinggi di Indonesia dibandingkan dengan Amerika Serikat (Handojo, 2006:1).
Di kota Palembang, salah satu tempat pendidikan bagi anak-anak penderita autism adalah klinik/sekolah yang dinaungi oleh yayasan Bina Autis Mandiri. Di sekolah ini terdapat puluhan anak dengan kebutuhan khusus tersebut yang diberikan pelajaran khusus bagi mereka yang menderita autistis. Sekolah ini sangat berbeda dengan sekolah-sekolah lainnya, selain karena memang kebutuhan khusus tersebut, satu orang siswa dipegang oleh satu orang guru. Bahkan untuk mereka yang dalam kondisi tertentu dibutuhkan dua orang guru sekaligus untuk memberikan pelajaran atau terapi pada anak-anak tersebut.
Terapi bernyanyi dan musik adalah termasuk program yang diberikan bagi anak-anak penderita autis. Terapi bernyanyi dan musik ini merupakan bagian dari kurikulum muatan lokal selain dengan mengunakan metode yang diterapkan seperti ABA/LOVAAS. Salah satu metode pengajaran untuk anak penderita autis adalah metode ABA (Applied Behavior Analysis) atau metode Lovaas. Kebanyakan klinik-klinik yang ada di Indonesia menggunakan metode ini. Dianggap lebih tepat karena metodenya sangat terstruktur. Materi yang akan diajarkan telah tersedia (Handojo, 2006:7)
Pelajaran bernyanyi merupakan salah satu pelajaran yang diberikan kepada anak-anak penderita autis di samping pelajaran-pelajaran lainnya. Berbeda dengan pelajaran lain yang diberikan dengan metode ABA, satu murid dipegang oleh satu orang atau dua orang guru, pelajaran bernyanyi adalah kelas di mana murid-murid dikumpulkan dan didampingi oleh gurunya masing-masing. Ini berarti dalam memberikan pelajaran bernyanyi adalah pelajaran yang bersifat umum. Selain benyanyi, mereka juga akan terlatih untuk bersosialisasi dengan lingkungan dan teman-teman sesama penderita autis yang lain dan juga akan menambah keberanian mereka dalam berekspresi.
Pelajaran bernyanyi diharapkan akan mampu memberikan rangsangan terhadap anak-anak penderita autis, baik rangsangan kognitif atau pemahaman mereka terhadap kosa kata atau ujaran yang mereka hasilkan, afektif atau sejauhmana pengaruh pelajaran tersebut terhadap perkembangan mereka dan psikomotorik. Terutama ransangan alat ucap yang memang memiliki masalah. Dengan pelajaran bernyanyi diharapkan bisa membantu dan menambah pemerolehan bahasa mereka. Pelajaran bernyanyi juga dapat diberikan dalam proses pelajaran khusus.
Dengan bernyanyi, murid dan guru diharapkan bisa sebagai menyatu dan lebih relaks dan diharapkan bisa sebagai pengganti prompt (cara memberikan terapi verbal) dalam proses pembelajaran.
Dengan memberikan pelajaran bernyanyi pada anak-anak penderita autis ini diharapkan ada pengaruh terhadap proses pemerolehan pada mereka.
2. Memberikan Pelajaran Bernyanyi pada Anak-anak Penderita Autis
Seorang anak penderita autis memiliki kekurangan banyak hal, baik dari segi prilaku dan mentalnya. Tetapi dari segi fisik mereka tidak mempunyai masalah seperti layaknya anak normal. Bagi semua penyandang autis oleh karena semua penyandang autis mempunyai keterlambatan bicara dan kesulitan berbahasa, speech terapy adalah juga suatu keharusan, tetapi pelaksanaannya harus dengan metode tertentu (Handojo, 2006:31). Dengan menggunakan metode tertentu tersebut maka akan diharapkan hasil yang maksimal. Salah satunya adalah dengan bernyanyi.
Dengan bernyanyi akan diharapkan membantu pengembangan kosa kata yang berhubungan dengan pemerolehan bahasa terhadap mereka. Hal yang perlu dikaji terhadap perkembangan anak-anak penderita autisme salah satunya adalah bahasa dan komunikasi (Handojo, 2006:13).
Anak-anak penderita autis sangat berbeda dengan anak-anak normal, mereka akan membutuhkan waktu yang lama dan durasi waktu yang panjang dan harus berkesinambungan. Pendidikan untuk anak-anak penderita autis membutuhkan perhatian yang penuh. Program terapi anak ini bukan suatu program yang singkat. Waktu yang dibutuhkan cukup lama, yaitu lebih kurang 2-3 tahun (Handojo, 2006:8).
Anak belajar lebih baik melalui kegiatan mengalami sendiri dalam lingkungan yang alamiah (Depdiknas, 2003:1). Mereka akan digabungkan menjadi kelas yang besar di mana di dalam kelas tersebut terdapar 10 – 15 orang anak. Mengembangkan metode pelajaran bernyanyi ini adalah mencoba memahami bahwa dengan kegiatan bernyanyi tersebut daya tarik anak akan bertambah dan akan menimbulkan rangsangan untuk mengeluarkan ujaran-ujaran atau kosa kata bahkan mungkin sebuah kalimat. Manusia mempunyai kecendrungan untuk belajar dalam bidang tertentu, dan seorang anak mempunyai kecendrungan untuk belajar dengan cepat hal-hal yang baru. Strategi belajar itu penting. Anak dengan mudah mempelajari sesuatu yang baru. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sulit, strategi belajar amat penting (Depdiknas, 2003:14).
Musik dapat dipergunakan sepanjang hari untuk menyatukan kegiatan pembelajaran. bernyanyi, menggerakkan badan, bertepuk tangan, menari, dan memainkan alat-alat musik, atau menyimak dengan tenang kesemuanya dapat diberikan sebagai kegiatan pembelajaran sepanjang hari. Musik mengembangkan pancaindra, mengajarkan ritme, berhitung dengan pola kalimat, memperkuat otot halus dan kasar, dan mendorong kreatifitas (Teamwork, 2000:9).
Sebagai pedoman materi lagu yang dipilih adalah lagu-lagu sederhana yang mudah untuk dipahami oleh anak normal. Kemudian dengan menambahkan gerak dan ekspresi lainnya akan digabungkan menjadi satu kemasan yang menarik.
Anak-anak merasakan kebahagian ketika mereka bergoyang, menari, bertepuk, dan beryanyi bersama seseorang yang mereka percayai dan cintai. Bahkan sementara mereka merasa senang dan terhibur, musik membantu pembentukan perkembangan mental, emosi, serta keterampilan sosial dan fisik mereka selain memberi mereka kegairahan dan keterampilan yang mereka perlukan untuk mulai belajar secara mandiri (Campbell, 2003:10).
Bernyanyi dapat membantu dan merangsang serta memancing respon anak normal atau anak-anak penderita autis. Kata-kata dalam lagu tersebut akan dapat membantu mereka untuk melatih alat ucapnya sehingga mereka menghasilkan bunyi yang berupa kata-kata atau bahkan kalimat. Selanjutnya Putrakembara (2006:23) mengatakan
Mengajari anak menyanyi dapat dimulai dari lagu pendek dan sederhana, yang tentunya sangat disukai oleh anak, misalkan "Topi Saya Bundar", "Kepala Pundak Lutut Kaki", "Balonku Ada Lima", atau "Aku Punya Anjing Kecil". Selain itu, lagu juga dapat memperkaya imajinasi anak, dimana lirik lagu tersebut diubah sesuai dengan karakter lagu. Misalkan, lagu Aku Punya Anjing Kecil dapat diganti liriknya menjadi nama kucing atau hewan peliharaan lainnya
Untuk menambah daya tarik anak terhadap lagu-lagu tersebut akan sangat menarik apabila dibantu dengan ekspresi-ekspresi yang menunjang makna dari kata-kata dalam lagu tersebut. Ia dapat bermain dengan kata-kata dan bunyi-bunyian lain, mengembangkan keterampilan linguistiknya secara menyenangkan secara alami (Campbell, 2003:130). Dengan memberikan kegiatan tersebut secara berkesinambungan akan mengantarkan mereka kepada pengalaman yang dapat membantu mereka sebagai salah satu upaya penyembuhan. Dengan lagu-lagu yang diberikan sebagai materi pelajaran bernyanyi diharapkan akan membantu pemerolehan dan penambahan kosa kata mereka.
Disamping itu, anak akan merasa senang bila lagu tersebut dinyanyikan memakai gerakan yang sesuai dengan lirik lagu. Dan akan lebih menarik lagi bila nama anaknya disebutkan dalam lirik lagu tersebut (Putrakembara,2006:23). Beberapa cara dan teknik dapat dikembangkan dalam memberikan pelajaran bernyanyi sehingga rasa ketertarikan mereka bisa bertahan lama. Tanpa daya tarik yang dapat mencuri perhatian mereka, akan sangat sulit mempertahankan perhatian mereka, sehingga tujuan kegiatan tidak tercapai secara maksimal.
Bernyanyi ataupun mendengar musik sangat membantu perkembangan anak, termasuk anak-anak penderita autis. Bernyanyi dan bermusik tidak harus sebagai pelajaran tetapi bisa juga dipakai dalam keseharian mereka diluar jam belajar/sekolah. Kegiatan ini dapat dilakukan di mana saja, di rumah, dalam perjalanan, saat bertamasya. Campbell (2003:4) selanjutnya mengatakan bahwa
Bahwa skor IQ meningkat di kalangan anak-anak yang menerima pelatihan musik secara teratur; terapi musik selama setengan jam sehari dapat memperbaiki fungsi kekebalan tubuh anak-anak; juga bahwa musik dapat meredakan ketegangan, mendorong interaksi sosial, merangsang perkembangan bahasa, dan memperbaiki keterampilan motorik di kalangan anak-anak
Sebagai seorang pendidik atau orang tua tidak perlu khawatir akan pengaruh dari pelajaran bernyanyi atau mendengarkan bermusik terhadap perkembangan anak. Justru dengan sesering mungkin akan dapat membantu mereka, terutama anak-anak penderita autis dalam mengembangkan kemampuan baik kognitif, afektif maupun psikomotor mereka. Koneksi perasaan ini, yang saling terjalin begitu erat dengan tubuh dan indera kita, menjadi pegangan untuk segala macam aspek pertumbuhan baik verbal maupun nonverbal yang digerakkan oleh musik pada anak-anak, merangsang keterampilan mendengar yang mengantarkan kemampuan ekspresi lebih baik. (Campbell, 2003:139).
Musik berbicara dalam suatu bahasa yang dipahami oleh anak-anak secara naluriah. Musik menarik anak-anak (juga orang dewasa) ke dalam orbitnya, mengajak mereka mengikuti pola titinadanya, menghayati liriknya, bergoyang mengikuti iramanya, dan menggali dimensi-dimensi emosi serta harmoninya dalam seluruh keindahan dan kedalamannya (Campbell, 2003:10).
Permasalahan yang dihadapi anak-anak penderita autis adalah masalah yang cukup komplek. Mereka penderita autis itu terbagi bermacam-macam karekteristik dan gejala-gejala yang juga mempengarahi tingkat kecerdasan mereka. Dalam makalah ini pemberian pelajaran bernyanyi dan bermusik ini membedakan karekteristik tersebut. Dengan pelajaran ini diharapkan membantu mereka dalam berbicara dan berkomunikasi. Pengalaman merasakan irama salam kata-kata akan membantu anak mengembangkan kepekaan terhadap bahasa (Campbell, 2003:142).
3. Pemerolehan Bahasa (Psikoliguistik).
Pada aliran linguistik manapun bahasa selalu dikatakan memiliki tiga komponen : sintakstik, fonologi, dan semantik (Dardjowidjojo, 2003:18). Dari tiga kompenan aliran linguistik tersebut, yang akan menjadi fokus dalam tulisan ini adalah komponen fonologinya. Yaitu akan memfokuskan pada ujaran-ujaran yang dikeluarkan oleh seorang anak penderita autis. Komponen fonologi bersifat interpretif. Komponen ini menangani ihwal yang berkaitan dengan bunyi. Bunyi merupakan simbol lisan yang dipakai oleh manusia untuk menyampaikan apapun yang ingin disampaikan. (Dardjowidjojo, 2003:20).
Masalah yang dihadapi oleh pendengar adalah bahwa dia harus dapat meramu bunyi-bunyi yang dia dengar itu sedemikian rupa sehingga bunyi-bunyi itu membentuk kata yang tidak hanya bermakna tetapi juga cocok dalam kontek di mana kata-kata itu dipakai. (Dardjowidjojo, 2003:29).
Pada anak normal seperti yang diungkapkan Dardjowidjojo bahwa kepentingan ujaran pada anak bertitik tolak pada sudut pandang anak sehingga macam ujaran yang muncul juga mencerminkan kepentingan anak ini. Anak akan memperhatikan kepentingan dia sendiri sehingga apapun yang menjadi hal utama bagi anak akan didahulukan. Peran kelayakan ujaran juga terarah ke dalam sehingga ujaran untuk meminta sesuatu pasti lebih dahulu dikuasai dari pada macam ujaran yang lain (Dardjowidjojo, 2000:44). Ketika pelajaran bernyanyi sedang berlangsung, maka sesekali anak akan diminta untuk bernyanyi sendiri dengan terlebih dahulu bertanya kepada mereka. Ketika sebuah keinginan anak mulai muncul maka mereka akan merespon dengan baik. Ketika seorang anak memberikan respon, maka respon itu harus disalurkan secepat mungkin.
Mengenai pengembangan kemampuan percakapan, anak juga secara bertahap menguasai aturan-aturan yang ternyata ada dan harus diikuti. Suatu percakapan mempunyai tiga komponen: (1) pembukaan, (2) giliran, (3) penutup. Dalam pembukan harus ada ajakan dan tanggapan (Dardjowidjojo, 2000:45). Dengan memberikan pelajaran bernyanyi maka diharapkan proses dengan melalui tahapan-tahapan tersebut akan bisa diamati secara seksama.
Moskowitz, Pine, Barton & Tomasello dalam Dardjowidjojo mengungkapkan bahasa yang kita pakai untuk anak mempunyai ciri-ciri khusus (1) kalimatnya pendek-pendek, (2) tidak mengandung kalimat majemuk, (3) nada suara biasanya tinggi, (4) intonasinya agak berlebihan, (5) laju ujaran tidak cepat, (6) banyak redundansi, (7) banyak memakai sapaan. (Dardjowidjojo, 2000:49).
Orang pada umumnya tidak merasakan bahwa menggunakan bahasa merupakan suatu keterampilan yang luar biasa rumitnya. Pemakaian bahasa terasa lumrah karena memang tanpa diajari oleh siapapun. Seorang bayi akan tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan bahasanya. Dari umur satu sampai dengan satu setengah tahun seorang bayi mengeluarkan bentuk-bentuk bahasa yang telah dapat kita identifikasikan sebagai kata. Ujaran satu kata ini tumbuh menjadi ujaran dua kata dan akhirnya menjadi kalimat yang kompleks menjelang umur empat atau lima tahun (Dardjowidjojo, 2003:1). Seorang anak penderita autis mengalami keterlambatan dan bahkan hambatan dalam berbiacara. Oleh karena itu proses normal seperti yang diungkapkan pendapat di atas kurang tepat, karena pemerolehan bahasa seorang anak penderita autis mengalami keterlambatan.
Bahasa adalah suatu sistem simbol lisan yang arbiter yang dipakai oleh anggota suatu masyarakat bahasa untuk berkomuniksi dan berinteraksi antara sesamanya, berlandaskan pada budaya yang mereka miliki bersama. (Dardjowidjojo, 2003:16). Meskipun anak-anak penderita autis tesebut mempunyai kesulitan dalam berkomunikasi dan berbahasa, tetapi mereka tetap mempunyai keunikan. Bahkan ada di antara mereka yang menciptakan bahasa mereka sendiri. Kemampuan pemerolehan bahasa adalah sesuatu yang unik untuk manusia. (Dardjowidjojo, 2003:5)
Secara rinci psikolinguistik mempelajari empat topik utama: a) komprehensi, yaitu proses-proses mental yang dilalui oleh manusia sehingga mereka dapat menangkap apa yang dikatakan orang dan memahami apa yang dimaksud, b) produksi, yakni, proses-proses mental pada diri kita yang membuat kita dapat berujar seperti yang ita ujarkan, c) landasan biologis serta neurologis yang membuat manusia bisa berbahasa, d) pemerolehan bahasa, yakni, bagaimana anak memperoleh bahasa mereka (Dardjowidjojo, 2003:7).
4. Sumber Data
Penderita autis mempunyai tingkatan-tingkatan penyakit yang berbeda-beda. Dalam penelitian ini akan diteliti secara umum tanpa membedakan tingkatan tersebut. Dalam makalah ini sumber data yang digunakan adalah ujaran yang dihasilkan oleh anak-anak penderita autis yang tercipta atau keluar yang disebabkan karena hasil dari pelajaran bernyanyi. Data diambil pada setiap hari Sabtu. Data dikumpulkan dari 10-15 orang anak. Ujaran yang dihasilkan tersebut adalah ujaran yang keluar ketika mereka bernyanyi atau pun setelah bernyanyi tetapi masih berhubungan dengan lirik lagu, dan ujuaran yang keluar (masih berhubungan dngan lirik lagu) ketika suasana atau situasi tertentu.
5. Analisis Lapangan
Kendala berbahasa/berkomunikasi yang merupakan salah satu masalah yang dihadapi oleh anak-anak penderita autis merupakan faktor utama yang harus mendapatkan perhatian. Proses berbahasa mereka mengalami banyak kendala. Terkadang mereka hanya bisa merasakan dan mengerti apa yang diungkapkan lawan bicara tanpa bisa memberikan respon. Terapi wicara adalah hal utama yang diberikan di klinik/sekolah khusus penderita autis. Terapi wicara adalah terapi yang diberikan kepada anak-anak penderita autis untuk membantu mereka berbicara dan membantu merangsang organ-organ tubuh yang berkaitan dengan proses berbicara. Salah satu teknik terapi wicara adalah dengan kegiaan bernyanyi.
Memberikan pelajaran bernyanyi pada anak-anak merupakan kegiatan yang mengasyikkan, baik oleh pengajar, guru pendamping (orang tua) dan anak-anak itu sendiri. Kegiatan bernyai yang dimaksudkan adalah bernyanyi dengan memilih tema-tema lagu tertentu dibantu dengan musik pengiring dan menari (gerak tubuh). Dengan memberikan sentuhan pendekatan kontektual yaitu belajar sambil mengalami proses. Mereka dilibatkan sepenuhnya dengan bantuan guru pendamping agar mereka mendapat perhatian penuh ketika mengalami proses tersebut. Pelajaran bernyanyi berbeda dengan pelajaran lain, di mana dalam satu ruangan (kelas) diperuntukan bagi seorang murid dengan seorang guru tanpa bergabung dengan murid dan guru yang lain, sedangkan pelajaran bernyanyi adalah gabungan dari seluh anak uang terdri dari 10-15.
Pada awal pertama lagu-lagu ini dikenalkan peran aktif guru utama atau guru pendamping sangat dibutuhkan. Guru utama adalah guru yang memberikan pelajaran bernyanyi. Anak hanya menikmati lagu tersebut dengan gaya ciri khas mereka masing-masing. Kelas bernyanyi membutuhkan waktu yang lama dan kesabaran dalam mengajarkan lagu-lagu kepada anak-ank penderita autis. Lagu-lagu tersebut akan dinyanyikan berulang-ulang sampai mereka mulai mengikuti dan menikmati lagu tersebut. Hal itu akan terlihat dari ekspresi mereka.
Pelajaran bernyanyi ini tidak terlepas dari musik pengiring (gitar, keyboard) dan gerak. Komponen tersebut tidak bisa dipisahkan dalam memberikan pelajaran bernyanyi kepada anak. Sebelum mereka diarahkan kepada kata-kata yang ada dalam lirik lagu, mereka diberikan arahan dengan musik pembuka (intro lagu). Ketika mereka mencoba untuk menyanyikan lagu akan lebih baik kalau dibantu dengan gerakan yang sesuai/mendukung lirik dalam lagu tersebut.
Dalam penelitian ini telah diuji cobakan beberapa lagu anatara lain topi saya bundar, balonku ada lima, cicak-cicak di dinding, dua mata saya, dan dua lagu berbahasa Inggris yaitu C-O-C-O-N-U-T dan good morning. Dari ketujuh lagu yang diberikan tersebut, masing-masing mempunyai karakter dan kesukaran terendiri.
Dalam pelajaran bernyanyi ini ada dua tahap yang diberikan yaitu bernyanyi bersama, dan bernyanyi secara individu. Dalam makalah ini akan diberikan beberapa contoh lagu.
Cicak-cicak di Dinding
Cicak-cicak di dinding
Diam-diam merayap
Datang seekor nyamuk
Hap, lalu ditangkap
Lagu Cicak-cicak di Dinding ini termasuk lagu yang disenangi anak-anak penderita autis. Kegiatan bernyanyi ini akan dimulai dengan bernyanyi bersama-sama. Pada langkah awal peran serta guru pendamping sangat dominan. Menyanyikan lagu ini harus dengan suara lantang dan artikulasi yang jelas, ditambah dengan penekanan-penekanan pada kata tertentu. Biasanya penekanan tersebut pada suku kata terakhir pada setiap baitnya. Selain itu juga dibutuh espresi-ekspresi atau gerakan-gerakan tertentu yang membantu anak untuk mendapatkan kesan mereka tersendiri terhadap lagu ini. Terkadang guru pendamping juga harus memandu anak untuk melakukan gerakan-gerakan tertentu yang sesuai dengan kata-kata dalam lagu. Meski tidak setiap kata yang bisa diiringi atau dilambangkan dengan gerakan.
Setelah mengulang lagu beberapa kali peran serta guru pendamping mulai berkurang, dimulai dengan mengurangi volume suara kemudian berangsur-angsur mengurangi kata-kata dalam lagu.
Pada lagu ini ujaran pertama yang keluar dari mulut mereka (rata-rata) adalah “hap”. Ketika guru menyebutkan “datang seekor nyamuk…hap…lalu ditangkap”. Hampir separuh dari mereka mengucapkan “hap”
Setelah beberapa kali (minggu) lagu tersebut dinyanyikan mereka mulai mengikuti lirik tetapi baru sebatas suku akhir dari lagu tersebut. Misalnya “ding” setelah “Cicak-cicak di din… (ding)”. “Yap” setelah “Diam-diam mera … (yap,)”. “Muk, hap” setelah “Datang seekor nya … (muk, hap). “Kap” setelah “lalu ditang … (kap)”.
Proses selanjutnya adalah mereka mulai mengikuti suku kata terakhir dari setiap kata yang ada dalam lirik lagu tersebut.
Ci cak-ci cak di din ding
Di yam-di yam mera yap
Da tang see kor nya muk
Hap, la lu ditang kap
(Suku kata yang dicetak tebal dan miring adalah kata-kata yang diucapkan anak).
Setiap tahap dalam proses tersebut selalu diberikan kesempatan kepada anak untuk bernyanyi secara individu/perorangan. Mereka diposisikan ditengah lingkaran atau di depan kelas, tergantung formasi yang diterapkan. Formasi ini akan sangat menentukan kemauan anak dalam bernyanyi secara individu. Ketika seorang anak sedang tidak menyenangi guru utama, maka ia akan membelakangi guru tersebut dan menghadap kepada teman-temannya yang berbaris berbanjar. Ketika seorang anak malu dengan dengan temannya, maka guru utama harus memberikan perhatian khusus dengan posisi berhadap-hadapan seolah-olah tidak ada orang lain yang memperhatikannya. Dalam situasi tertentu membentuk lingkaran akan sangat berguna bagi mereka untuk melakukan kontak mata baik dengan para guru atau dengan sesama temannya.
Seperti halnya dengan tahap benyanyi bersama, mereka juga mengalami proses tersebut ketika bernyanyi perorangan. Bahkan ada diantara mereka yang hanya mengeluarkan bunyi seperti orang bersenandung (Hm…hm… atau na… na…) tetapi mereka tetap dalam titinada lagu tersebut.
Dalam hal ini mereka mencoba menggabungkan pengalaman mereka dalam bernyanyi (bermain) bersama kemudian mencobanya untuk bernyanyi senditi. Ketika mereka mencoba mengucapkan bunyi-bunyi tersebut mereka secara spontan melakukan bahasa tubuh/gerakan tubuh. Untuk lagu ini gerakan hanya pada kata “hap” sambil melompat dengan tangan terbuka ke depan kemudian mengepalkan seperti sedang menangkap sesuatu.
Prosses yang sama juga terjadi ketika menyanyikan lagu balon ku ada lima.
Balonku Ada Lima
Balonku ada lima
Rupa-rupa warnanya
Hijau kuning kelabu
Merah muda dan biru
Meletus balon hijau
Dor, hati ku sangat kacau
Balonku tinggal empat
Ku pegang erat-erat.
Ujaran pertama yang keluar adalah “dor”. Selanjutnya mengalami proses yang sama seperti lagu Ciak-cicak di Dinding. Hanya saja berbeda dalam gerak tubuh. Ketika menyatakan lima mereka mengacungkan jari lima (satu tangan dengan telapak tangan terbuka), lalu ketika dor, mereka melompat sambil menutup telinga atau ada juga yang melompat sambil mengepalkan kedua tangan ke atas lalumembuka telapak tangan. Kemudian pada kata empat mereka mengajungkan jari empat, ada yang hanya dengan satu tangan dengan jari jempol ditekuk kedalam dan ada yang melakukannya dengan dua tangan dengan posisi jari yang sama. Meskipun gerak tubuh ini tidak termasuk dalam sumber data tetapi sangat membantu ujaran mereka. Karena kebahagian seorang anak adalah dengan benyanyi, menari, bertepuk tangan dan berteriak apalagi dilakukan secara bersama-sama.
Lain halnya ketika menyanyikan lagu Topi Saya Bundar, pengalaman menyanyikan lagu ini sangat berbeda dengan lagu yang telah dibahas.
Topi Saya Bundar
Topi saya bundar
Bundar topi saya
Kalau tidak bundar
Bukan topi saya
Lagu ini lebih mudah untuk dipahami oleh anak-anak penderita autis dalam perolehan kata sekaligus makna kata. Lagu ini diberikan sebagai kelanjutan dari dua lagu yang terdahulu. Lirik lagu ini lebih membantu perkembangan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik mereka, karena hampir seluruh kata-katanya mempunyai gerakan. Dengan lagu ini aspek pertumbuhan bahasa verbal maupun nonverbal pada mereka dapat berkembang lebih baik dan merangsang keterampilan mendengar yang mengantarkan kemampuan berekspresi yang lebih baik dan akan terjalin erat dengan tubuh dan indera mereka. Proses ujaran mereka hampir sama dengan dua lagu pertama.
(Topi) gerakan seperti memegang sesuatu (topi) di kepala. (Saya) meletakkan kedua telapak tangan kedada sebagai ungakapan saya. (Bundar) mereka melakukan gerakan melingkarkan tangan di depan kepala . Kemudian melakukan gerakan yang sama dengan susunan yang berbeda untuk bait berikutnya “Bundar topi saya”. (Kalau tidak) melambaikan tangan dan menggelengkan kepala seperti mengisyaratkan tidak. (Bundar) kembali melakukan gerakan melingkarkan tangan di depan kepala. (Bukan) mengulang gerakan melambaikan tangan dan menggelengkan kepala seperti mengisyaratkan tidak. (Topi saya) melakukan kembali gerakan mengulang.
Selain dengan lagu berbahasa Indonesia, kegiatan bernyanyi ini juga sengaja memilihkan beberapa lagu berbahasa Inggris. Meskipun untuk berbahasa Indonesia mereka mengalami kesulitan, tetapi untuk kebutuhan penelitian diberikan juga lagu berbahasa Inggris dan unutk memberikan fariasi.
COCONUT
C-O-C-O-N-U-T N-U-T N-U-T
C-O-C-O-N-U-T N-U-T
Lagu ini hanya menyebutan lima macam huruf yang berbeda yaitu C (si) O (ou) N (en) U (yu) T (ti). Semua huruf terdiri dari satu suku kata. Anak-anak penderita utis lebih cepat memahami lagu ini karena semua huruf terdiri dari satu suku kata. Selain itu, sama seperti lagu Topi Saya Bundar, setiap huruf dalam lagu ini mempunyai gerakan. Gerakan tersebut seperti gerakan senam. C, anak-anak dengan bantuan guru akan membuat huruf seperti huruf C, dan seterusnya (akan diperagakan).
Lagu berbahasa Inggris kedua yang diujikan adalah lagu Good Morning.
Good Morning
Good morning, good morning
To you to you and to you.
Good morning, good morning
To you and to you
Amin, Agung and Ery
Rita, Yuli you and you
Good morning, good morning
To you and to you
Sama seperti lagu-lagu dalam pembahasan terdahulu, lagu ini akan membantu dalam proses pemerolehan kosa kata pada anak. Pada lagu ini ada beberapa orang nama yang disebutkan. Nama-nama itu bisa disesuaikan/diganti sesuai dengan kebutuhan. Pada lagu ini sebenarnya tidak ada gerakan, tetapi membantu dalam mengenali nama-nama teman-teman mereka.
Dari lagu-lagu dengan dua versi bahasa yang berbeda ternyata pada anak-anak penderita autis memiliki tingkat kesulitan yang sama dalam memahaminya. Anak-anak penderita autis adalah anak yang mengalami kesulitan dalam berbicara, sehingga hampir keseluruhan kosa kata yang diberikan dalam dua bahasa yang berbeda adalah kosa kata yang baru/asing bagi mereka.
Ketika proses pengenalan kata berlangsung lewat pelajaran bernyanyi, kecendrungan anak-anak ini adalah lebih menurutkan emosi mereka. Terkadang mereka memilih ujaran-ujran yang tidak bisa diperkirakan dengan kesimpulan umum. Terkadang mereka mengucapkan dengan tekanan suara/intonasi yang lebih keras, kadang intonasi yang lebih panjang.
Ada kecendurungan yang sangat positif, bahwa ternyata anak-anak ini tidak hanya memahami lagu tetapi juga memahami titinada yang ada. Mereka bisa memngetahui lagu yang akan dinyanyikan melalui intro lagu, dan mereka juga memahami kapan harus memulai untuk bernyanyi.
Kelemahan yang terjadi adalah bahwa anak-anak penderita autime pada waktu tertentu mereka bisa menghafalkan lagu dan gerakannya, tetapi tidak semua makna dari kata yang diucapkannya dapat dipahami sebaik mereka mengucapkannya.
6. Penutup
Pemerolehan bahasa pada anak-anak penderita autis sangat berbeda dengan pemerolehan bahasa pada anak-anak normal. Anak-anak normal biasanya secara alami dan melalui lingkungan akan mengalami proses pemerolehan bahasa yang tidak rumit. Artiya mereka mendapatkan kosa kata mereka secara alami/normal degan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Sementara itu anak-anak penderita autis mengalami kesulitan yang sekaligus merupakan suatu kendala yang datang dari dalam diri mereka sendiri. Ada sedikit persamaan dalam proses pemerolehan bahasa antara anak-anak normal dengan anak-anak penderita autis, hanya saja pada anak-anak normal mereka telah memulai pemerolehan ujaran pertama mereka pada usia yang bulanan. Sementara itu pada anak-anak penderita autism proses itu baru mulai setelah usia mereka mencapai setahun atau lebih, bergantung dengan sedini apa kelainan mereka diketahui oleh orang tuanya.
Dengan memfokuskan kelas pada kegiatan siswa maka pelajaran bernyanyi dapat mempeloleh hasil yang optimal. Pendekatan kontekstual mengantarkan anak belajar melalui pengalaman mereka dalam prosses belajar. Guru hanya mendampingi mereka sesuai dengan tahapan kebutuhan anak.
Daftar Pustaka.
Campbell, Don. 2002. Efek Mozart bagi Anak-anak. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. (Diindonesiakan oleh Alex Tri Kantjono Widodo)
Dardjowidjojo, Soenjono. 2000. Echa Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia. Jakarta: Grasindo.
_____________. 2003. Psikolinguistik. Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Depdiknas. 2003. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning). Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah. Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama.
Handojo,Y.2006. Autisma. Petunjuk Praktis dan Pedoman Materi Mengajar Anak Normal, Autis, dan Prilaku lain. Jakarta, Bhuana Ilmu Populer.
Putra Kembara .2006. Seputar Autisma. Jakarta. peduliautis@putrakembara.org
… 2000. Menciptakan Kelas yang Berpusat pada Anak . Jakarta. Children’s Resources International. Inc. ( Alih Bahasa : Kenny Dewi Juwita, dkk.)
ada beberapa pendapat, bahwa dalam pembelajaran bahasa kedua. katanya anak-anak cenderung lebih cepat dalam mempelajari bahasa kedua, tapi hipotesis tersebut tidak dapat dibuktikan oleh masyarakat umum, malah banyak yang mengatakan, bahwa orang dewasalah yang lebih mudah mempelajari bahasa kedua dengan alasan orang dewasa mempunyai perkembangan fisik dan fsikologis yang lebih sempurna, dan orang dewasa memiliki pengalaman berbahasa lebih banyak yang di peroleh dari bahasa pertama. Nah, yang ingin saya tanyakan, mana di antara kedua pendapat saya yang dapat dijadikan pegangan. Tolong berikan alasan yang mendetail.Terimakasih. Oh, ya kalau bisa kirimkan ke email saya do_a@mail.com. Terimakasih
Pemerolehan Bahasa Anak Usia Tiga Tahun dalam Lingkungan Keluarga
Diposting oleh rulam Tanggal: 16 July 2009 | Kategori: Karya Tulis Mahasiswa | dilihat 2,344 Kali |
Budi Santoso, Eva Magfiroh dan Indah Wahyu L.W (Mahasiswa FKIP UNISMA Malang)
Absrak: Kajian ini merupakan kajian awal untuk melihat pemerolehan bahasa anak usia tiga tahun dalam lingkungan keluarga. Subjek kajian ialah seorang anak penutur bahasa Indonesia di kota Malang. Data yang digunakan untuk analisis kajian ialah data autentik yang diperoleh melalui observasi. Data dianalisis berdasarkan tiga ciri utama yaitu: (1) analisis berdasarkan panjang kalimat, (2) analisis berdasarkan struktur kalimat, dan (3) analisis berdasarkan jumlah ujaran setiap giliran tutur.Kata kunci: pemerolehan bahasa, ujaran, giliran tutur
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Proses pemerolehan dan penguasaan bahasa anak-anak merupakan satu perkara yang rencam dan cukup menakjubkan bagi para penyelidik dalam bidang psikoliguistik. Bagaimana manusia memperoleh bahasa merupakan satu isu yang amat mengagumkan dan sukar dibuktikan. berbagai teori dari bidang disiplin yang berbeda telah dikemukakan oleh para pengkaji untuk menerangkan bagaimana proses ini berlaku dalam kalangan anak-anak. Memang diakui bahwa disadari ataupun tidak, sistem-sistem linguistik dikuasai dengan pantas oleh individu kanak-kanak walaupun umumnya tiada pengajaran formal. “…learning a first language is something every child does successfully, in a matter of a few years and without the need for formal lessons.” (Language Acquisition: On-line).
Sungguhpun rangsangan bahasa yang diterima oleh kanak-kanak tidak teratur. Namun mereka berupaya memahami sistem-sistem linguistik bahasa pertama sebelum menjangkau usia lima tahun. Fenomena yang kelihatan menakjubkan ini telah berlaku dan terus berlaku dalam kalangan semua masyarakat dan budaya pada setiap masa. Mengikut penyelidik secara empirikal, terdapat dua teori utama yang membincangkan bagaimana manusia memperoleh bahasa. Teori pertama mempertahankan bahwa bahasa diperoleh manusia secara alamiah atau dinuranikan. Teori ini juga dikenali sebagai Hipotesis Nurani dalam linguistik. Teori yang kedua mempertahankan bahwa bahasa diperoleh manusia secara dipelajari. Jurnal Penyelidikan IPBL, Jilid 7, 2006.
Kajian saintifik dalam bidang pemerolehan bahasa telah dimulakan sejak kurun ke-16 lagi (Zulkifly, 1990:326-331). Kajian ini dimulakan oleh Tiedeman, seorang ahli biologi berbangsa Jerman pada tahun 1787. Charles Darwin, pengazas teori evolusi turut menjalankan kajian dalam bidang pemerolehan bahasa pada tahun 1877. Kajian-kajian yang seterusnya telah dilakukan oleh Preyer pada tahun 1882 dan kajian Sally pada tahun 1885.
Pemerolehan bahasa merupakan satu proses perkembangan bahasa manusia. Lazimnya pemerolehan bahasa pertama dikaitkan dengan perkembangan bahasa kanak-kanak manakala pemerolehan bahasa kedua bertumpu kepada perkembangan bahasa orang dewasa (Language Acquisition: On-line).
Perkembangan bahasa kanak-kanak pula bermaksud pemerolehan bahasa ibu anak-anak berkenaan. Namun terdapat juga pandangan lain yang mengatakan bahwa terdapat dua proses yang terlibat dalam pemerolehan bahasa dalam kalangan anak-kanak yaitu pemerolehan bahasa dan pembelajaran bahasa. Dua faktor utama yang sering dikaitkan dengan pemerolehan bahasa ialah faktor nurture dan faktor nature. Namun para pengkaji bahasa dan linguistik tidak menolak kepentingan tentang pengaruh faktor-faktor seperti biologi dan persekitaran.
Kajian-kajian telah dijalankan untuk melihat sama ada manusia memang sudah dilengkapi dengan alat biologi untuk kebolehan berbahasa seperti yang didakwa oleh ahli linguistik Noam Chomsky dan Lenneberg ataupun kebolehan berbahasa ialah hasil dari pada kebolehan kognisi umum dan interaksi manusia dengan sekitarannya. Mengikut Piaget, semua kanak-kanak sejak lahir telah dilengkapi dengan alat nurani yang berbentuk mekanikal umum untuk semua kebolehan manusia termasuklah kebolehan berbahasa. Alat mekanisme kognitif yang bersifat umum digunakan untuk menguasai segala-galanya termasuk bahasa. Bagi Chomsky dan Miller pula, alat yang khusus ini dikenali sebagai Language Acquisition Device (LAD) yang fungsinya sama seperti yang pernah dikemukakan oleh Lenneberg yang dikenali sebagai “Innate Prospensity for Language”.
Bayi-bayi yang baru lahir sudah mulai mengecam bunyi-bunyi yang terdapat di sekitarnya. Mengikut Brookes (dlm. Abdullah Yusoff dan Che Rabiah Mohamed, 1995:456), kelahiran atau pemerolehan bahasa dalam bentuk yang paling sederhana bagi setiap bayi bermula pada waktu bayi itu berumur lebih kurang 18 bulan dan mencapai bentuk yang hampir sempurna ketika berumur lebih kurang empat tahun. Bagi Mangantar Simanjuntak (1982) pula, pemerolehan bahasa bermaksud penguasaan bahasa oleh seseorang secara tidak langsung dan dikatakan aktif berlaku dalam kalangan kanak-kanak dalam lingkungan umur 2-6 tahun. Hal ini tidak bermakna orang dewasa tidak memperoleh bahasa tetapi kadarnya tidak sehebat anak-anak.
Pemerolehan bahasa dikaitkan dengan penguasaan sesuatu bahasa tanpa disadari atau dipelajari secara langsung yaitu tanpa melalui pendidikan secara formal untuk mempelajarinya, sebaliknya memperolehnya dari bahasa yang dituturkan oleh ahli masyarakat di sekitarnya. Beliau seterusnya menegaskan bahwa kajian tentang pemerolehan bahasa sangat penting terutamanya dalam bidang pengajaran bahasa. Pengetahuan yang cukup tentang proses dan hakikat pemerolehan bahasa boleh membantu bahkan menentukan kejayaan dalam bidang pengajaran bahasa.
Rumuan Masalah
Sampel kajian ini ialah seorang anak laki-laki yang bertutur dalam bahasa Indonesia. Bahasa tersebut merupakan bahasa ibu anak itu. Anak tersebut tinggal bersama-sama dengan keluarga ayah ibunya sendiri, tetapi kalau siang diasuh neneknya karena ditinggal kerja oleh orang tuanya. Anak tersebut dilahirkan pada 13 Mei 2005. Ini berarti kanak-kanak tersebut berumur tiga tahun tujuh bulan. Nama lengkap anak tersebut ialah Arya Pranata Jauhar Nawawi.
Pendekatan interaksi digunakan dalam kajian ini memandangkan subjek kajian yang dipilih selalu berpeluang berinteraksi dengan anggota keluarganya. Bentuk interaksi observasi ini terdiri daripada interaksi yang tidak dirancang. Sebagai langkah untuk menjamin data kajian yang lebih autentik, latar yang tidak dirancang digunakan. Analisis pertuturan Arya dilakukan dalam berbagai situasi dan keadaan dalam lingkungan keluarganya sendiri. Pengalaman Arya juga digunakan dan dianggap sebagai alat kajian ini. Transkripsi pertuturan subjek kajian ini dibuat dalam bentuk dan sistem ejaan fonemik.
Sehingga berdasarkan latar belakang dalam subek kajian “Pemerolehan Bahasa Anak Usia TiIga Tahun Dalam Lingkungan Keluarga” dapat penulis rumuskan antara lain: (1) bagaimana panjang ayat yang digunakan anak tiga tahun dalam bertutur, (2) bagaimana struktur kalimat yang digunakan anak usia tiga tahun dalam bertuur dan (3) bagaimana ujaran setiap giliran tutur yang digunakan anak usia tiga tahun dalam bertutur.
Tujuan Penulisan
Penulisan ini berusaha untuk mendapatkan gambaran mengenai: (1) panjang ayat yang digunakan anak usia tiga tahun dalam bertutur (2) penguasan kalimat yang digunakan anak usia tiga tahun dalam bertutur dan (3) ujaran setiap giliran tutur yang digunakan anak usia tiga tahun dalam bertutur.
PEMBAHASAN
Analisis Berdasarkan Panjang Kalimat
Pemerolehan bahasa (language acquisition) adalah suatu proses yang diperlukan oleh anak-anak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis yang semakin bertambah rumit ataupun teori-teori yang masih terpendam atau tersembunyi yang mungkin sekali terjadi dengan ucapan-ucapan orang tuanya sampai ia memilih berdasarakn suatu ukuran atau takaran penilaian, tata bahasa yang baik serta paling sederhana dari bahasa (Tarigan dalam Prastyaningsih, 2001:9). Lebih jelasnya pemerolehan bahasa diartikan sebagai suatu proses yang pertama kali dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan bahasa sesuai dengan potensi kognitif yang dimiliki dengan didasarkan atas ujaran yang diterima secara alamiah.
Bahasa yang pertama kali dikenal dan diperoleh anak-anak dalam kehidupannya adalah bahasa Ibu (mother language) atau sering disebut dengan bahasa pertama (first language). Bahasa inilah yang mula-mula dikenal oleh anak kecil dan dipergunakan dalam kehidupannya sehari-hari sebagai bahasa komunikasi. Pada saat ini, maka telah mempunyaai kemampuan bawaan memperoleh pengetahuan tentang bahasa yang dipelajari melalui pembentukan hipotesis karena adanya struktur internal pada mental mereka.
Pada hakekatnya, proses pemerolehan bahasa itu pada setiap anak sama, yaitu melalui pembentukan dan pengujian hipotesis tentang kaidah bahasa. Pembentukan kaidah itu dimungkinkan oleh adanya kemampuan bawaan atau struktur bawaan yang secara mental dimiliki oleh setiap anak. Inilah yang disebut dengan alat pemerolehan bahasa (Language Acquisition Devical/ LAD). Dengan ini setiap anak dapat memperoleh bahasa apa saja serta ditentukan oleh faktor lain yang turut mempengaruhinya. Data kebahasaan yang harus diproses lebih lanjut oleh anak merupakan hal yang penting.
Dalam analisis khususnya panjang ayat anak usia tiga tahun tidak terlepas dari penguasaan dan pemerolehan bahasa. Pemerolehan ini yang terjadi secara alamiah. Berikut perhatikan beberapa cuplikan di bawah ini:
| Budi AryaBudi Arya Budi Arya Bue Arya | : :: : : : : : | Cup..cup diam, gak pareng nangis. Wis besar kok nangis kok nagis, ayo bangun! Bue….. (sambil menagis)Ya bentar. Bue isik keluar dulu, entar ya kesini Ngak, ikut bue (masih menangis) Ini mau dawet. Mas budi punya dawet Nngak…. Bue… (Bue datang) Di tinggal sediluk ae kok nangis. Kok wis atngi ti le.. Gendong Bue…(masih menagis) |
Selain penjelasan di atas pada dasarnya pemerolahan bahasa anak-anak itu melalui beberapa tahap. Anak tidak secara langsung bisa mengucapkan semua fonem dalam tataran bunyi. Misalnya Bue, karena fonem /b/ merupakan bunyi labial yang pertama kali dikuasai anak.
Lain halnya dengan fonem /r/ yang penguasaannya melalui beberapa tahap. Dalam Werdiningsih (2002:6-7) dijelaskan bahwa pemerolehan atau penguasaaan fonem /r/ diperoleh pembelajar bahasa Jawa melalui empat tahap, yaitu (1) tahap zero (kosong) yang tampak pada ucapan /roti/ menjadi /oti/, (2) tahap /r/ berubah menjadi /y/ yang tampak pada ucapan /roti/ menjadi /yoti/, (3) tahap /r/ berubah menjadi /l/ yang tampak pada ucapan /roti/ mekjadi /loti/ dan (4) tahap /r/ terelisasi fonem /r/ yang tamak pada ucapan /roti/ diucapkan /roti/ pula. Perhatikan cuplikan dalam tuturan berikut!
| Arya Tante SulisArya Tante Sulis | : :: : | Nda Yis loti Jajan terus, tadikan wis dibelikan es krim sama mamaAlya maunya loti Nanti es krimya Nda Yis makan lo. Ayo di makan dulu es krimnya |
Analisis Berdasarkan Struktur Kalimat
Pemerolehan bahasa pertama, anak juga sudah mampu menyusun kalimat meskipun masih sangat sedarhana. Kalimat adalah bagian terkecil ujaran atau teks (wacana) yang mengungkapkan pikiran yang utuh secara ketatabahasaan (Busri,2002:37-38). Dalam wujud lisan kalimat diiringi oleh alunan titi nada, disela oleh jeda, diakhiri oleh intonasi selesai dan diikuti oleh kesenyapan yang memustahilkan adanya perpaduan atau asimilasi bunyi. Dalam wujud tulisan huruf latin, kalimat dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik, tanda tanya atau tanda seru dan sementara itu disertai pula di dalamnya berbagai tanda baca yang berupa spasi atau ruang kosong, koma, titik koma, titik dua dan atau sepasang garis pendek yang mengapit bentuk tertentu. Tanda titik (.), tanda tanya (?), dan tanda seru (!), sepadan dengan intonasi selesai, sedangkan tanda baca sepadan dengan jeda. Adapun kesenyapan diwujudkan sebagai ruang kosong setelah tanda titik, tanda tanya dan tanda perintah atau ruang kosong sebelum huruf kapital permulaan. Alunan titi nada pada kebanyakan hal tidak ada pedananya dalam bentuk tertulis.
Dipandang dari sudut logika, kalimat didefinisikan sebagai ujaran yang didefinisikan pikiran lengkap yang tersusun dari subjek dan predikat. Pengertian bahwa subjek adalah tentang apa sesuatu dikatakan dan predikat adalah apa yang dikatakan tentang subjek, yang perlu diperhatikan ialah bahwa istilah subjek dan predikat itu mengacu kepada fungsi, tidak kepada jenis kata. Perhatikan beberapa cuplikan di bawah ini!
| Arya BueArya Bue Arya Bue | : :: : : : | Bue lapar. Iyo le, iki sek ngoreng telur.Cepat…. Ito. Sabar engko makane di kasih kecap Asyik. Bue makane di luar ya. Iyo, sek to le. |
Secara lisan kata-kata yang diucapkan Arya sudah dapat dikatakan sebagai kalimat, karena kalimat dalam bahasa lisan diawali kesenyapan disela jeda dan diakhiri kesenyapan pula. Meskipun hanya satu kata cepat secara lisan juga sudah dikatakan kalimat. Cepat dalam konteks ini diucapkan dengan titi nada tinggi atau dikenal dengan fonem suprasegmental sehingga secara lisan sudah dapat dikatakan sebagai kalimat.
Analisis Berdasarkan Jumlah Ujaran Setiap Giliran Tutur
Pengambil giliran (turn taking) merupakan satu strategi yang penting dalam sesuatu komunikasi khususnya dalam komunikasi dua hal. Dengan adanya strategi ini, sesuatu tuturan dapat berjalan dengan lancar dan teratur menurut prinsip-prinsip komunkasi. Dalam kajian ini, didapati bahwa ujaran setiap giliran untuk subjek kajian, Arya dengan orang dewasa, yaitu Mas Budi dan Mbak Seni adalah hampir sekata. Hal ini mungkin disebabkan observasi yang dilakukan itu lebih merupakan tuturan yang berupa soal jawab antara Arya dengan Mas Budi dan Mbak Seni. Oleh karena itu, dalam perbualan tersebut, Arya hanya berperanan untuk menjawab pertanyaan yang dikemukakan oleh kedua orang dewasa tadi. Perhatikan cuplikan tuturan berikut!
| Mas Budi AryaMas Budi Arya Mbak Seni Arya Mbak Seni Arya Mas Budi Arya Mbak Seni Arya | : :: : : : : : : : : : | Arya mama kemana? KerjaKerjanya di mana Kantor Pos Lek ayah kerjanya dimana? Oli Siapa ayo nama ayah dan mamamu? Mama Kris ama ayah Amad Ayo, Arya apa bisa berhitung? Pinter Ayo gimana berhitungnya? Satu, dua, tiga, empat ……. |
PENUTUP
Bagian ini merupakan bagian penutup dari tulisan ini. Pada bagian ini akan disampaikan kesimpulan dan beberapa implikasi kajian yang perlu mendapatkan perhatian dan tindak lanjut di masa mendatang, khususnya untuk kajian berikutnnya. Berikut kesimpulan dan implikasi-implikasi kajian selengkapnya.
Simpulan
Sejalan dengan rumusan masalah dan tujuan penulisan yang disampaikan di bagian pendahuluan, maka sebagai kesimpulan dapatlah disampaikan hal-hal berikut:
1) berdasarkan panjang ayat anak usia tiga tahun dalam bertutur pada umumnya mengucapkan kata-kata secara terpenggal. Serta penguasaan bahasa yang dikuasai anak diperoleh melalui tahapan-tahapan tertentu
2) anak umur tiga tahun sudah mampu menyusun kalimat dalam bertutur meskipun masih sangat sederhana dan terbatas
3) berdasarkan jumlah ujaran setiap giliran tutur dibuktikan anak tiga tahun dalam bertutur hanya menjawab pertanyaan dari lawan tutur.
Implikasi Kajian
Tidak disangkal bahwa kajian ini masih jauh bahkan teramat jauh dari sempurna. Ruang lingkup pembicaraan yang semula segaja digunakan untuk membatasi kajian ini bukan tidak mungkin justru mengkerdilkan jangkauan pembahasan. Analisis dalam “Pemerolehan Bahasa Anak Usia Tiga Tahun dalam Lingkungan Keluarga” sebenarnya hanya bagian yang teramat kecil dari bidang ilmu psikolinguistik tentu bagi rekan-rekan mahasiswa lain ditantang menindaklanjuti kajian ini.
DAFTAR RUJUKAN
Abdullah, Yusoff dan Che Rabiah Mohamed. 1995. Teori Pemelajaran Sosial dan Pemerolehan Bahasa Pertama. Jurnal Dewan Bahasa. Mei. 456-464.
Busri, Hasan. 2002. Sintaksis Bahasa Indonesia. Malang: FKIP Unisma.
Halijah, Abd dan Hamid. 1996. Bagaimana Manusia Memperoleh Bahasa?. Jakarta: Pelita Bahasa (Jurnal penyelidikan IPBL, jilid 7, 2006)
Language Acquisition. (On-line): http//en. Wikipedia.org/wiki/Languageacquistion. Diakses 24 Desember 2008.
Mangantar, Simanjuntak. 1982. Pemerolehan Bahasa Melayu: Bahagian Fonologi. Jurnal Dewan Bahasa. Ogos/September. 615-625.
Prastyaningsih, Luluk Sri Agus. 2001. Teori Belajar Bahasa. Malang: FKIP Unisma.
Tarigan, Henry Guntur. 1984. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa.
Werdiningsih, Dyah. 2002. Dasar-dasar Psikolinguistik. Malang: FKIP Unisma.
Zulkifley bin Hamid. 1990. Penguasaan Bahasa: Huraian Paradigma Mentalis dan Behaviouris. Jurnal Dewan Bahasa. Mei. 326-331.
LAMPIRAN
KELAHIRAN BAHASA DAN PEMEROLEHAN BAHASA PADA ANAK
KELAHIRAN BAHASA DAN PEMEROLEHAN BAHASA PADA ANAK
Ada beberapa hipotesis tentang asal mula bahasa dihubungkan dengan pemerolehan bahasa pada anak (Soemarsono, 2004: 71). E. Cassier berpendapat bahwa pada dasarnya bahasa merupakan pengungkapan gagasan serta ekspresi perasaan atau emosinya. Ia berpendapat bahwa jeritan-jeritan yang keluar dari seorang anak (bayi) merupakan ungkapan emosionalnya. Sementara itu, bahasa anak yang merupakan ungkapan pikiran atau gagasan mengikuti perkembangan fisik dan pikiran sebagai wujud sosialisasinya dengan lingkungan.
Pendapat lain yang dinyatakan oleh Brooks adalah ‘kelahiran bahasa’ merupakan pemerolehan bahasa bagi tiap manusia (anak bermula ketika ia berumur 18 tahun). Bahasa diperoleh anak mulai dari bentuk yang paling sederhana hingga menuju kesempurnaan. Brooks mengutip Lennberg (dalam Soemarsono, 2004: 72) bahwa anak akan mampu berbahasa menurut proses pematangan (maturation) dan tidak ada hubungan antara bahasa dan kebutuhan anak, jika seorang anak mencapai umur tertentu dia akan berbahasa. Proses tersebut berupa tahapan pemerolehan bahasa yang secara umum dialami oleh setiap anak di seluruh dunia. Ada dua pandangan yang bertentangan mengenai pemerolehan bahasa pada anak. Pandangan behaviorisme menyatakan bahwa seorang anak mula-mula merupakan tabula rasa atau sesuatu yang kosong. Kekosongan itulah yang selanjutnya akan diisi oleh lingkungan. Dalam hal ini, Skinner berpendapat bahwa pemerolehan bahasa, juga pengetahuan lain, didasarkan pada mekanisme stimulus-respon. Dalam hal ini, bahasa berkaitan dengan fungsi penguatan (Mar’at, 2005: 72). Penguatan (reinforcement) diberikan lingkungan (orang tua) kepada anak pada usahanya untuk mengenal bahasa. Oleh karena itu, kemampuan berbahasa seorang anak bersifat nurture atau ditentukan alam lingkungannya (Dardjowidjojo, 2005: 234).
Pendapat itu disanggah oleh Chomsky dengan mengenalkan hipotesis R. Discartes/ hipotesis bawaan (Soemarsono, 2004: 72) yang menyatakan bahwa setiap anak telah dilengkapi ‘piranti’ untuk memperoleh bahasa (language acquisition device). Piranti ini bersifat universal dengan dibuktikan adanya kesamaan tahapan setiap anak dalam memperoleh kemampuan berbahasanya. Dengan demikian, pemerolehan bahasa pada anak bersifat alamiah atau didasarkan pada nature (Dardjowidjojo, 2005: 235) atau dengan kata lain manusia telah dicipta menjadi makhluk berbahasa, karena mereka telah diprogram dan dilengkapi dengan segala sesuatu (otak, alat ucap, dst.) (Soemarsono, 2004: 72).
PENGERTIAN PEMEROLEHAN BAHASA
Istilah ‘pemerolehan’ merupakan padanan kata acquisition. Istilah ini dipakai dalam proses penguasaan bahasa pertama sebagai salah satu perkembangan yang terjadi pada seorang manusia sejak lahir (Darmojuwono dan Kushartanti, 2005: 24). Secara alamiah anak akan mengenal bahasa sebagai cara berkomunikasi dengan orang di sekitarnya. Bahasa pertama yang dikenal dan selanjutnya dikuasai oleh seorang anak disebut bahasa ibu (native language).
TAHAP-TAHAP PEMEROLEHAN BAHASA ANAK SECARA FUNGSIONALAda beberapa hipotesis tentang asal mula bahasa dihubungkan dengan pemerolehan bahasa pada anak (Soemarsono, 2004: 71). E. Cassier berpendapat bahwa pada dasarnya bahasa merupakan pengungkapan gagasan serta ekspresi perasaan atau emosinya. Ia berpendapat bahwa jeritan-jeritan yang keluar dari seorang anak (bayi) merupakan ungkapan emosionalnya. Sementara itu, bahasa anak yang merupakan ungkapan pikiran atau gagasan mengikuti perkembangan fisik dan pikiran sebagai wujud sosialisasinya dengan lingkungan.
Pendapat lain yang dinyatakan oleh Brooks adalah ‘kelahiran bahasa’ merupakan pemerolehan bahasa bagi tiap manusia (anak bermula ketika ia berumur 18 tahun). Bahasa diperoleh anak mulai dari bentuk yang paling sederhana hingga menuju kesempurnaan. Brooks mengutip Lennberg (dalam Soemarsono, 2004: 72) bahwa anak akan mampu berbahasa menurut proses pematangan (maturation) dan tidak ada hubungan antara bahasa dan kebutuhan anak, jika seorang anak mencapai umur tertentu dia akan berbahasa. Proses tersebut berupa tahapan pemerolehan bahasa yang secara umum dialami oleh setiap anak di seluruh dunia. Ada dua pandangan yang bertentangan mengenai pemerolehan bahasa pada anak. Pandangan behaviorisme menyatakan bahwa seorang anak mula-mula merupakan tabula rasa atau sesuatu yang kosong. Kekosongan itulah yang selanjutnya akan diisi oleh lingkungan. Dalam hal ini, Skinner berpendapat bahwa pemerolehan bahasa, juga pengetahuan lain, didasarkan pada mekanisme stimulus-respon. Dalam hal ini, bahasa berkaitan dengan fungsi penguatan (Mar’at, 2005: 72). Penguatan (reinforcement) diberikan lingkungan (orang tua) kepada anak pada usahanya untuk mengenal bahasa. Oleh karena itu, kemampuan berbahasa seorang anak bersifat nurture atau ditentukan alam lingkungannya (Dardjowidjojo, 2005: 234).
Pendapat itu disanggah oleh Chomsky dengan mengenalkan hipotesis R. Discartes/ hipotesis bawaan (Soemarsono, 2004: 72) yang menyatakan bahwa setiap anak telah dilengkapi ‘piranti’ untuk memperoleh bahasa (language acquisition device). Piranti ini bersifat universal dengan dibuktikan adanya kesamaan tahapan setiap anak dalam memperoleh kemampuan berbahasanya. Dengan demikian, pemerolehan bahasa pada anak bersifat alamiah atau didasarkan pada nature (Dardjowidjojo, 2005: 235) atau dengan kata lain manusia telah dicipta menjadi makhluk berbahasa, karena mereka telah diprogram dan dilengkapi dengan segala sesuatu (otak, alat ucap, dst.) (Soemarsono, 2004: 72).
PENGERTIAN PEMEROLEHAN BAHASA
Istilah ‘pemerolehan’ merupakan padanan kata acquisition. Istilah ini dipakai dalam proses penguasaan bahasa pertama sebagai salah satu perkembangan yang terjadi pada seorang manusia sejak lahir (Darmojuwono dan Kushartanti, 2005: 24). Secara alamiah anak akan mengenal bahasa sebagai cara berkomunikasi dengan orang di sekitarnya. Bahasa pertama yang dikenal dan selanjutnya dikuasai oleh seorang anak disebut bahasa ibu (native language).
Fungsi bahasa sebagai alat komunikasi sebenarnya mulai dipahami sejak kanak-kanak. Menurut Halliday, sejak seorang anak dapat berujar, secara tidak sadar ia merasakan bahwa bahasa dapat digunakan sesuai kehendak. Halliday dalam Soemarsono (2004: 166) membagi tahap-tahap pemerolehan bahasa anak secara fungsional sebagai berikut.
1. Fungsi Instumental
2. Fungsi Regulatori
3. Fungsi Interaksi
4. Fungsi Personal
5. Fungsi Heuristik
6. Fungsi Imajinatif
7. Fungsi Representasional
TAHAP-TAHAP PEMEROLEHAN BAHASA ANAK SECARA LINGUISTIK
Berbagai penelitian membuktikan bahwa manusia normal mengalami tahapan yang hampir sama dalam pemerolehan bahasa pertamanya. Dapat diperkirakan bahwa bayi telah mengenal suara ibunya sejak dalam kandungan. Hal ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa pada umumnya bayi yang baru lahir menunjukkan reaksi ketika mendengar suara ibunya (Darmojuwono dan Kushartanti, 2005: 24).
Schaerlaekens dalam Mar’at (2005: 61) membagi periode perkembangan bahasa pada anak sebagai berikut.
1. Periode Pralingual
Umumnya dialami anak pada usia 0-1 tahun, anak belum mengucapkan bahasa hanya mengeluarkan bunyi-bunyi yang merupakan reaksi terhadap situasi tertentu.
a. Tahap mendekut (cooing)
Anak mengeluarkan bunyi yang mirip vokal atau konsonan (/ a /).
b. Tahap berceloteh (babbling)
Anak mengeluarkan gabungan mirip vokal dan konsonan (/ p /, / b /, / m /).
2. Periode Lingual
Umumnya dialami anak pada usia 1-2,5 tahun, anak mulai mengucapkan kata-kata.
a. Tahap ujaran holofrastik
Anak mampu memproduksi satu kata yang dapat menyatakan lebih dari satu maksud.
b. Tahap ujaran telegrafik
Anak mampu memproduksi dua kata sebagai pernyataan suatu maksud.
c. Tahap lebih dari dua kata
Anak mulai memproduksi lebih dari dua kata dan menunjukkan perkembangan morfologis. Komunikasinya pun tidak lagi bersifat egosentris.
3. Periode Diferensiasi
Umumnya dialami anak pada usia 2,5-5 tahun, anak dianggap telah menguasai bahasa ibu dengan penguasaan tata bahasa pokok. Fungsi bahasa sebagai alat komunikasi mulai berjalan baik. Anak juga mulai mapu mengkomunikasikan persepsi dan pengalamannya kepada orang lain.
Perkembangan aspek fonologi telah berakhir walaupun masih ada kesukaran tertentu. Aspek kosakata berkembang baik secara kualitatif dan kuantitatif. Anak juga telah mampu membedakan nomina dan verba serta menggunakan pronomina dan preposisi.
KONSEP UNIVERSAL DALAM PEMEROLEHAN BAHASA ANAK
Pemerolehan bahasa seorang anak berkaitan erat dengan konsep universal (Dardjowidjojo, 2005: 237) yang terlihat dalam perkembangan aspek kebahasaannya. Secara berurutan, aspek fonologi memiliki kadar universal paling tinggi dibanding aspek sintaksis dan semantic.
1. Konsep Universal dalam Aspek Fonologi
Konsep universal dalam pemunculan bunyi berkaitan langsung dengan pertumbuhan biologi dan neurologi anak. Ini menyebabkan paling tingginya kadar universal pemerolehan aspek ini. Penguasaan bunyi oleh seorang anak akan mengikuti urutan tertentu berdasarkan tingkat kesukarannya.
Konsep universal dalam pemerolehan aspek fonologi mengacu pendapat Jakobson dalam Dardjowidjojo (2005: 238) yang menyatakan bahwa bunyi vokal pertama yang dikeluarkan anak adalah bunyi [a]. Sementara itu, konsep universal pada keluaran bunyi konsonan adalah oposisi bunyi oral [p]-[b] dengan bunyi nasal [m]-[n] yang mendahului kontras antara bunyi bilabial [p] dengan bunyi dental [t].
2. Konsep Universal dalam Aspek Sintaksis
Konsep ini terdapat pada pola ujaran yang diproduksi oleh anak. Produksi ujaran selalu dimulai dengan ujaran holofrastik (satu kata) dan diikuti dengan ujaran lebih dari satu kata. Selain itu, produksi satu kata terakhir dari suatu kata akan dikuasai terlebih dahulu. Ini berkaitan dengan gejala bahwa sesuatu yang didengar paling akhir akan meninggalkan tilas mental yang kukuh (Dardjowidjojo, 2000: 172). Pada sub-aspek morfologi, secara umum, penguasaan nomina cenderung lebih awal dan lebih banyak dibandingkan jenis kata lain.
3. Konsep Universal dalam Aspek Semantik
Konsep ini dikatakan paling labil karena pemerolehan kuantitas dan kualitas kata pada seorang anak sangat bergantung dari keadaan. Konsep universal yang umumnya diikuti anak berkenaan dengan prinsip ‘sini dan kini’ (here and now). Anak akan menguasai terlebih dahulu kosakata dari objek yang ada di sekelilingnya (sini) dan yang ada pada saat itu (kini). Selain prinsip ini, prinsip penggelembungan makna (overextension) juga biasa diikuti anak.
KESIMPULAN
Bahasa dikuasai manusia melalui proses pemerolehan yang terjadi sejak lahir. Bahasa diperoleh secara alamiah oleh manusia karena anugrah (otak, alat ucap, dst) yang telah dimilikinya serta akibat pengaruh lingkungannya. Secara umum manusia mengalami tahap pemerolehan bahasa yang hampir sama. Di dalam tahapan pemerolehan bahasanya hal-hal yang bersifat universal ditunjukkan dalam aspek fonologi, sintaksis, dan semantik
DAFTAR PUSTAKA
Dardjowodjojo, Soenjono. 2000. Echa: Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia. Jakarta: Grasindo.
_____________________. 2005. Psikolinguistik. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Darmojuwono, Setiawati dan Kushartanti. 2005. “Aspek Kognitif Bahasa” dalam Pesona Bahasa. Jakarta: Gramedia.
Mar’at, Samsunuwiyati. 2005. Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Bandung: Refika Aditama.
Soemarsono. 2005. Filsafat Bahasa. Jakarta: Grasindo.
PSIKOLINGUISTIK DALAM PEMBELAJARAN BAHASA
Ditulis oleh Iis Lisnawati
Hj. Iis Lisnawati, Dra., M.Pd. adalah dosen pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Siliwangi Tasikmalaya. Abstrak. Keberhasilan sebuah pembelajaran bahasa
akan sangat bergantung pada komponen yang terlibat dalam pembelajaran. Komponen tersebut di antaranya adalah
siswa sebagai subjek didik dan materi pembelajaran bahasa yang dipelajari oleh siswa. Karena itulah, dalam
pembelajaran bahasa pemahaman tentang psikolinguistik dipandang penting. Melalui psikologi dipelajari mengenai
siswa dan melalui linguistik dipelajari mengenai materi bahasa. Melalui interdisiplin ini dapat dipahami proses yang
terjadi dalam diri siswa ketika memahami materi bahasa. Kata kunci: psikolingustik, linguistik, psikologi
A. Pendahuluan Pembelajaran merupakan suatu sistem. Artinya, pembelajaran merupakan satu kesatuan yang
terdiri atas berbagai komponen yang saling menunjang. Karena itu, keberhasilan pembelajaran akan ditentukan oleh
komponen-komponen yang terlibat dalam pembelajaran tersebut. Komponen-komponen tersebut adalah guru, siswa,
tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, metode dan teknik pembelajaran, evaluasi, serta sarana yang dibutuhkan.
Demikian pula dalam pembelajaran Bahasa, agar pembelajaran bahasa berhasil, komponenkomponen tadi harus
diperhatikan. Pernyataan di atas mengisyaratkan bahwa dalam pembelajaran, khususnya pembelajaran bahasa, bukan
hanya faktor guru dan materi pembelajaran bahasa yang harus diperhatikan, siswa pun sebagai subjek didik harus
diperhatikan demi keberhasilan pembelajaran. Materi bahasa bisa dipahami melalui Linguistik sebagaimana
dikemukakan oleh Yudibrata, Andoyo Sastromiharjo, dan Kholid A. Harras (1997/1998: 2) bahwa linguistik adalah ilmu
yang mengkaji bahasa, biasanya menghasilkan teori-teori bahasa; tidak demikian halnya dengan siswa sebagai
pembelajar bahasa. Siswa sebagai organisme dengan segala prilakunya termasuk proses yang terjadi dalam diri siswa
ketika belajar bahasa tidak bisa dipahami oleh linguistik, tetapi hanya bisa dipahami melalui ilmu lain yang berkaitan
dengannya, yaitu Psikologi. Atas dasar hal tersebut muncullah disiplin ilmu yang baru yang disebut Psikolinguistik atau
disebut juga dengan istilah Psikologi Bahasa. Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut.
1. Apa yang dimaksud Psikolinguistik? 2. Bagaimana peran Psikolinguistik dalam pembelajaran bahasa? Selaras
dengan permasalahan di atas tujuan bahasan ini adalah utnuk mengetahui 1. pengertian Psikolinguistik 2. peran
psikolinguistik dalam pembelajaran bahasa B. Pembahasan 1. Pengertian Psikolinguistik Gagasan pemunculan
psikolinguistik sebenarnya sudah ada sejak tahun 1952, yaitu sejak Social Science Research Council di Amerika Serikat
mengundang tiga orang linguis dan tiga orang psikolog untuk mengadakan konferensi interdisipliner. Secara formal
istilah Psikolinguistik digunakan sejak tahun 1954 oleh Charles E. Osgood dan Thomas A. sebeok dalam karyanya
berjudul sycholinguistics, A Survey of Theory and Research roblems. Sejak itu istilah tersebut sering digunakan.
Psikolinguistik merupakan interdisiplin antara Linguistik dan Psikologi. Karena itu, dalam membahas pengertian
Psikolinguistik, terlebih dahulu penulis akan berdasar pada pengertian ilmu-ilmu tersebut. Psikologi berasal dari bahasa
Inggris pscychology. Kata pscychology berasal dari bahasa Greek (Yunani), yaitu dari akar kata psyche yang berarti jiwa,
ruh, sukma dan logos yang berarti ilmu. Jadi, secara etimologi psikologi berati ilmu jiwa. Pengertian Psikologi sebagai
ilmu jiwa dipakai ketika Psikologi masih berada atau merupakan bagian dari filsafat, bahkan dalam kepustakaan kita
pada tahun 50-an ilmu jiwa lazim dipakai sebagai padanan Psikologi. Kini dengan berbagai alasan tertentu (misalnya
timbulnya konotasi bahwa Psikologi langsung menyelidiki jiwa) istilah ilmu jiwa tidak dipakai lagi. Pergeseran atau
perubahan pengertian yang tentunya berkonsekuensi pada objek Psikologi sendiri tadi tentu saja berdasar pada
perkembangan pemikiran para peminatnya. Bruno (Syah, 1995: 8) secara rinci mengemukakan pengertian Psikologi
dalam tiga bagian yang pada prinsipnya saling berhubungan. Pertama Psikologi adalah studi mengenai ruh. Kedua
Psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai kehidupan mental. Ketiga Psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai
tingkah laku organisme. Pengertian pertama merupakan definisi yang paling kuno dan klasik (bersejarah) yang
berhubungan dengan filsafat Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Mereka menganggap bahwa kesadaran
manusia berhubungan dengan ruhnya. Karena itu, studi mengenai kesadaran dan proses mental manusia pun
merupakan bagian dari studi mengenai ruh. Ketika Pikologi melepaskan diri dari filsafat sebagai induknya dan menjadi
ilmu yang mandiri pada tahun 1879, yaitu saat Wiliam Wundt (1832-1920) mendirikan laboratorium pskologinya, ruh
dikeluarkan dari studi psikologi. para ahli, di antaranya William james (1842-1910) sehingga pendapat kedua
menyatakan bahwa psikologi sebagai ilmu pengetahuan mengenai kehidupan mental. Pengertian ketiga dikemukakan
J.B. Watson (1878-1958) sebagai tokoh yang radikal yang tidak puas dengan definisi tadi lalu beliau mendefinisikan
Pikologi sebagai ilmu pengetahuan tentang tingkah laku (behavior) organisme. Selain itu, Watson sendiri menafikan
(menganggap tidak ada) eksistensi ruh dan kehidupan mental. Eksistensi ruh dan kehidupan internal manusia menurut
Watson dan kawan-kawannya tidak dapat dibuktikan karena tidak ada, kecuali dalam hayalan belaka. Dengan demikian
dapat kita katakan bahwa Psikologi behaviorisme adalah aliran ilmu jiwa yang tidak berjiwa. Untuk menengahi
pendapat tadi muncullah pengertian yang dikemukakan oleh pakar yang lain, di antaranya Crow & Crow. Menurutnya
Pikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia, yakni interaksi manusia dengan dunia sekitarnya (manusia,
hewan, iklim, kebudayaan, dsb. Pengertian Pikologi di atas sesuai dengan kenyataan yang ada selama ini, yakni
bahwa para psikolog pada umumnya menekankan penyelidikan terhadap perilaku manusia yang bersifat jasmaniah
(aspek pasikomotor) dan yang bersifat rohaniah (kognitif dan afektif). Tingkah laku psikomotor (ranah karsa) bersifat
terbuka, seperti berbicara, duduk, berjalan, dsb., sedangkan tingkah laku kognitif dan afektif (ranah cipta dan ranah rasa)
bersifat tertutup, seperti berpikir, berkeyakinan, berperasaan, dsb. Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa Pikologi ialah ilmu pengetahuan mengenai prilaku manusia baik yang tampak maupun yang tidak
tampak. Linguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa secara ilmiah (Kridalaksana, 1982: 99). Sejalan dengan
pendapat di atas Martinet mengemukakan (1987: 19) mengemukakan bahwa linguistik adalah telaah ilmiah mengenai
bahasa manusia. Secara lebih rinci dalam Webster’s New Collegiate Dictionary (Nikelas, 1988: 10) dinyatakan
EDUCARE: Jurnal Pendidikan dan Budaya
http://educare.e-fkipunla.net Generated: 7 January, 2010, 06:51
linguistics is the study of human speech including the units, nature, structure, and modification of language
‘linguistik adalah studi tentang ujaran manusia termasuk unit-unitnya, hakikat bahasa, struktur, dan perubahanperubahan
bahasa’. Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary (Nikelas, 1988: 10) dinyatakan
linguistics is the science of language, e.g. its structure, acquisition, relationship to other forms of communication
‘linguistik adalah ilmu tentang bahasa yang menelaah, misalnya tentang struktur bahasa, pemerolehan bahasa
dan tentang hubungannya dengan bentuk-bentuk lain dari komunikasi’. Dari pendapat-pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa Linguistik ialah ilmu tentang bahasa dengan karakteristiknya. Bahasa sendiri dipakai oleh manusia,
baik dalam berbicara maupun menulis dan dipahami oleh manusia baik dalam menyimak ataupun membaca.
Berdasarkan pengertian psikologi dan Linguistik pada uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa Psikolinguistik
adalah ilmu yang mempelajari perilaku berbahasa, baik prilaku yang tampak maupun perilaku yang tidak tampak. Untuk
lebih jelasnya, mengenai pengertian Psikolinguistik berikut ini dikemukakan beberapa definisi Psikolinguistik. Aitchison
(Dardjowidojo, 2003: 7) berpendapat bahwa psikolinguistik adalah studi tentang bahasa dan minda. Sejalan dengan
pendapat di atas. Field (2003: 2) mengemukakan psycholinguistics explores the relationship between the human mind
and language ‘psikolinguistik membahas hubungan antara otak manusia dengan bahasa’. Minda atau
otak beroperasi ketika terjadi pemakaian bahasa. Karena itu, Harley (Dardjowidjojo: 2003: 7) berpendapat bahwa
psikolinguistik adalah studi tentang proses mental-mental dalam pemakaian bahasa. Sebelum menggunakan bahasa,
seorang pemakai bahasa terlebih dahulu memperoleh bahasa. Dalam kaitan ini Levelt (Marat, 1983: 1) mengemukakan
bahwa Psikolinguistik adalah suatu studi mengenai penggunaan dan perolehan bahasa oleh manusia. Kridalaksana
(1982: 140) pun berpendapat sama dengan menyatakan bahwa psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari hubungan
antara bahasa dengan perilaku dan akal budi manusia serta kemampuan berbahasa dapat diperoleh. Dalam proses
berbahasa terjadi proses memahami dan menghasilkan ujaran, berupa kalimat-kalimat. Karena itu, Emmon Bach
(Tarigan, 1985: 3) mengemukakan bahwa Psikolinguistik adalah suatu ilmu yang meneliti bagaimana sebenarnya para
pembicara/pemakai bahasa membentuk/membangun kalimat-kalimat bahasa tersebut. Sejalan dengan pendapat di atas
Slobin (Chaer, 2003: 5) mengemukakan bahwa psikolinguistik mencoba menguraikan proses-proses psikologi yang
berlangsung jika seseorang mengucapkan kalimat-kalimat yang didengarnya pada waktu berkomunikasi dan bagaimana
kemampuan bahasa diperoleh manusia. Secara lebih rinci Chaer (2003: 6) berpendapat bahwa psikolinguistik mencoba
menerangkan hakikat struktur bahasa, dan bagaimana struktur itu diperoleh, digunakan pada waktu bertutur, dan pada
waktu memahami kalimat-kalimat dalam pertuturan itu. Pada hakikatnya dalam kegiatan berkomunikasi terjadi proses
memproduksi dan memahami ujaran. Dalam kaitan ini Garnham (Musfiroh, 2002: 1) mengemukakan Psycholinguistics is
the study of a mental mechanisms that nake it possible for people to use language. It is a scientific discipline whose goal
is a coherent theory of the way in which language is produce and understood ‘Psikolinguistik adalah studi tentang
mekanisme mental yang terjadi pada orang yang menggunakan bahasa, baik pada saat memproduksi atau memahami
ujaran’. Dalam penggunaan bahasa terjadi proses mengubah pikiran menjadi kode dan mengubah kode menjadi
pikiran. Dalam hubungan ini Osgood dan Sebeok (Pateda: 1990) menyatakan pscholinguistics deals directly with the
processes of encoding and decoding as they relate states of communicators ‘psikolinguistik secara langsung
berhubungan dengan proses-proses mengkode dan mengerti kode seperti pesan yang disampaikan oleh orang yang
berkomunikasi’. Ujaran merupakan sintesis dari proses pengubahan konsep menjadi kode, sedangkan
pemahaman pesan merupakan rekognisi sebagai hasil analisis. Karena itu, Lyons berpendapat bahwa tentang
psikolinguistik dengan menyatakan bahwa psikolinguistik adalah telaah mengenai produksi (sintesis) dan rekognisi
(analisis). Bahasa sebagai wujud atau hasil proses dan sebagai sesuatu yang diproses bisa berupa bahasa lisan atau
bahasa tulis, sebagaimana dikemukakan oleh Kempen (Marat, 1983: 5) bahwa Psikolinguistik adalah studi mengenai
manusia sebagai pemakai bahasa, yaitu studi mengenai sistem-sistem bahasa yang ada pada manusia yang dapat
menjelaskan cara manusia dapat menangkap ide-ide orang lain dan bagaimana ia dapat mengekspresikan ide-idenya
sendiri melalui bahasa, baik secara tertulis ataupun secara lisan. Apabila dikaitkan dengan keterampilan berbahasa yang
harus dikuasai oleh siswa, hal ini berkaitan dengan keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan
menulis. Pendapat di atas pun secara tersurat menyatakan bahwa Psikolinguistik pun mempelajari pemerolehan
bahasa oleh manusia sehingga manusia mampu berbahasa. Lebih jauhnya bisa berkomunikasi dengan manusia lain,
termasuk tahapan-tahapan yang dilalui oleh seorang anak manakala anak belajar berbahasa sebagaimana dikemukakan
oleh Palmatier (Tarigan, 1985: 3) bahwa Psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari perkembangan bahasa anak.
Semua bahasa yang diperoleh pada hakikatnya dibutuhkan untuk berkomunikasi. Karena itu, Slama (Pateda, 1990: 13)
mengemukakan bahwa psycholinguistics is the study of relations between our needs for expression and communications
and the means offered to us by a language learned in one’s childhood and later ‘psikolinguistik adalah
telaah tentang hubungan antara kebutuhan-kebutuhan kita untuk berekspresi dan berkomunikasi dan benda-benda yang
ditawarkan kepada kita melalui bahasa yang kita pelajari sejak kecil dan tahap-tahap selanjutnya. Berdasarkan
pendapat para pakar di atas dapat disimpulkan bahwa Psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari perilaku berbahasa,
baik prilaku yang tampak maupun perilaku yang tidak tampak. berupa persepsi, pemproduksian bahasa, dan
pemerolehan bahasa. Perilaku yang tampak dalam berbahasa adalah perilaku manusia ketika berbicara dan menulis
atau ketika dia memproduksi bahasa, sedangkan prilaku yang tidak tampak adalah perilaku manusia ketika memahami
yang disimak atau dibaca sehingga menjadi sesuatu yang dimilikinya atau memproses sesuatu yang akan diucapkan
atau ditulisnya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan ruang lingkup Psikolinguistik yaitu penerolehan bahasa,
pemakaian bahasa, pemproduksian bahasa, pemprosesan bahasa, proses pengkodean, hubungan antara bahasa dan
prilaku manusia, hubungan antara bahasa dengan otak. Berkaitan dengan hal ini Yudibrata, Andoyo Sastromiharjo,
Kholid A. Harras(1997/1998: 9) menyatakan bahwa Psikolinguistik meliputi pemerolehan atau akuaisisi bahasa,
hubungan bahasa dengan otak, pengaruh pemerolehan bahasa dan penguasaan bahasa terhadap kecerdasan cara
berpikir, hubungan encoding (proses mengkode) dengan decoding (penafsiran/pemaknaan kode), hubungan antara
EDUCARE: Jurnal Pendidikan dan Budaya
http://educare.e-fkipunla.net Generated: 7 January, 2010, 06:51
pengetahuan bahasa dengan pemakaian bahasa dan perubahan bahasa). Field (2003: 2) mengemukakan ruang
lingkup Psikolinguistik sebagai berikut: language processing, language storage and access, comprehension theory,
language and the brain, bahasa dalam keadaan istimewa, language in exceptional circumstances, frst language
acquisiton ‘pemrosesan bahasa, penyimpanan dan pemasukan bahasa, teori pemahaman bahasa, bahasa dan
otak, pemerolehan bahasa Secara lebih rinci Musfiroh pun berpendapat (2002: 8) bahwa Psikolingusitik meliputi a.
Hubungan antara bahasa dan otak, logika, dan pikiran b. Proses bahasa dalam komunikasi: produksi, persepsi dan
komprehensi c. Permasalahan makna d. Persepsi ujaran dan kognisi e. Pola tingkah laku berbahasa f. Pemerolehan
bahasa pertama dan kedua g. Proses berbahasa pada individu abnormal (Musfiroh, 2002: 8) Karena psikologi
merupakan bagian dari psikolinguistik, untuk mempermudah pemahman selanjutnya perlu dibicarakan ranah psikologi.
2. Ranah Psikologi Menurut Utami Munandar (Syah, 2004: VI) hakikat pendidikan adalah menyediakan lingkungan yang
memungkinkan setiap peserta didik mengembangkan bakat, minat, dan kemampuannya secara optimal dan utuh
(mencakup matra kognitif, afektif, dan psikomotor. Dengan demikian, pembelajaran bahasa pun ditujukan untuk
mencapai ranah kognirif, afektif, dan psikomotor secara utuh. Istilah cognitive berasal dari cognition yang padanannya
knowing berarti mengetahui. Dalam arti yang luas cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan, dan penggunaan
pengetahuan.. (Neisser dalam Syah, 1995: 65; 2004: 22). Dalam perkembangan selanjutnya istilah kognitiflah yang
menjadi populer sebagai salah satu domain, ranah/wilayah/bidang psikologis manusia yang meliputi perilaku mental
manusia yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pemecahan masalah, pengolahan informasi,
kesengajaan, dan keyakinan. Menurut Chaplin (Syah, 1995: 65; 2004: 22) ranah ini berpusat di otak yang juga
berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan ranah rasa. Ranah kognitif yang
berpusat di otak merupakan ranah yang yang terpenting Ranah ini merupakan sumner sekaligus pengendali ranahranah
kejiwaan lainnya, yaitu ranah efektif (rasa) dan ranah psikomotor (karsa). Dalam kaitan ini Syah (2004: 22)
mengemukakan bahwa tanpa ranah kognitif sulit dibayangkan seorang siswa dapat berpikir. Tanpa kemampuan berpikir
mustahil siswa tersebut dapat memahami dan meyakini faedah materi-materi pelajaran yang disajikan kepadanya.
Afektif adalah ranah Psikologi yang meliputi seluruh fenomena perasaan seperti cinta, sedih, senang, benci, serta sikapsikap
tertentu terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Psikomotor adalah ranah Psikologi yang segala amal jasmaniah
yang konkret dan mudah diamati baik kuantitas maupun kualitasnya karena sifatnya terbuka (Syah, 1995: 85; 2004: 52).
3. Peran Psikolinguistik dalam Pembelajaran Bahasa Siswa adalah subjek dalam pembelajaran. Karena itu, dalam hal
ini siswa dianggap sebagai organisme yang beraktivitas untuk mencapai ranah-ranah psikologi, baik kognitif, afektif,
maupun psikomotor. Kemampuan menggunakan bahasa baik secara reseptif (menyimak dan membaca) ataupun
produktif (berbicara dan menulis) melibatkan ketiga ranah tadi. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Garnham
(Nababan, 1992: 60-61) terhadap aktivitas berbicara ditemukan berbagai berbicara yang menyimpang (kurang benar)
dengan pengklaifikasian kesalahan sebagai berikut.
Berbicara yang Menyimpang Tipe Ucapan yang Seharusnya Kesalahan antisipasi
penerusan pengurangan/ haplology penambahan pertukaran penggantian percampuran “the new
Mel Brooks film …” “practical classes …” “never lets …”
“better of than …” “on a table around you …” “engineering job
…” “hilarityhipterics …” “the new Bel ...” “practical
kr…” “nets …” “better off-wise than …” “round a table on
you …” “engineering degree …” “hilarics …” Nababan (1992:
60-61) Menurut Garnham penyebab kesalahan yang dilakukan oleh pembicara di antaranya adalah kesaratan beban
(overloading), yaitu perasaan waswas (menghadapi ujian atau pertemuan dengan orang yang ditakuti) atau karena
penutur kurang menguasai materi, terpengaruh oleh perasaan afektif, kesukaran melafal kata-kata, dan kurang
menguasai topik. Dari penyebab kesalahan-kesalahan tadi, dapat kita klasifikasikan berdasarkan ranah Psikologi.
Penyebab kesalahan berupa perasaan waswas berkaitan dengan ranah afektif. Penyebab kesalahan berupa kurang
menguasai materi atau topik berkaitan dengan ranah kognitif, dan penyebab kesalahan berupa kesukaran melafalkan
kata berkaitan dengan ranah psikomotor. Contoh-contoh kesalahan dan penyebab kesalahan yang telah dijelaskan tadi
menunjukkan bahwa peran psikolinguistik dalam pembelajaran bahasa sangat penting. Tujuan umum pembelajaran
bahasa, yaitu siswa mampu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, baik dalam berbahasa lisan ataupun
berbahasa tulis. Agar siswa dapat berbahasa Indonesia yang baik dan benar diperlukan pengetahuan akan kaidahkaidah
bahasa. Kaidah-kaidah bahasa dipelajari dalam linguistik. Untuk dapat menggunakan bahasa secara lancar dan
komunikastif siswa tidak hanya cukup memahami kaidah bahasa, tetapi diperlukan kesiapan kognitif (penguasaan
kaidah bahasa dan materi yang akan disampaikan), afektif (tenang, yakin, percaya diri, mampu mengeliminasi rasa
cemas, ragu-ragu, waswas, dan sebagainya), serta psikomotor (lafal yang fasih, keterampilan memilih kata, frasa,
klausa, dan kalimat). Dengan demikian, jelaslah bahwa betapa penting peranan Psikolinguistik dalam pembelajaran
bahasa. C. Kesimpulan Psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari perilaku berbahasa, baik prilaku yang tampak
maupun perilaku yang tidak tampak: resepsi, persepsi, pemerolehan bahasa, dan pemproduksian bahasa serta proses
yang terjadi di dalamnya. Contoh perilaku yang tampak dalam berbahasa adalah perilaku manusia ketika berbicara dan
menulis atau ketika dia memproduksi bahasa, sedangkan contoh prilaku yang tidak tampak adalah perilaku manusia
ketika memahami yang disimak atau dibaca sehingga menjadi sesuatu yang dimilikinya atau memproses sesuatu yang
akan diucapkan atau ditulisnya atau ketika di amemahami bahasa. Peran Psikolinguistik dalam pembelajaran bahasa
sangat penting karena dengan memamahami psikolinguistik seorang guru memahami proses yang terjadi dalam diri
siswa ketika siswa menyimak, berbicara, membaca, ataupun menulis sehingga manakala kemampuan dalam
keterampilan berbahasa bermasalah, garu dapat melihat dari sudut pandang psikologi sebagai alternative solusinya.
Daftar Pustaka Chaer, Abdul. (2003). Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: PT Rineka Cipta. Dardjowidjojo,
Soenjono. (2003). Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Field,
EDUCARE: Jurnal Pendidikan dan Budaya
http://educare.e-fkipunla.net Generated: 7 January, 2010, 06:51
PTS Psikolinguistik: Memahami Asas Pemerolehan Bahasa
Harga seunit (piece): RM 33.00
RM 31.35
You Save: 5.00%
Tanya tentang buku ini
RM 31.35
You Save: 5.00%
Tanya tentang buku ini
Pengarang : Soenjono
Penerbit : PTS Professional
ISBN : 9789833586301
Mukasurat : 350 Halaman
Buku ini perlu dimiliki oleh mereka yang berkecimpung dalam bidang linguistik. Empat perkara utama yang dibincang dalam buku ini adalah bagaimana manusia mempersepsi dan memahami ujaran, bagaimana manusia menghasilkan ujaran, apa kaitan neuro-biologi dengan bahasa dan bagaimana manusia memperoleh bahasa.
Pada tahun 1992, saat Program Studi Linguistik Terapan Bahasa Inggeris (LTBI) di Program Pascasarjana Unika Atma Jaya dibuka, saya dihantar ke bahagian bagi mengajar beberapa mata kuliah, salah satu di antaranya adalah Psycholinguistics. Meskipun mata kuliah ini pernah saya ambil dari Profesor Renzo Titoni di Universiti Georgetown, sewaktu saya masih belajar untuk gelaran doktor saya tahun 1965, dan saya ikuti kembali sebagai pendengar di kelas yang diajar oleh rakan saya, Profesor Danny Steinberg di Universiti Hawaii tahun 1980, mata kuliah ini merupakan mata kuliah yang belum pernah saya ajarkan sebelum tahun 1992. Saya, boleh dikatakan, mulai dari kosong.
Buku pertama yang saya gunakan di LTBI adalah buku Eve Clark dan Herbert Clark, Psychology and Language. Buku ini sangat bagus – tidak hanya cara pengajiannya yang rapi dan runtun tetapi bahasa yang digunakan juga cukup mudah difahami. Akan tetapi, kerana buku ini ditulis tahun 1977 maka ada banyak perkembangan baru dalam ilmu ini yang tentunya tidak tersajikan. Saya mencuba buku-buku seperti buku Donald Foss dan David Hakes, Psycholinguistics (1978), Insup Taylor, Psycholinguistics (1990/1994), Michael Garman, Psycholinguistics (1991/1994), dan Trevor Harley, The Psychology of Language (1995), dan yang terakhir buku suntingan Jean Berko Gleason dan Nan Berstein Ratner, Psycholinguistics (1993/1998). Buku-buku ini masing-masing mempunyai keunggulan, tetapi ada pula kekurangannya di sana sini. Di samping itu, buku-buku yang menyajikan ilmu gabungan antara psikologi dan linguistik ini tidak mudah dibaca dan dicerna; sebahagian juga ada yang terlalu teoretis dan sebahagian yang lain terlalu lengkap.
Kemudian saya juga mendapat tugas mengajar mata kuliah yang sama di jenjang strata satu. Saya juga menghadapi masalah, meskipun sifatnya berlainan. Pada jenjang ini, saya kesukaran mendapatkan buku teks yang cocok untuk tingkat ini.
Buku-buku yang tipis (dan tidak terlalu menakutkan!) seperti buku Danny Steinberg edisi lama, An Introduction to Psycholinguistics (1993), terlalu menekankan segi falsafah; sementara itu, buku Jean Aitchison, The Articulate Mammal (1998), yang juga tipis, tidak mudah dicerna tanpa pengetahuan yang agak mendalam tentang pandangan-pandangan Noam Chomsky.
Dalam kekecewaan menemukan buku yang sesuailah saya memutuskan untuk cuba menulis sendiri buku di bidang ilmu ini. Tiga bab pertama, saya rintis pada tahun 2001 tetapi kemudian terbengkalai berbulan-bulan kerana kesibukan. Pada tahun 2002, dari bulan Ogos sampai hingga bulan Oktober, saya berkesempatan mendapatkan lagi tawaran untuk bermukim di Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology, Leipzig, Jerman. Waktu yang dua bulan itu saya pergunakan semaksimum mungkin sehingga pada akhir pertengahan Oktober draf pertama buku ini selesai. Draf ini kemudian saya gilap di sana sini di Jakarta bagi menjadi wujud seperti sekarang.
Pertanyaan yang tentunya harus muncul adalah ‘Apakah buku ini berbeza daripada buku-buku teks yang lain?’ Dari segi isinya, buku teks yang baik di mana pun juga tidak akan jauh berbeza dari buku teks yang baik yang lain kerana topik-topik bahasan untuk suatu buku teks pada umumnya sudahlah baku. Yang membuat satu buku teks berbeza, dan mungkin lebih baik (atau lebih jelek!) daripada yang lain, terletak pada kemutakhiran bahan, cara bahan-bahan itu diracik, dan cara bahan-bahan itu disajikan. Untuk negara seperti Indonesia, di mana bahasa Inggeris adalah bahasa asing, ada tambahan unsur lain, yakni, bahasa yang digunakan untuk buku teks tersebut.
Di dunia pendidikan Indonesia, jumlah buku yang ditulis dalam bahasa Indonesia mengenai ilmu psikolinguistik masih bisa dihitung dengan jari sebelah tangan, padahal kemampuan sebahagian (besar?!) kaum intelektual kita belum cukup matang bagi mencerna tulisan ilmiah yang ditulis dalam bahasa asing, khususnya dalam bahasa Inggeris. Dengan keadaan merana ini, buku ini diharapkan dapat memberikan satu pilihan tambahan. Alasan kedua, penulisan buku ini adalah bahwa saya mencuba menangani ehwal yang pusat dalam ilmu psikolinguistik, yakni, bagaimana manusia memproses secara mental pemerolehan dan penggunaan bahasa dan mengapa hanya manusialah yang dapat berbahasa. Ketiga, berbeza dengan buku-buku yang ditulis oleh orang asing dan dalam bahasa asing, buku ini memanfaatkan alam dan masyarakat Indonesia sebagai nara sumber sehingga contoh-contoh menjelaskan suatu teori dapat dipetik dari alam dan masyarakat kita sendiri. Kita pelajari teori relativitas linguistik dari Sapir dan Whorf, tetapi untuk contohnya kita tidak harus hanya menggunakan contoh jenis-jenis salju dari titik pandang orang Eskimo. Kita cari rujukan dalam masyarakat kita dan kita temukanlah konsep mengenai pari, beras, gabah, menir, dedak, las dsb., yang lebih mengena. Keempat, darjat keabstrakan dalam pembahasan teori dalam buku ini diturunkan dengan cara memberikan contoh ulasan. Dengan cara seperti ini, konsep atau teori yang tampaknya rumit dapat dengan lebih mudah dicerna dan difahami. Kelima, permukiman saya di Max Planck memberikan kesempatan kepada saya bagi mencari rujukan-rujukan yang relevan dan mutakhir sehingga buku ini tidak menjadi kedaluwarsa segera setelah diterbitkan.
Ada empat topik utama yang disajikan dalam bab-bab dalam buku ini: (1) bagaimana manusia mempersepsi dan memahami ujaran, (2) bagaimana manusia memproduksi ujaran, (3) apa kaitan antara neurobiologi dengan bahasa, dan (4) bagaimana manusia memperoleh bahasa. Bab 1 adalah pengantar bagi menyajikan pengertian-pengertian yang mendasar yang berguna bagi memahami bab-bab berikutnya. Bab2 berisi bahasan mengenai proses mental pada saat manusia mempersepsi ujaran. Bab 3 merupakan langkah lanjutan, yakni, setelah ujaran itu dipersepi, bagaimana selanjutnya manusia dapat memahami ujaran tersebut. Bab 4 berkaitan dengan tindakan yang dilakukan oleh manusia setelah dia memahami ujaran yang dia dengar. Dengan singkat, Bab 2-4 merupakan bab-bab yang berkaitan dengan komprehensif. Bab 5 membahas proses mental yang terjadi pada manusia pada saat dia akan memproduksi ujaran. Rincian produksi kalimat berserta konstituen-konstituennya disajikan pada Bab 6. Kerana baik dalam komprehensif mahupun produksi manusia memerlukan penggunaan kata maka Bab 7 dikhususkan bagi membahas bagaimana kata disimpan dalam leksikon mental kita sehingga dapat dengan mudah dipanggil kembali, bila diperlukan. Bab 8 dan Bab 9 membahas landasan biologis dan neruologis yang membuat manusia berbeza daripada primat lain. Dari kedua bab ini tampak bahawa manusia memang “daripada sononya” dilahirkan berbeza daripada primat seperti kera dan cimpanzi. Bab 10 menyajikan perbahasan tentang proses yang dilalui seorang anak sejak lahir sampai dia akhirnya dapat memperoleh bahasa ibunya. Proses ini dikaitkan dengan prinsip-prinsip universal yang ada pada bahasa. Bab 11 membahas ehwal yang berkaitan dengan memori kerana tanpa memori manusia tidak mungkin dapat berbahasa. Bab ini juga menyajikan kaitan antara bahasa dan fikiran sesuatu yang sudah berabad-abad menjadi topik kontroversial. Buku ini diakhiri dengan Bab 12 yang membahas kaitan antara psikolinguistik dengan proses membaca.
Semula buku ini saya tulis dengan mahasiswa tingkat sarjana sebagai targetnya, tetapi kemudian terasa bahwa ada banyak hal penting yang tidak mungkin disingkirkan. Kerana itu, isinya diperdalami sedikit sehingga sesuai pula untuk mahasiswa tingkat sarjana. Untuk mahasiswa tingkat doktor, diperlukan tambahan yang lebih mendalam untuk tiap topik yang disajikan. Mengingat langkanya buku dan atitkel rujukan di negara kita, pengguna buku ini dapat menghubungi saya bagi meminta referensi yang lebih mendalam, apabila diperlukan.
Istilah asing yang belum ada padanan Indonesianya tidak dicari-carikan padanan kerana bentuk padanannya bisa lebih panjang atau malah hanya akan mempersulit pembaca saja. Alih-alih, istilah-istilah itu saya adopsi untuk “berbunyi” seperti kata-kata Indonesia. Dengan demikian, ada kata-kata “baru” seperti minda (untuk minda, yang sebenarnya sudah digunakan di Malaysia), meretrif (to retrieve), merekol (to recall), sonoran (sonorant), onset (onset), koda (coda), koronal (coronal), distingtif (distinctive), dan beberapa yang lain lagi.
Buku ini tidak mungkin akan terwujud tanpa bantuan banyak pihak. Yayasan Atma Jaya sebagai pengelola pendidikan tinggi yang berpandangan progresif mempunyai andil yang sangat besar dengan memberikan saya cuti dua bulan untuk pergi ke Leipzig. Tanpa izin mereka hampir mustahillah buku ini dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Untuk itu, saya sampaikan rasa terima kasih saya yang sebesar-besarnya. Saya juga berterima kasih kepada Unika Atma Jaya.
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Profesor Bernard Comrie, Ketua bidang Linguistik, Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology, Leipzig, bukan hanya kerana beliau memberi kesempatan kepada saya yang kedua kalinya tetapi juga kerana kemurahan hati beliau untuk bersedia menulis prakata untuk buku ini. Bagi ilmuwan sekecil saya, prakata dari seseorang dengan kaliber dunia seperti beliau adalah suatu anugerah yang mungkin hanya akan ada satu kali saja. Untuk itu, saya mengucapkan banyak terima kasih.
Ucapan terima kasih terakhir, tetapi bukan yang tidak penting, adalah untuk isteri saya, Bawuk Pratiwi, yang tidak hanya membuat kota kecil Leipzig hidup dan ceria tetapi juga kerana dialah yang membaca dan mengoreksi kata demi kata naskhah buku ini. Tanpa ketelitian dia, buku yang saya ketik dengan dua jari ini pasti mengandungi banyak kekeliruan.
Buku ini saya dedikasikan kepada cucu saya yang kedua, Karin Dhia (panggilannya Dhira), umur 5 tahun, yang menambah semangat pada saya untuk lebih menggelut bidang psikolinguistik. Semoga suatu saat dia dapat membaca buku ini.
Tanpa diduga buku yang terbit pertama kali tahun 2003 cepat habis di pasaran. Kerana itu, tahun 2005 ini kami terbitkan edisi kedua. Isi edisi kedua ini tidak banyak berbeza daripada edisi sebelumnya. Kesalahan-kesalahan tipografi diperbaiki dan indeks subjeknya juga ditambah supaya menjadi lebih lengkap.
Semoga edisi kedua ini dapat lebih dimanfaatkan.
Jakarta, Agustus 2005
Soenjono Dardjowidjojo
soenjono@lpa.atmajaya.ac.id
Foreword
Kata Pengantar
1 Pengertian Dasar
2 Bagaimana Manusia Mempersepsi Ujaran
3 Bagaimana Manusia Memahami Ujaran
4 Pelaksanaan Pertuturan
5 Penghasilan Ujaran
6 Penghasilan Ayat
7 Penyimpanan dan Pengimbauan Perkataan
8 Dasar Biologis Bahasa
9 Dasar Neurologi Bahasa
10 Pemerolehan Bahasa
11 Memori, Fikiran dan Bahasa
12 Membaca dan Psikolinguistik
Dasar Pengalihan Bahasa
Bibliografi
Indeks Nama
Indeks Subjek
Biografi Penulis
Jumat, 29 Mei 2009
TEORI BELAJAR BAHASA

Oleh: Eri Sarimanah
Pendahuluan
Dapat berpikir dan berbahasa merupakan ciri utama yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Karena memiliki keduanya, maka sering disebut manusia sebagai makhluk yang mulia dan makhluk sosial. Dengan pikirannya manusia menjelajah ke setiap fenomena yang nampak bahkan yang tidak nampak. Dengan bahasanya, manusia berkomunikasi untuk bersosialisasi dan menyampaikan hasil pemikirannya.
Salah satu objek pemikiran manusia adalah bagaimana manusia dapat berbahasa. Pendapat para ahli tentang belajar bahasa tersebut bermacam-macam. Di antara pendapat mereka ada yang bertentangan namun ada juga yang saling mendukung dan melengkapi. Pemikiran para ahli tentang teori belajar bahasa ini begitu variatif dan menarik. Oleh karena itu, kami jadikan salah satu alasan pembahasan dalam makalah ini.
Sehubungan dengan begitu banyaknya teori tentang belajar bahasa, maka yang akan kami kemukakan dalam makalah ini, kami batasi pada teori Behaviorisme, Nativisme, Kognitivisme, Fungsional, Konstruktivisme, Humanistik, dan Sibernetik. Hal ini dimaksudkan agar pembahasan kami menjadi lebih terfokus.Teori- teori ini ternyata berpengaruh sangat kuat dalam dunia ilmu bahasa. Sebelum kita berbicara lebih jauh tentang teori belajar bahasa, kita pahami dulu pengertian teori. Menurut Mc lauglin dalam (Hadley: 43, 1993) Fungsi teori adalah untuk membantu kita mengerti dan mengorganisasi data tentang pengalaman dan memberikan makna yang merujuk dan sesuai. Ellis menyatakan bahwa setiap guru pasti sudah memiliki teori tentang pembelajaran bahasa, tetapi sebagian besar guru tersebut tidak pernah mengungkapkan seperti apa teori itu. Teori mempunyai fungsi yaitu:
1) Mendeskripsikan, menerangkan, menjelaskan tentang fakta. Contohnya fakta bahwa mengapa air laut itu asin.
2) Meramalkan kejadian-kejadian yang akan terjadi berdasarkan teori yang sudah ada.
3) Mengendalikan yaitu mencegah sesuatu supaya tidak terjadi dan mengusahakan supaya terjadi
Teori berhubungan dengan belajar. Belajar adalah acquiring or getting knowledge of a subject or a skill by study, experience, or instruction ( pemerolehan ilmu melalui belajar, pengalaman, pelatihan) atau learning is relatively permanent change in a behavioral tendency and is the result of reinforced practice (Kimble and Garmezy 1963: 133). Dengan kata lain teori belajar bahasa adalah gagasan-gagasan tentang pemerolehan bahasa.
Semua kegiatan belajar melibatkan ingatan. Jika kita tidak dapat mengingat apa pun pengalaman kita maka kita tidak dapat belajar. Seringkali kita lupa, padahal sesuatu yang kita lupakan belum tentu hilang dari ingatan. Refleksi dari pengalaman belajar di sekolah menunjukkan bahwa sesuatu yang pernah dipelajari sungguh-sungguh bisa menjadi lupa. Ingatan dapat digali kembali dengan cara merangsang otak. Pengetahuan yang terlupakan dapat diingat kembali dengan cara belajar kembali.
Menurut Oemar Hamalik (2001: 154), prinsip belajar meliputi:
1. Dilakukan dengan sengaja.
2. Harus direncanakan sebelumnya dengan struktur tertentu.
3. Guru menciptakan pembelajaran buat siswa.
4. Memberikan hasil tertentu buat siswa.
5. Hasil-hasil yang dicapai dapat dikontrol dengan cermat.
6. Sistem penilaian dilaksanakan secara berkesinambungan.
Sedangkan ciri-ciri perubahan perilaku dalam belajar: terjadi secara sadar, bersifat kontinu, fungsional, bersifat positif, aktif, tidak bersifat sementara, bertujuan atau terarah, mencakup seluruh aspek perilaku individu. Menurut Suryabrata dalam Sumardi (1998: 232) proses belajar diharapkan membawa perubahan (dalam arti behavioral Changes, aktual maupun potensial), menghasilkan kecakapan baru, adanya usaha mencapai hasil yang lebih baik (dengan sengaja).
Sehubungan dengan prisip belajar tersebut kiranya teori belajar ini dapat bermanfaat dalam pengembangan pembelajaran bahasa. Dalam makalah ini dijabarkan teori-teori belajar secara jelas menurut aliran tokoh tersebut. Harapan kami, semoga makalah ini menambah wawasan kita tentang pemerolehan bahasa. Dan yang terpenting, semoga kita lebih mencintai Sang Pencipta yang Mahaluas pemikiran-Nya hingga kita menjadi makhluk yang paling sempurna dan istimewa.
Pembahasan
1. Teori Behaviorisme
Tokoh aliran ini adalah John B. Watson (1878 – 1958) yang di Amerika dikenal sebagai bapak Behaviorisme. Teorinya memumpunkan perhatiannya pada aspek yang dirasakan secara langsung pada perilaku berbahasa serta hubungan antara stimulus dan respons pada dunia sekelilingnya. Menurut teori ini, semua perilaku, termasuk tindak balas (respons) ditimbulkan oleh adanya rangsangan (stimulus). Jika rangsangan telah diamati dan diketahui maka gerak balas pun dapat diprediksikan. Watson juga dengan tegas menolak pengaruh naluri (instinct) dan kesadaran terhadap perilaku. Jadi setiap perilaku dapat dipelajari menurut hubungan stimulus - respons.
Untuk membuktikan kebenaran teorinya, Watson mengadakan eksperimen terhadap Albert, seorang bayi berumur sebelas bulan. Pada mulanya Albert adalah bayi yang gembira dan tidak takut bahkan senang bermain-main dengan tikus putih berbulu halus. Dalam eksperimennya, Watson memulai proses pembiasaannya dengan cara memukul sebatang besi dengan sebuah palu setiap kali Albert mendekati dan ingin memegang tikus putih itu. Akibatnya, tidak lama kemudian Albert menjadi takut terhadap tikus putih juga kelinci putih. Bahkan terhadap semua benda berbulu putih, termasuk jaket dan topeng Sinterklas yang berjanggut putih. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pelaziman dapat mengubah perilaku seseorang secara nyata.
Seorang behavioris menganggap bahwa perilaku berbahasa yang efektif merupakan hasil respons tertentu yang dikuatkan. Respons itu akan menjadi kebiasaan atau terkondisikan, baik respons yang berupa pemahaman atau respons yang berwujud ujaran. Seseorang belajar memahami ujaran dengan mereaksi stimulus secara memadai dan memperoleh penguatan untuk reaksi itu.
Salah satu percobaan yang terkenal untuk membentuk model perilaku berbahasa dari sudut behavioris adalah yang dikemukakan oleh Skinner (1957) dalam Verbal Behavior. Percobaan Skiner dikenal dengan percobaannya tentang perilaku binatang yang terkenal dengan kotak skinner. Teori skinner tentang perilaku verbal merupakan perluasan teorinya tentang belajar yang disebutnya operant conditioning. Konsep ini mengacu pada kondisi ketika manusia atau binatang mengirimkan respons atau operant (ujaran atau sebuah kalimat) tanpa adanya stimulus yang tampak. Operant itu dipertahankan dengan penguatan. Misalnya, jika seorang anak kecil mengatakan minta susu dan orang tuanya memberinya susu, maka operant itu dikuatkan. Dengan perulangan yang terus menerus operant semacam itu akan terkondisikan.
Menurut Skinner, perilaku verbal adalah perilaku yang dikendalikan oleh akibatnya. Bila akibatnya itu hadiah, perilaku itu akan terus dipertahankan. Kekuatan serta frekuensinya akan terus dikembangkan. Bila akibatnya hukuman, atau bila kurang adanya penguatan, perilaku itu akan diperlemah atau pelan-pelan akan disingkirkan.
Sebagai contoh dapat kita saksikan perilaku anak-anak di sekeliling kita. Ada anak kecil menangis meminta es pada ibunya. Tetapi, karena ibunya yakin dan percaya bahwa es itu menggunakan pemanis buatan maka sang ibu tidak meluluskan permintaan anaknya. Sang anak terus menangis. Tetapi sang ibu bersikukuh tidak menuruti permintaannya. Lama kelamaan tangis anak tersebut akan reda dan lain kali lain tidak akan minta es semacam itu lagi kepada ibunya, apalagi dengan menangis. Seandainya anak itu kemudian dituruti keinginannya oleh ibunya, apa yang terjadi? Pada kesempatan yang lain sang anak akan minta es lagi. Apabila ibunya tidak meluluskannya maka ia akan menangis dan terus menangis sebab dengan menangis ia akan mendapatkan es. Kalau ibunya memberi es lagi maka perbuatan menangis itu dikuatkan. Pada kesempatan lain dia akan menangis manakala ia meminta sesuatu pada ibunya.
Implikasi teori ini ialah bahwa guru harus berhati-hati dalam menentukan jenis hadiah dan hukuman. Guru harus mengetahui benar kesenangan siswanya. Hukuman harus benar-benar sesuatu yang tidak disukai anak, dan sebaliknya hadiah merupakan hal yang sangat disukai anak. Jangan sampai anak diberi hadiah menganggapnya sebagai hukuman atau sebaliknya, apa yang menurut guru adalah hukuman bagi siswa dianggap sebagai hadiah. Contoh, anak yang suka bermain sepakbola, akan menganggap pemberian waktu untuk bermain sepakbola adalah hadiah, sebaliknya, melarang untuk sementara waktu tidak bermain sepakbola adalah hukuman yang menyakitkan.
Beberapa linguis dan ahli psikologi sependapat bahwa model Skinner tentang perilaku berbahasa dapat diterima secara memadai untuk kapasitas memperoleh bahasa, untuk perkembangan bahasa itu sendiri, untuk hakikat bahasa dan teori makna.
Teori yang tak kalah menariknya untuk kita kaji adalah Teori Pembiasaan Klasik dari Pavlov (1848-1936) yang merupakan teori stimulus – respons yang pertama menjadi dasar lahirnya teori-teori Stimulus – Respons yang lainnya. Pavlov berpendapat bahwa pembelajaran merupakan rangkaian panjang dari respons-respons yang dibiasakan. Menurut teori Pembiasaan Klasik ini kemampuan seseorang untuk membentuk respons-respons yang dibiasakan berhubungan erat dengan jenis sistem yang digunakan. Teori ini percaya adanya perbedaan-perbedaan yang dibawa sejak lahir dalam kemampuan belajar. Respons yang dibiasakan (RD) dapat diperkuat dengan ulangan-ulangan teratur dan intensif. Pavlov tidak percaya dengan pengertian atau pemahaman atau apa yang disebut insight (kecepatan melihat hubungan-hubungan di dalam pikiran). Jadi dapat dikatakan bagi Pavlov respons yang dibiasakan adalah unit dasar pembelajaran yang paling baik.
Teori Pavlov tersebut didukung pula oleh Thorndike (1874-1919) yang menghasilkan Teori Penghubungan atau dikenal dengan trial and error. Teori ini didasarkan pada sebuah eksperimen yang tak jauh berbeda dengan Pavlov. Thorndike menggunakan kucing sebagai sarana eksperimennya yang berhasil membuka engsel dengan cara dibiasakan dan dihubung-gubungkan. Dari hasil eksperimen itu, Thorndike berpendapat bahwa pembelajaran merupakan suatu proses menghubung-hubungkan di dalam sistem saraf dan tidak ada hubungannya dengan insight atau pengertian. Yang dihubungkan adalah peristiwa-peristiwa fisik dan mental dalam pembelajaran itu. Yang dimaksud dengan peristiwa fisik adalah segala rangsangan (stimulus) dan gerak balas (respons). Sedangkan peristiwa mental adalah segala hal yang dirasakan oleh pikiran (akal). Thorndike menemukan hukum latihan ( the law of exercise) dan hukum akibat (the law of effect) yang kita kenal sekarang dengan reinforcement atau penguatan. Contoh dalam kehidupan sehari-hari adalah ketika belajar naik sepeda atau dalam belajar bahasa adalah dalam pengucapan kata-kata sulit. Kegagalan yang diulang terus menerus lama-kelamaan akan berhasil.
Upaya lain untuk mendukung teori Behaviorisme dalam pemerolehan bahasa dilakukan Osgood (1953). Dia menjelaskan bahwa proses pemerolehan semantik (makna) didasarkan pada teori mediasi atau penengah. Menurutnya, makna merupakan hasil proses pembelajaran dan pengalaman seseorang dan merupakan mediasi untuk melambangkan sesuatu. Makna sebagai proses mediasi pelambang dan merupakan satu bagian yang distingtif dari keseluruhan respons terhadap suatu objek yang dibiasakan pada kata untuk objek itu, atau persepsi untuk obejek itu. Osgood telah memperkenalkan konsep sign (tanda atau isyarat) sehubungan dengan makna
Pendapat para ahli psikologi behaviorisme yang menekankan pada observasi empirik dan metode ilmiah hanya dapat mulai menjelaskan keajaiban pemerolehan dan belajar bahasa tapi ranah kajian bahasa yang sangat luas masih tetap tak tersentuh.
2. Teori Nativisme
Berbeda dengan kaum behavioristik, kaum nativistik atau mentalistik berpendapat bahwa pemerolehan bahasa pada manusia tidak boleh disamakan dengan proses pengenalan yang terjadi pada hewan. Mereka tidak memandang penting pengaruh dari lingkungan sekitar. Selama belajar bahasa pertama sedikit demi sedikit manusia akan membuka kemampuan lingualnya yang secara genetis telah terprogramkan. Dengan perkataan lain, mereka menganggap bahwa bahasa merupakan pemberian biologis. Menurut mereka bahasa terlalu kompleks dan mustahil dapat dipelajari oleh manusia dalam waktu yang relatif singkat lewat proses peniruan sebagaimana keyakinan kaum behavioristik. Jadi beberapa aspek penting yang menyangkut sistem bahasa menurut keyakinan mereka pasti sudah ada dalam diri setiap manusia secara alamiah.
Istilah nativisme dihasilkan dari pernyataan mendasar bahwa pembelajaran bahasa ditentukan oleh bakat. Bahwa setiap manusia dilahirkan sudah memiliki bakat untuk memperoleh dan belajar bahasa. Teori tentang bakat bahasa itu memperoleh dukungan dari berbagai sisi. Eric Lenneberg (1967) membuat proposisi bahwa bahasa itu merupakan perilaku khusus manusia dan bahwa cara pemahaman tertentu, pengkategorian kemampuan, dan mekanisme bahasa yang lain yang berhubungan ditentukan secara biologis.
Chomsky dalam Hadley (1993: 48) yang merupakan tokoh utama golongan ini mengatakan bahwasannya hanya manusialah satu-satunya makhluk Tuhan yang dapat melakukan komunikasi lewat bahasa verbal. Selain itu bahasa juga sangat kompleks oleh sebab itu tidak mungkin manusia belajar bahasa dari makhluk Tuhan yang lain. Chomsky juga menyatakan bahwa setiap anak yang lahir ke dunia telah memiliki bekal dengan apa yang disebutnya “alat penguasaan bahasa” atau LAD (language Acquisition Device). Chomsky dalam Hadley (1993:50) mengemukakan bahwa belajar bahasa merupakan kompetensi khusus bukan sekedar subset belajar secara umum. Cara berbahasa jauh lebih rumit dari sekedar penetapan Stimulus- Respon. Chomsky dalam Hadley (1993: 48) mengatakan bahwa eksistensi bakat bermanfaat untuk menjelaskan rahasia penguasaan bahasa pertama anak dalam waktu singkat, karena adanya LAD. Menurut golongan ini belajar bahasa pada hakikatnya hanyalah proses pengisian detil kaidah-kaidah atau struktur aturan-aturan bahasa ke dalam LAD yang sudah tersedia secara alamiah pada manusia tersebut.
Salah seorang penganut golongan ini Mc. Neil (Brown, 1980:22) mendeskripsikan LAD itu terdiri atas empat bakat bahasa, yakni:
a. Kemampuan untuk membedakan bunyi bahasa dengan bunyi-bunyi yang lain.
b. Kemampuan mengorganisasikan peristiwa bahasa ke dalam variasi yang beragam.
c. Pengetahuan adanya sistem bahasa tertentu yang mungkin dan sistem yang lain yang tidak mungkin.
d. Kemampuan untuk mengevaluasi sistem perkembangan bahasa yang membentuk sistem yang mungkin dengan cara yang paling sederhana dari data kebahasaan yang diperoleh.
Manusia mempunyai bakat untuk terus menerus mengevaluasi sistem bahasanya dan terus menerus mengadakan revisi untuk pada akhirnya menuju bentuk yang berterima di lingkungannya.
Chomsky dalam Hadley (1993: 49) mengemukakan bahwa bahasa anak adalah sistem yang sah dari sistem mereka. Perkembangan bahasa anak bukanlah proses perkembangan sedikit demi sedikit stuktur yang salah, bukan dari bahasa tahap pertama yang lebih banyak salahnya ke tahap berikutnya, tetapi bahasa anak pada setiap tahapan itu sistematik dalam arti anak secara terus menerus membentuk hipotesis dengan dasar masukan yang diterimanya dan kemudian mengujinya dalam ujarannya sendiri dan pemahamannya. Selama bahasa anak itu berkembang hipotesis itu terus direvisi, dibentuk lagi atau kadang-kadang dipertahankan.
3. Teori Kognitivisme
Pada tahun 60-an golongan kognitivistik mencoba mengusulkan pendekatan baru dalam studi pemerolehan bahasa. Pendekatan tersebut mereka namakan pendekatan kognitif. Jika pendekatan kaum behavioristik bersifat empiris maka pendekatan yang dianut golongan kognitivistik lebih bersifat rasionalis. Konsep sentral dari pendekatan ini yakni kemampuan berbahasa seseorang berasal dan diperoleh sebagai akibat dari kematangan kognitif sang anak. Mereka beranggapan bahwa bahasa itu distrukturkan atau dikendalikan oleh nalar manusia. Oleh sebab itu perkembangan bahasa harus berlandas pada atau diturunkan dari perkembangan dan perubahan yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi manusia. Dengan demikian urutan-urutan perkembangan kognisi seorang anak akan menentukan urutan-urutan perkembangan bahasa dirinya.
Menurut aliran ini kita belajar disebabkan oleh kemampuan kita menafsirkan peristiwa atau kejadian yang terjadi di dalam lingkungan. Titik awal teori kognitif adalah anggapan terhadap kapasitas kognitif anak dalam menemukan struktur dalam bahasa yang didengar di sekelilingnya. Pemahaman, produksi, komprehensi bahasa pada anak dipandang sebagai hasil dari proses kognitif anak yang secara terus menerus berubah dan berkembang. Jadi stimulus merupakan masukan bagi anak yang berproses dalam otak. Pada otak terjadi mekanisme mental internal yang diatur oleh pengatur kognitif, kemudian keluar sebagai hasil pengolahan kognitif tadi.
Konsep sentral teori kognitif adalah kemampuan berbahasa anak berasal dari kematangan kognitifnya. Proses belajar bahasa secara kognitif merupakan proses berpikir yang kompleks karena menyangkut lapisan bahasa yang terdalam. Lapisan bahasa tersebut meliputi: ingatan, persepsi, pikiran, makna, dan emosi yang saling berpengaruh pada struktur jiwa manusia. Bahasa dipandang sebagai manifestasi dari perkembangan aspek kognitif dan afektif yang menyatakan tentang dunia dan diri manusia itu sendiri.
Dapat dikemukakan bahwa pendekatan kognitif menjelaskan bahwa:
a. dalam belajar bahasa, bagaimana kita berpikir
b. belajar terjadi dan kegiatan mental internal dalam diri kita
c. belajar bahasa merupakan proses berpikir yang kompleks.
Laughlin dalam Elizabeth (1993: 54) berpendapat bahwa dalam belajar bahasa seorang anak perlu proses pengendalian dalam berinteraksi dengan lingkungan. Pendekatan kognitif dalam belajar bahasa lebih menekankan pemahaman, proses mental atau pengaturan dalam pemerolehan, dan memandang anak sebagai seseorang yang berperan aktif dalam proses belajar bahasa.
Selanjutnya menurut Piaget dalam Mansoer Pateda (1990: 67), salah seorang tokoh golongan ini mengatakan bahwa struktur komplek dari bahasa bukanlah sesuatu yang diberikan oleh alam dan bukan pula sesuatu yang dipelajari lewat lingkungan. Struktur tersebut lahir dan berkembang sebagai akibat interaksi yang terus menerus antara tingkat fungsi kognitif si anak dan lingkungan lingualnya.Struktur tersebut telah tersedia secara alamiah. Perubahan atau perkembangan bahasa pada anak akan bergantung pada sejauh mana keterlibatan kognitif sang anak secara aktif dengan lingkungannya.
Proses belajar bahasa terjadi menurut pola tahapan perkembangan tertentu sesuai umur. Tahapan tersebut meliputi:
a. Asimilasi: proses penyesuaian pengetahuan baru dengan struktur kognitif
b. Akomodasi: proses penyesuaian struktur kognitif dengan pengetahuan baru
c. Disquilibrasi: proses penerimaan pengetahuan baru yang tidak sama dengan yang telah diketahuinya.
d. Equilibrasi: proses penyeimbang mental setelah terjadi proses asimilasi.
Menurut Ausubel dalam Elizabeth (1993: 59) mengatakan proses belajar bahasa terjadi bila anak mampu mengasimilasikan pengetahuan yang dimiliki dengan pengetahuan baru. Proses itu melalui tahapan memperhatikan stimulus yang diberikan, memahami makna stimulus, menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah dipahami.
Selanjutnya menurut Bruner dalam Mansoer Pateda (1990: 49) mengemukakan bahwa, proses belajar bahasa lebih ditentukan oleh cara anak mengatur materi bahasa bukan usia anak. Proses belajar bahasa didapat melalui: enaktif yaitu aktivitas untuk memahami lingkungan; ikonik yaitu melihat dunia lewat gambar dan visualisasi verbal; simbolik yaitu memahami gagasan-gagasan abstrak.
4. Teori Fungsional
Dengan munculnya kontruktivisme dalam dunia psikologi, dalam tahun-tahun terakhir ini menjadi lebih jelas bahwa belajar bahasa berkembang dengan baik di bawah gagasan kognitif dan struktur ingatan.
Para peneliti bahasa mulai melihat bahwa bahasa merupakan manifestasi kemampuan kognitif dan efektif untuk menjelajah dunia, untuk berhubungan dengan orang lain dan juga keperluan terhadap diri sendirisebagai manusia. Lebih lagi kaedah generatif yang diusulkan di bawah naungan nativisme itu bersifat abstrak, formal, eksplisit dan logis, meskipun kaidah itu lebih mengutamakan pada bentuk bahasa dan tidak pada tataran fungsional yang lebih dari makna yang dibentuk dari makna yang dibentuk dari interaksi sosial.
a. Kognisi dan perkembangan bahasa
Piaget menggambarkan penelitian itu sebagai interaksi anak dengan lingkungannya dengan interaksi komplementer antara perkembangan kapasitas kognitif perseptual dengan pengalaman bahasa mereka. Penelitian itu berkaitan dengan hubungan antara perkembangan kognitif dengan pemerolehan bahasa pertama. Slobin menyatakan bahwa dalam semua bahasa, belajar makna bergantung pada perkembangan kognitif dan urutan perkembangannya lebih ditentukan oleh kompleksitas makna itu dari pada kompleksitas bentuknya. Menurut dia ada dua hal yang menentukan model:
1) Pada asas fungsional, perkembangan diikuti oleh perkembangan kapasitas komunikatif dan konseptual yang beroperasi dalam konjungsi dengan skema batin konjungsi.
2) Pada asas formal, perkembangan diikuti oleh kapasitas perseptual dan pemerosesan informasi yang bekerja dalam konjungsi dan skema batin tata bahasa.
b. Interaksi Sosial dan Perkembangan Bahasa
Akhir-akhir ini semakin jelas bahwa fungsi bahasa berkembang dengan baik di luar pikiran kognitif dan struktur memori. Di sini tampak bahwa kontruktivis sosial menekankan prespektif fungsional. Bahasa pada hakikatnya digunakan untuk komunikasi interaktif. Oleh sebab itu kajian yang cocok untuk itu adalah kajian tentang fungsi komunikatif bahasa, fungsi pragmatik dan komunikatif dikaji dengan segala variabilitasnya.
5. Teori Konstruktvisme
Jean Piaget dan Leu Vygotski adalah dua nama yang selalu diasosiasikan dengan kontruktivisme. Ahli kontruktivisme menyatakan bahwa manusia membentuk versi mereka sendiri terhadap kenyataan, mereka menggandakan beragam cara untuk mengetahui dan menggambarkan sesuatu untuk mempelajari pemerolehan bahasa pertama dan kedua.
Pembelajaran harus dibangun secara aktif oleh pembelajar itu sendiri dari pada dijelaskan secara rinci oleh orang lain. Dengan demikian pengetahuan yang diperoleh didapatkan dari pengalaman. Namun demikian, dalam membangun pengalaman siswa harus memiliki kesempatan untuk mengungkapkan pikirannya, menguji ide-ide tersebut melalui eksperimen dan percakapan atau tanya jawab, serta untuk mengamati dan membandingkan fenomena yang sedang diujikan dengan aspek lain dalam kehidupan mereka. Selain itu juga guru memainkan peranan penting dalam mendorong siswa untuk memperhatikan seluruh proses pembelajaran serta menawarkan berbagai cara eksplorasi dan pendekatan.
Siswa dapat benar-benar memahami konsep ilmiah dan sains karena telah mengalaminya. Penjelasan mendetail dari guru belum tentu mencerminkan pemahaman siswa mengerti kata-kata ilmiahnya, tapi tidak memahami konsepnya. Namun jika siswa telah mencobanya sendiri, maka pemahaman yang didapat tidak hanya berupa kata-kata saja, namun berupa konsep.
Dalam rangka kerjanya, ahli konstruktif menantang guru-guru untuk menciptakan lingkungan yang inovatif dengan melibatkan guru dan pelajar untuk memikirkan dan mengoreksi pembelajaran. Untuk itu ada dua hal yang harus dipenuhi, yaitu:
1) Pembelajar harus berperan aktif dalam menyeleksi dan menetapkan kegiatan sehingga menarik dan memotivasi pelajar,
2) Harus ada guru yang tepat untuk membantu pelajar-pelajar membuat konsep-konsep, nilai-nilai, skema, dan kemampuan memecahkan masalah.
6. Teori Humanisme
Teori ini muncul diilhami oleh perkembangan dalam psikologi yaitu psikologi Humanisme. Sesuai pendapat yang dikemukakan oleh McNeil (1977) “In many instances, communicative language programmes have incorporated educational phylosophies based on humanistic psikology or view which in the context of goals for other subject areas has been called ‘the humanistic curriculum’.” Teori humanisme dalam pengajaran bahasa pernah diimplementasikan dalam sebuah kurikulum pengajaran bahasa dengan istilah Humanistic curriculum yang diterapkan di Amerika utara di akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Kurikulum ini menekankan pada pembagian pengawasan dan tanggungjawab bersama antar seluruh siswa didik. Humanistic curiculum menekankan pada pola pikir, perasaan dan tingkah laku siswa dengan menghubungkan materi yang diajarkan pada kebutuhan dasar dan kebutuhan hidup siswa. Teori ini menganggap bahwa setiap siswa sebagai objek pembelajaran memiliki alasan yang berbeda dalam mempelajari bahasa.
Tujuan utama dari teori ini adalah untuk meningkatkan kemampuan siswa agar bisa berkembang di tengah masyarakat. The deepest goal or purpose is to develop the whole persons within a human society. (McNeil,1977)
Sementara tujuan teori humanisme menurut Coombs (1981):
§ Pengajaran disusun berdasarkan kebutuhan-kebutuhan dan tujuan siswa. program pengajaran diarahkan agar siswa mampu menciptakan pengalaman sendiri berdasarkan kebutuhannya. hal ini dilakukan untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki.
§ Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengaktualisasikan dirinya dan untuk menumbuhkan kepercayaan dirinya.
§ Pengajaran disusun untuk memperoleh keterampilan dasar (akademik, pribadi, antar pribadi, komunikasi, dan ekonomi) berdasarkan kebutuhan masing-masing siswa.
§ Memilih dan memutuskan aktivitas pengajaran secara individual dan mampu menerapkannya.
§ Mengenal pentingnya perasaan manusia, nilai, dan persepsi.
§ Mengembangkan suasana belajar yang menantang dan bisa dimengerti.
§ Mengembangkan tanggung jawab siswa, mengembangkan sikap tulus, respek, dan menghargai orang lain, dan terampil dalam menyelesaikan konflik.
Teori Humanisme dalam pangajaran bahasa banyak dipengaruhi oleh pemikiran para ahli psikologi humanisme seperti Abraham maslow, Carl Roger, Fritz Peers dan Erich Berne. Para ahli psikologi tersebut menciptakan sebuah teori dimana pendidikan berpusat pada siswa (learner centered-pedagogy). Prakteknya dalam dunia pendidikan yaitu dengan menggabungkan pengembangan kognitif dan afektif siswa.
Dalam teori humanisme, setiap siswa memiliki tanggung jawab terhadap pembelajaran mereka masing-masing, mampu mengambil keputusan sendiri, memilih dan mengusulkan aktivitas yang akan dilakukan mengungkapkan perasaan dan pendapat mengenai kebutuhan, kemampuan, dan kesenangannya. Dalam hal ini, guru berperan sebagai fasilitator pengajaran, bukan menyampaikan pengetahuan.
Sementara menurut Fraida Dubin dan Elita Olshtain (1992-76) pengajaran bahasa menurut teori humanisme, sbb.
1) Sangat menekankan kepada komunikasi yang bermakna (meaningful communication) berdasarkan sudut pandang siswa. Teks harus otentik, tugas-tugas harus kommunikatif, Outcome menyesuaikan dan tidak ditentukan atau ditargetkan sebelumnya.
2) Pendekatan ini berfokus pada siswa dengan menghargai existensi setiap individu.
3) Pembelajaran digambarkan sebagai sebuah penerapan pengalaman individual dimana siswa memiliki kesempatan berbicara dalam proses pengambilan keputusan.
4) Siswa lain sebagai kelompok suporter dimana mereka saling berinteraksi, saling membantu dan saling mengevaluasi satu sama lain.
5) Guru berperan sebagai fasilitator yang lebih memperhatikan atmosphere kelas dibanding silabus materi yang digunakan.
6) Materi berdasarkan kebutuhan-kebutuhan siswa.
7) Bahasa ibu para siswa dianggap sebagai alat yang sangat membantu jika diperlukan untuk memahami dan merumuskan hipotesa bahasa yang dipelajari.
Carl Rogers (1902-1987) dianggap sebagai penemu dan panutan dalam perkembangan pendekatan humanistik dalam pendidikan. Roger (1980) menekankan pada kebutuhan secara alamiah dari setiap orang untuk belajar. Peran guru adalah sebagai fasilitator pengajaran.
7. Teori Sibernetik
Istilah sibernetika berasal dari bahasa Yunani (Cybernetics berarti pilot). Istilah Cybernetics yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi sibernetika, pertama kali digunakan th.1945 oleh Nobert Wiener dalam bukunya yang berjudul Cybernetics. Nobert mendefinisikan Cybernetics sebagai berikut," The study of control and communication in the animal and the machine." Istilah sibernetika digunakan juga oleh Alan Scrivener (2002) dalam bukunya 'A Curriculum for Cybernetics and Systems Theory.' Sebagai berikut "Study of systems which can be mapped using loops (or more complicated looping structures) in the network defining the flow of information. Systems of automatic control will of necessity use at least one loop of information flow providing feedback." Artinya studi mengenai sistem yang bisa dipetakan menggunakan loops (berbagai putaran) atau susunan sistem putaran yang rumit dalam jaringan yang menjelaskan arus informasi. Sistem pengontrol secara otomatis akan bermanfaat, satu putaran informasi minimal akan menghasilkan feedback. Sementara Ludwig Bertalanffy memandang fungsi sibernetik dalam berkomunikasi. "Cybernetics is a theory of control systems based on communication (transfer of information) between systems and environment and within the system, and control (feedback) of the system's function in regard to environment.
Sibernetika adalah teori sistem pengontrol yang didasarkan pada komunikasi (penyampaian informasi) antara sistem dan lingkungan dan antar sistem, pengontrol (feedback) dari sistem berfungsi dengan memperhatikan lingkungan.
Seiring perkembangan teknologi informasi yang diluncurkan oleh para ilmuwan dari Amerika sejak tahun 1966, penggunaan komputer sebagai media untuk menyampaikan informasi berkembang pesat. Teknologi ini juga dimanfaatkan dunia pendidikan terutama guru untuk berkomunikasi sesama relasi, mencari handout (buku materi ajar), menerangkan materi pelajaran atau pelatihan, bahkan untuk mengevaluasi hasil belajar siswa. Prinsip dasar teori sibernetik yaitu menghargai adanya 'perbedaan', bahwa suatu hal akan memiliki perbedaan dengan yang lainnya, atau bahwa sesuatu akan berubah seiring perkembangan waktu. Pembelajaran digambarkan sebagai : INPUT => PROSES => OUTPUT
Teori sibernetik diimplementasikan dalam beberapa pendekatan pengajaran (teaching approach) dan metode pembelajaran, yang sudah banyak diterapkan di Indonesia. Misalnya virtual learning, e-learning, dll.
Beberapa kelebihan teori sibernetik:
§ Setiap orang bisa memilih model pembelajaran yang paling sesuai dengan untuk dirinya, dengan mengakses melalui internet pembelajaran serta modulnya dari berbagai penjuru dunia.
§ Pembelajaran bisa disajikan dengan menarik, interaktif dan komunikatif. Dengan animasi-animasi multimedia dan interferensi audio, siswa tidak akan bosan duduk berjam-jam mempelajari modul yang disajikan.
§ Menganggap dunia sebagai sebuah 'global village', dimana masyarakatnya bisa saling mengenal satu sama lain, bisa saling berkomunikai dengan mudah, dan pembelajaran bisa dilakukan dimana saja tanpa dibatasi ruang dan waktu, sepanjang sarana pembelajaran mendukung.
§ Buku-buku materi ajar atau sumber pembelajaran lainnya bisa diperoleh secara autentik (sesuai aslinya), cepat dan murah.
§ Ketika bertanya atau merespon pertanyaan guru atau instruktur, secara psikologis siswa akan lebih berani mengungkapkanya, karena siswa tidak akan merasa takut salah dan menanggung akibat dari kesalahannya secara langsung.
Steps To an Ecology of Mind
"I think that cybernetics is the biggest bite
out of the fruit of the Tree of Knowledge
that mankind has taken in the last 2000 years.
But most such bites out of the apple have
proven to be rather indigestible --
usually for cybernetic reasons"
-- Gregory Bateson, 1966
"From Versailles to Cybernetics,"
-- <<>>--
Penutup
Berdasarkan uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa dalam proses belajar bahasa dapat ditinjau dari berbagai teori yang kesemuanya masuk akal. Yang terpenting bagi kita dengan adanya teori-teori tersebut dapat membantu kesulitan bagi mereka yang sedang belajar bahasa sehingga dapat memaksimalkan kemampuan mereka seperti yang kita harapkan.
Semoga pertanyaan tentang "bagaimana siswa kita dapat belajar bahasa dengan lancar? " terjawab sudah lewat pendekatan yang mengacu kepada teori yang di kemukakan di atas.
DAFTAR PUSTAKA
----------. 2000. Teaching by Priciples, an interactive Approach to Language
Brown. H. Dauglas. 2000. Priciples of Language Learning and Teaching 4th edition , New York
Hadley. Alice Omaggio, 1993, Teaching Language 2nd Edition, Heinle and Heinle Publishers, USA
J. S. Atherton. 2005. Learning and Teaching: Humanistic approaches to learning Pedagogy 2th edition , New York
Lefrancois, Guy R. 1995. Theories of Human Learning. California
Pateda, Mansoer, Aspek-aspek Psikolinguistik, 1990, Nusa Indah. Flores.
Ricards Jack C., Renandya. Willy A, 2002. Methodology in Language Teaching; An Anthology of Current Practice. Cambridge University.
Rieken, Elizabeth, 1993. Theaching Language in Context. Heinle & Heinle Publiser, Boston.
Scrivener, Alan B., A, 2002 Curriculum for Cybernetics and Systems
Suharnan, 2005. Psikologi Kognitif. Srikandi. Surabaya
Suryabrata, Sumardi.1998. Psikologi pendidikan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta
Theoryabs@well.com
UK: File:///C:/DATABaru/Humanistic%20approaches%20learning.htm
sa Pertama Terhadap Pemerolehan Bahasa KeduaHasnarianti SyafnaA. Konsep Pemerolehan BahasaSejak tahun 1979 dunia pendidikan di Indonesia berkenalan dengan pembedaan antara hasil instruksional berupa kompetensi pebelajar atas pengetahuan dan keterampilan dalam ranah intelektual, emosional, dan fisik (psikomotor), dan hasil pengiring (nurturent effect), serta nilai (value). Pelajaran yang dapat dipetik dari konsep ini ialah ada sesuatu yang diperoleh siswa dari apa yang diajarkan guru atau dipelajari siswanya. Hal tersebut sejajar dengan munculnya pembedaan antara konsep pembelajaran (learning) dan pemerolehan (acquisition) bahasa. Istilah "pemerolehan" terpaut dengan kajian psikolinguistik ketika kita berbicara mengenai anak-anak dengan bahasa ibunya. Dengan beberapa pertimbangan, istilah pertama dipakai untuk belajar B2 dan istilah kedua dipakai untuk bahasa ibu (B1). Faktanya, belajar selalu dikaitkan dengan guru, kurikulum, alokasi waktu, dan sebagainya, sedangkan dalam pemerolehan B1 semua itu tidak ada. Ada fakta lain bahwa dalam memperoleh B1, anak mulai dari nol; dalam belajar B2, pebelajar sudah memiliki bahasa. Dengan "mesin" pemerolehan bahasa yang dibawa sejak lahir anak mengolah data bahasa lalu memproduksi ujaran-ujaran. Dengan watak aktif, kreatif, dan inofatif, anak-anak akhirnya mampu menguasai gramatika bahasa dan memproduksi tutur menuju bahasa yang diidealkan oleh penutur dewasa. Anak memiliki motivasi untuk segera masuk ke dalam lingkungan sosial, entah kelompok sebaya (peer group) atau guyup (community).Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dengan pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seorang kanak-kanak mempelajari bahasa kedua setelah dia memperoleh bahasa pertamanya. Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua (Chaer, 2003:167). Hal ini perlu ditekankan, karena pemerolehan memiliki karakteristik yang berbeda dengan pembelajaran (Cox, 1999; Musfiroh, 2002)
Pembelajaran Bahasa1. Berfokus pada bentuk-bentuk bahasa2. Keberhasilan didasarkan pada penguasaan bentuk-bentuk bahasa3. Pembelajaran ditekankan pada tipe-tipe bentuk dan struktur
Pemerolehan Bahasa1. Berfokus pada komunikasi penuh makna2. Keberhasilan didasarkan pada penggunaan bahasa untuk melaksanakan sesuatu;3. Materi ditekankan pada ide dan minat anak aktivitas berpusat pada anak
perintah guru4. Koreksi kesalahan sangat penting untuk mencapai tingkah penguasaan5. Belajar merupakan proses sadar untuk menghafal kaidah, bentuk, dan struktur6. Penekanan pada kemampuan produksi mungkin dihasilkan dari ketertarikan pada tahap awal.
4. Kesalahan merupakan hal yang wajar5. Pemerolehan merupakan proses bawah sadar dan terjadi melalui pemajanan dan masukan yang dapat dipahami anak6. Penekanan pada tumbuhnya kecakapan bahasa secara alamiah
Perbandingan
Pembelajaran Bahasa dengan Pemerolehan BahasaSofa (2008) juga mengemukakan bahwa proses anak mulai mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara verbal disebut dengan pemerolehan bahasa anak. Pemerolehan bahasa pertama (B1) (anak) terjadi bila anak yang sejak semula tanpa bahasa kini telah memperoleh satu bahasa. Pada masa pemerolehan bahasa anak, anak lebih mengarah pada fungsi komunikasi daripada bentuk bahasanya.Pemerolehan bahasa anak-anak dapat dikatakan mempunyai ciri kesinambungan, memiliki suatu rangkaian kesatuan, yang bergerak dari ucapan satu kata sederhana menuju gabungan kata yang lebih rumit.Ada dua pengertian mengenai pemerolehan bahasa. Pertama, pemerolehan bahasa mempunyai permulaan yang mendadak, tiba-tiba. Kedua, pemerolehan bahasa memiliki suatu permulaan yang gradual yang muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan kognitif pralinguistik.Pemerolehan bahasa pertama erat kaitannya dengan permulaan yang gradual yang muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan kognitif pralinguistik ditambahkan, bahwa pemerolehan bahasa pertama (B1) sangat erat hubungannya dengan perkembangan kognitif yakni pertama, jika anak dapat menghasilkan ucapan-ucapan yang berdasar pada tata bahasa yang teratur rapi, tidaklah secara otomatis mengimplikasikan bahwa anak telah menguasai bahasa yang bersangkutan dengan baik. Kedua, pembicara harus memperoleh ‘kategori-kategori kognitif’ yang mendasari berbagai makna ekspresif bahasa-bahasa alamiah, seperti kata, ruang, modalitas, kausalitas, dan sebagainya. Persyaratan-persyaratan kognitif terhadap penguasaan bahasa lebih banyak dituntut pada pemerolehan bahasa kedua (PB2) daripada dalam pemerolehan bahasa pertama (PB1). Agar seorang anak dapat dianggap telah menguasai B1 ada beberapa unsur yang penting yang berkaitan dengan perkembangan jiwa dan kognitif anak itu. Perkembangan nosi-nosi (notion) atau pemahaman seperti waktu, ruang, modalitas, sebab akibat, dan deiktis merupakan bagian yang penting dalam perkembangan kognitif penguasaan B1 seorang anak.Selain aspek kognitif anak, pemerolehan bahasa pertama juga memiliki hubungan yang erat dengan perkembangan sosial anak dan karenanya juga erat hubungannya dengan pembentukan identitas sosial. Mempelajari bahasa pertama merupakan salah satu perkembangan menyeluruh anak menjadi anggota penuh suatu masyarakat. Bahasa memudahkan anak mengekspresikan gagasan, kemauannya dengan cara yang benar-benar dapat diterima secara sosial. Bahasa merupakan media yang dapat digunakan anak untuk memperoleh nilai-nilai budaya, moral, agama, dan nilai-nilai lain dalam masyarakat.Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa melalui bahasa khusus bahasa pertama (B1), seorang anak belajar untuk menjadi anggota masyarakat. B1 menjadi salah satu sarana untuk mengungkapkan perasaan, keinginan, dan pendirian, dalam bentuk-bentuk bahasa yang dianggap ada. Ia belajar pula bahwa ada bentuk-bentuk yang tidak dapat diterima anggota masyarakatnya, ia tidak selalu boleh mengungkapkan perasaannya secara gamblang.B. Strategi dan Tahap Pemerolehan Bahasa PertamaSelama pemerolehan bahasa pertama, Chomsky menyebutkan bahwa ada dua proses yang terjadi ketika seorang kanak-kanak memperoleh bahasa pertamanya. Proses yang dimaksud adalah proses kompetensi dan proses performansi. Kedua proses ini merupakan dua proses yang berlainan. Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik) secara tidak disadari. Kompetensi ini dibawa oleh setiap anak sejak lahir. Meskipun dibawa sejak lahir, kompetensi memerlukan pembinaan sehingga anak-anak memiliki performansi dalam berbahasa. Performansi adalah kemampuan anak menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Performansi terdiri dari dua proses, yaitu proses pemahaman dan proses penerbitan kalimat-kalimat. Proses pemahaman melibatkan kemampuan mengamati atau mempersepsi kalimat-kalimat yang didengar, sedangkan proses penerbitan melibatkan kemampuan menghasilkan kalimat-kalimat sendiri (Chaer 2003:167).Hal yang patut dipertanyakan adalah bagaimana strategi si anak dalam memperoleh bahasa pertamanya dan apakah setiap anak memiliki strategi yang sama dalam memperoleh bahasa pertamanya? Berkaitan dengan hal ini, Dardjowidjojo, (2005:243-244) menyebutkan bahwa pada umumnya kebanyakan ahli kini berpandangan bahwa anak di mana pun juga memperoleh bahasa pertamanya dengan memakai strategi yang sama. Kesamaan ini tidak hanya dilandasi oleh biologi dan neurologi manusia yang sama, tetapi juga oleh pandangan mentalistik yang menyatakan bahwa anak telah dibekali dengan bekal kodrati pada saat dilahirkan. Di samping itu, dalam bahasa juga terdapat konsep universal sehingga anak secara mental telah mengetahui kodrat-kodrat yang universal ini. Sofa (2008) mengemukakan bahwa terdapat empat strategi pemerolehan bahasa pertama anak. Berikut ini diuraikan keempat strategi tersebut:1. Tirulah apa yang dikatakan orang lain. Tiruan akan digunakan anak terus, meskipun ia sudah dapat sempurna melafalkan bunyi. Ada berbagai ragam peniruan atau imitasi, yaitu imitasi spontan atau spontaneous imitation, imitasi pemerolehan atau elicited imitation, imitasi segera atau immediate imitation, imitasi terlambat delayed imitation dan imitasi dengan perluasan atau imitation with expansion, red 2. Strategi produktivitas. Produktivitas berarti keefektifan dan keefisienan dalam pemerolehan bahasa yang berpegang pada pedoman buatlah sebanyak mungkin dengan bekal yang telah Anda miliki atau Anda peroleh. Produktivitas adalah ciri utama bahasa. Dengan satu kata seorang anak dapat “bercerita atau mengatakan” sebanyak mungkin hal. Kata papa misalnya dapat mengandungberbagai makna bergantung pada situasi dan intonasi.3. Berkaitan dengan hubungan umpan balik antara produksi ujaran dan responsi. Dengan strategi ini anak-anak dihadapkan pada pedoman: hasilkanlah ujaran dan lihatlah bagaimana orang lain memberi responsi. Stategi produktif bersifat “sosial” dalam pengertian bahwa strategi tersebut dapat meningkatkan interaksi dengan orang lain dan sementara itu bersifat “kognitif” juga. Hal itu dapat memberikan umpan balik kepada pelajar mengenai ekspresinya sendiri terhadap makna dan juga memberinya sampel yang lebih banyak, yaitu sampel bahasa untuk digarap atau dikerjakan.4. Prinsip operasi. Dalam strategi ini anak dikenalkan dengan pedoman: gunakan beberapa “prinsip operasi” umum untuk memikirkan serta menetapkan bahasa. Selain perintah terhadap diri sendiri oleh anak, prinsip operasi ini juga menyarankan larangan yang dinyatakan dalam avoidance terms; misalnya: hindari kekecualian, hindari pengaturan kembali.uced imitation.Berdasarkan penjelasan di atas, dapatlah dikatakan bahwa pemerolehan bahasa bukan hanya diperoleh secara otomatis, tetapi juga melajui beberapa strategi pemerolehan bahasa pertama anak. Selain itu, proses pemerolehan bahasa pertama juga bisa diketahui dengan melihat tahapan-tahapan dalam pemerolehan bahasa pertama. Perlu untuk diketahui adalah seorang anak tidak dengan tiba-tiba memiliki tata bahasa B1 dalam otaknya dan lengkap dengan semua kaidahnya. Seperti yang dikemukakan oleh Safriandi (2008) berikut ini, bahwa B1 diperolehnya dalam beberapa tahap dan setiap tahap berikutnya lebih mendekati tata bahasa dari bahasa orang dewasa. Menurut para ahli, tahap-tahap ini sedikit banyaknya ada ciri kesemestaan dalam berbagai bahasa di dunia. Lebih lanjut dikatakan bahwa tahap-tahap pemerolehan bahasa pada aspek tahapan linguistik yang terdiri atas beberapa tahap, yaitu (1) tahap pengocehan (babbling); (2) tahap satu kata (holofrastis); (3) tahap dua kata; (4) tahap menyerupai telegram (telegraphic speech).C. Strategi dan Faktor Pemerolehan Bahasa Kedua1. Strategi Pemerolehan Bahasa Kedua. Pembelajaran bahasa kedua adalah proses memahaminya seorang atau lebih individu terhadap suatu bahasa setelah bahasa yang terdahului dikuasai sampai batas tertentu. Dengan demikian, belajar bahasa kedua berarti belajar menguasai bahasa yang kedua dipajankan kepada mereka. Umumnya hasil belajar bahasa kedua tidak sebagus hasil belajar bahasa pertama. Meskipun demikian, pada anak-anak, menurut Paivio dan Begg (1981). proses belajar itu terjadi dengan sangat cepat dan lancar, terutama karena otak mereka masih sangat peka menerima rangsang bahasa.Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa pemerolehan bahasa berbeda dengan pembelajaran bahasa. Menurut Sofa (2008) bahwa orang dewasa mempunyai dua cara yang berbeda mengenai pengembangan kompetensi dalam bahasa kedua.a. Pemerolehan bahasa merupakan proses yang bersamaan dengan cara anak-anak. Mengembangkan kemampuan dalam bahasa pertama mereka. Pemerolehan bahasa merupakan proses bawah sadar. Para pemeroleh bahasa tidak selalu sadar akan kenyataan bahwa mereka memakai bahasa untuk berkomunikasi.b. Untuk mengembangkan kompetensi dalam bahasa kedua dapat dilakukan denganbelajar bahasa. Anak-anak memperoleh bahasa, sedangkan orang dewasa hanya dapat mempelajarinya. Namun, pada dasarnya Orang-orang dewasa juga dapat memanfaatkan sarana pemerolehan bahasa alamiah yang sama seperti yang dipakai anak-anak. Pemerolehan merupakan suatu proses yang amat kuat pada orang dewasa. Selain pembedaan pemerolehan dan pembelajaran yang dikemukakan di atas, Sofa (2008) juga memberikan batasan pembedaan pada pemerolehan dan pembelajaran dalam lima hal sebagai berikut.a. Pemerolehan: memiliki ciri-ciri yang sama dengan pemerolehan bahasa pertama, seorang anak penutur asli, sedangkan belajar bahasa adalah pengetahuan secara formal,b. secara bawah sadar, sedangkan pembelajaran sadar dan disengaja.c. bahasa kedua seperti memungut bahasa kedua, sedangkan pembelajaran mengetahui bahasa kedua,d. mendapat pengetahuan secara implisit, sedangkan pembelajaran mendapat pengetahuan secara eksplisit,e. pemerolehan tidak membantu kemampuan anak, sedangkan pembelajaran menolong sekali.Terdapat dua cara pemerolehan bahasa kedua, yaitu pemerolehan bahasa kedua secara terpimpin dan pemerolehan bahasa kedua secara alamiah. Pertama, pemerolehan bahasa kedua yang diajarkan kepada pelajar dengan menyajikan materi yang sudah dipahami. Materi bergantung pada kriteria yang ditentukan oleh guru. Strategi-strategi yang dipakai oleh seorang guru sesuai dengan apa yang dianggap paling cocok bagi siswanya. Kedua, pemerolehan bahasa kedua secara alamiah adalah pemerolehan bahasa kedua/asing yang terjadi dalam komunikasi sehari-hari, bebas dari pengajaran atau pimpinan,guru. Tidak ada keseragaman cara. Setiap individu memperoleh bahasa kedua dengan caranya sendiri-sendiri. Interaksi menuntut komunikasi bahasa dan mendorong pemerolehan bahasa. Dua ciri penting dari pemerolehan bahasa kedua secara alamiah atau interaksi spontan ialah terjadi dalam komunikasi sehari-hari, dan bebas dari pimpinan sistematis yang sengaja.Keberhasilan belajar bahasa kedua, menurut Steinberg (2001:238), dipengaruhi oleh strategi yang digunakan pembelajar, yakni (1) verifikasi, adalah mengecek apakah hipotesis mereka tentang bahasa tersbut benar, (2) pemrosesan induktif, yakni menyusun hipotesis tentang bahasa kedua dengan dasar pengetahuan mereka pada bahasa pertama, (3) alasan deduktif, yakni menggunakan logika umum dalam memecahkan masalah, (4) praktik, yakni kegiatan mengulang, berlatih, dan menirukan, (5) memorasi atau mengingat, yakni strategi mnemonic dan pengulangan untuk tujuan menguatkan penyimpanan dan pengambilan (storage and retrieval), (6) monitoring, yakni berani membuat kesalahan dan memberi perhatian pada bagaimana pesan diterima oleh petutur.Sofa (2008) mengemukakan lima strategi pemerolehan bahasa seperti berikut ini. a. Gunakanlah pemahaman nonlinguistik Anda sebagai dasar untuk penetapan atau pemikiran bahasa, Strategi pertama ini memiliki rerata Panjang Ucapan; rata-rata (PUR) sebesar 1,75, dan Loncatan Atas (LA) sebesar 5. Penggunaan pemahaman nonlinguistik untuk memperhitungkan serta menetapkan hubungan-hubungan makna-ekspresi bahasa merupakan suatu strategi yang amat persuasif atau dapatmerembes pada diri anak-anak.b. gunakan apa saja atau segala sesuatu yang penting, yang menonjol dan menarik hati Anda. Ada dua ciri yang kerap kali penting dan menonjol bagi anak-anak kecil dan berharga bagi sejumlah kata-kata pertama mereka yaitu objek-objek yang dapat membuat anak-anak aktif dan giat (misalnya kunci, palu, kaos kaki, topi) dan objek-objek yang bergerak dan berubah (seperti mobil, jam). Sifat-sifat atas ciri-ciri perseptual dapat bertindak sebagai butir-butir atau titik-titik vokal bagi anak-anak (misalnya bayangan, ukuran, bunyi, rasa, bentuk).c. anggaplah bahwa bahasa dipakai secara referensial atau ekspresif dan dengan demikian menggunakan data bahasa. Anak-anak kelompok referensial memiliki 50 kata pertama mencakup suatu proporsi nomina umum yang tinggi dan yang seakan-akan melihat fungsi utama bahasa sebagai penamaan objek-objek. Anak kelompok ekspresif memiliki 50 kata pertama secara proporsional mencakup lebih banyak kata yang dipakai dalam ekspresi-ekspresi sosial (seperti terima kasih, jangan begitu) dan lebih sedikit nama-nama objek yang melihat bahasa (terutama sekali) sebagai pelayanan fungsi-fungsi sosial efektif. Kedua kelompok anak itu menyimak bahasa sekitar mereka secara berbeda. Kelompok yang satu memperlakukan bahasa yang dipakai untuk mengacu, sedangkan kelompok yang satu lagi, kepada bahasa yang dipakai untuk bergaul, bersosialisasi.d. amatilah bagaimana caranya orang lain mengekspresikan berbagai makna. Strategi ini baik diterapkan pada anak yang berbicara sedikit dan seakan-akan mengamati lebih banyak, bertindak selektif, menyimak, mengamati untuk melihat bagaimana makna dan ekspresi verbal saling berhubungan.e. ajukanlah pertanyaan-pertanyaan untuk memancing atau memperoleh data yang Anda inginkan, anak berusia sekitar dua tahun akan sibuk membangun dan memperkaya kosakata mereka. Banyak di antara mereka mempergunakan siasat bertanya atau strategi pertanyaan. Suatu pola yang menarik terjadi pada penggunaan pertanyaan mengapa pada usia sekitar 3 tahun.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembelajaran Bahasa KeduaKeberhasilan pembelajaran bahasa kedua dipengaruhi oleh enam faktor. Pertama, faktor motivasi. Belajar bahasa yang dilandasi oleh motivasi yang kuat, akan memperoleh hasil yang lebih baik. Motivasi, dalam perspektif ini meliputi dorongan, hasrat, kemauan, alasan, atau tujuan yang menggerakkan seseorang untuk belajar bahasa. Motivasi berasal dalam diri individu, yang dapat digolongkan sebagai motivasi integratif dan motivasi instrumen. Motivasi integratif berkaitan dengan keinginan untuk menjalin komunikasi dengan penutur, sedangkan motivasi instrumen mengacu pada keinginan untuk memperoleh prestasi atau pekerjaan tertentu.Kedua, adalah faktor lingkungan, meliputi lingkungan formal dan informal. Lingkungan formal adalah lingkungan sekolah yang dirancang sedemikian rupa, artifisial, bagian dari pengajaran, dan diarahkan untuk melakukan aktivitas yang berorientasi kaidah (Krashen, 2002). Lingkungan informal adalah lingkungan alami dan natural yang memungkinkan anak berinteraksi dengan bahasa tersebut. Menurut Dulay (1982), lingkungan informal, terutama teman sebaya, memiliki pengaruh yang cukup kuat dalamproses pemerolehan bahasa. Selain itu, lingkungan yang diperkaya pun sangat membantu anak menguasai bahasa. Tersedianya materi-materi cetak, buku-buku bergambar, dan media-media yang setiap saat dapat dilihat anak merupakan bagian dari lingkungan yang diperkaya. Ketiga, adalah usia. Anak-anak, menurut Lambert (1972) memiliki peluang untuk mahir belajar bahasa. Mereka masih berada pada masa umur kritis berbahasa (Allan & Paivio, 1981). Dalam hal pelafalan, anak-anak memiliki peluang untuk berbicara secara fasih, meskipun aturan berbahasa harus mereka bangun secara natural (Brewer, 1995)Keempat, adalah kualitas pajanan. Materi pembelajaran yang dipajankan secara natural memberikan makna bagi anak dalam kehidupan sehari-hari. Di lain pihak, pajanan yang disajikan secara formal membuat anak menguasai kaidah secara relatif cepat, meskipun mungkin mereka tidak dapat mengeskpresikan penguasaannya dalam komunikasi yang natural (Ellis, 1986).Kelima, adalah bahasa pertama. Jika bahasa pertama memiliki kedekatan kekerabatan dengan bahasa kedua, pembelajar mempunyai kemudahan mengembangkan kompetensinya. Meskipun demikian, kemungkinan percampuran kode lebih mudah terjadi, sebagaimana banyak ditemukan percampuran kode dalam tuturan anak-anak Taman Kanak-kanak di DIY (Musfiroh, 2003).Keenam, adalah faktor intelligensi. Walaupun belum terbukti secara akurat dan bertentangan dengan teori multiple intelligences, diduga tingkat kecerdasan anak mempengaruhi kecepatan pemerolehan bahasa keduanya. Menurut Lambert, anak-anak bilingual memiliki performansi yang secara signifikan lebih baik daripada anak-anak monolingual, baik pada tes inteligensi verbal maupun nonverbal (Lambert, 1981:154).D. Peranan Bahasa Pertama dalam Proses Pemerolehan Bahasa Kedua Telah dipaparkan sebelumnya mengenai beberapa konsep dasar serta strategi dalam pemerolehan bahasa pertama (B1) dan pembelajaran bahasa kedua (B2). Ada tiga macam pengaruh proses belajar bahasa kedua, yaitu pengaruh pada urutan kata dan karena proses penerjemahan, pengaruh pada morfem terikat, dan pengaruh bahasa pertama walaupun pengaruh isi sangat lemah (kecil). Berdasarkan hasil penelitian yang dikemukakan dalam Sofa (2008) bahwa bahasa pertama mempunyai pengaruh positif yang sangat besar terhadap bahasa kedua sebesar 4 – 12 % dari kesalahan-kesalahan dalam tata bahasa yang dibuat oleh anak-anak berasal dari bahasa pertama, sebesar 8 – 23 % merupakan kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh orang dewasa. Mayoritas kesalahan-kesalahan tersebut lebih banyak dalam susunan kata daripada dalam morfologi. Bidang yang sangat kuat dipengaruhi oleh bahasa pertama adalah pengucapan. Anak-anak memproses sistem bunyi baru melalui pola-pola fonologis bahasa pertama pada tahap-tahap awal pemerolehan bahasa kedua, tetapi secara berangsur-angsur mereka bersandar pada sistem bahasa kedua dan aksen atau tekanan (logat) mereka pun menghilang.Pengaruh bahasa pertama kian bertambah pada bahasa kedua jika pelajar diharapkan menghasilkan bahasa kedua sebelum dia mempunyai penguasaan yang cukup memadai terhadap bahasa barunya. Pelajar akan bergantung pada struktur-struktur bahasa pertama, baik dalam upaya komunikasi maupun terjemahan. Pengaruh bahasa pertama juga merupakan fakta dalam interaksi yang terjadiantara bahasawan bahasa pertama dan bahasa kedua.Satu-satunya sumber utama kesalahan-kesalahan sintaksis dalam penghasilan bahasa kedua orang dewasa adalah bahasa pertama si pelaku. Ada pandangan yang menyatakan bahwa kesalahan bukan bersumber pada struktur bahasa pertama, melainkan pada latar belakang linguistik yang berbeda-beda dari bahasa kedua (B2) pelajar.Pengaruh bahasa pertama terlihat paling kuat dalam susunan kata kompleks dan dalam terjemahan frase-frase, kata demi kata. Pengaruh bahasa pertama lebih lemah dalam morfem terikat. Pengaruh bahasa pertama paling kuat atau besar dalam lingkungan-lingkungan pemerolehan yang rendah.Pengaruh bahasa pertama bukanlah merupakan hambatan atau rintangan proaktif, melainkan akibat dari penyajian yang justru diperbolehkan menyajikan sesuatu sebelum dia mempelajari perilaku baru itu. Pengobatan atau penyembuhan bagi interferensi hanyalah penyembuhan bagi ketidaktahuan belajar. Bahasa pertama dapat merupakan pengganti bahasa kedua yang telah diperoleh sebagai suatu inisiator atau pemrakarsa ucapan apabila pelajar bahasa kedua harus menghasilkannya dalam bahasa sasaran, tetapi tidak cukup kemampuan bahasa kedua yang telah diperolehnya. Pengaruh bahasa pertama merupakan petunjuk bagi pemerolehan yang rendah. Anak-anak mungkin membangun atau membentuk kompetensi yang diperoleh melalui masukan. Kurangnya desakan penghasilan ujaran lisan akan menguntungkan bagi anak-anak dan orang dewasa menelaah bahasa kedua dalam latar-latar formal.Pengaruh bahasa pertama dapat dianggap sebagai sesuatu yang tidak alamiah. Seseorang dapat saja menghasilkan kalimat-kalimat dalam bahasa kedua tanpa suatu pemerolehan. Jika bahasa kedua berbeda dengan bahasa pertama, model monitor dapat dipakai dengan menambahkan beberapa morfologi dan melakukannya dengan sebaik-baiknya untuk memperbaiki susunan kata. Pemerolehan bahasa mungkin pelan-pelan, tetapi dalam jangka panjang akan lebih bermanfaat kalau bahasa dipergunakan untuk maksud dan tujuan komunikasi.Daftar PustakaEllis, Rod, ed. 1987. Second Language Acquisition in Context. London: Prentice Hall International Ltd (UK). Krashen, Stephen D. 2002. Second Language Acquisition and Second Language Learning. California : Pergamon PressLambert, Wallace E. 1972. Language, Psychology, and Culture. California : Stanford University Press.Safriandi. 2008. Pemerolehan Bahasa
Pertama
. Dtanggal 14 April 2009 pada http://nahulinguistik.wordpress.com/2009/04/14/pemerolehan-bahasa-pertama/

Tidak ada komentar:
Posting Komentar